Headlines
Loading...
Tingginya Kasus Diabetes, Bisakah Diatasi Dengan Penetapan Cukai Minuman Manis?

Tingginya Kasus Diabetes, Bisakah Diatasi Dengan Penetapan Cukai Minuman Manis?

Oleh. Dea Ariska

Mengkonsumsi makanan atau minuman manis dapat meningkatkan dopamin atau hormon bahagia dalam tubuh seseorang, jadi tubuh akan mengasosiasikan makanan manis dengan rasa bahagia sehingga mengkonsumsinya bisa sampai menyebabkan ketagihan. Seperti yang kita tahu, mungkin orang yang tak suka coklat dan es krim di dunia ini bisa dihitung jari.

Tubuh memerlukan asupan gula, namun tentu tetap ada takarannya sehingga gula bukanlah sesuatu yang perlu untuk dihindari selama konsumsinya tak melebihi batas. Manfaat mengkonsumsi makanan manis di antaranya adalah sebagai sumber energi dan meningkatkan kemampuan berpikir. Tak jarang seseorang yang mengalami stres merasa lebih baik dan terhibur setelah makan coklat atau es krim, karena makanan manis juga bisa memperbaiki mood.

Ada kalanya bagi sebagian orang, minum-minuman manis di pagi hari sudah menjadi rutinitas, belum lagi saat siang atau malam hari setelah beraktivitas dirasa masih perlu minuman manis lagi untuk menyegarkan diri, padahal dalam makanan yang dikonsumsi dalam sehari itu tadi juga mengandung gula. Sehingga tanpa kita sadari konsumsi gula dalam sehari telah melebihi batas seharusnya. Konsumsi gula yang berlebihan tentu berakibat buruk bagi tubuh yang akan menyebabkan penyakit, salah satunya diabetes.

Merujuk data International Diabetes Federation (IDF), orang dewasa kisaran 20-79 tahun yang mengidap diabetes di Indonesia mencapai 19,5 juta jiwa pada 2021. Nilainya bahkan diproyeksi menyentuh 28,757 juta jiwa pada 2045. Dari total dewasa yang menderita diabetes sebanyak 73,7 persen adalah kasus yang tidak terdiagnosa resmi oleh dokter (tirto.id/02/03/2024).
Hal tersebut diatas menunjukkan bahwa banyak orang yang mengkonsumsi gula berlebih sehingga menderita diabetes. Mirisnya, kesadaran akan apa yang mereka konsumsi sangat rendah sehingga saat penyakit menjangkiti pun tidak bisa terdeteksi sejak dini.

Rencana penerapan cukai minuman manis diharapkan bisa meningkatkan kesehatan masyarakat dengan berkurangnya resiko penyakit akibat dari kelebihan konsumsi gula seperti diabetes. Selain itu perusahaan akan mengevaluasi ulang produknya untuk mengurangi kadar kandungan gulanya.

Di sisi lain, negara akan mendapat tambahan pemasukan dari pajak. Meskipun ada kemungkinan penyelewengan dalam pembayaran pajak, di karenakan dalam hal ini perusahaan pasti merasa dirugikan sehingga menambah rasa keberatan untuk membayar pajak. Penerapan cukai akan menghasilkan tambahan pendapatan negara hingga Rp3,628 triliun per tahun atau sekitar 0,2 persen dari total penerimaan pajak pada tahun 2022 (kompas.id/02/03/2024).

Namun untuk mencegah diabetes seharusnya membutuhkan solusi yang mendasar dan menyeluruh. Penetapan cukai pada minuman kemasan tak begitu saja dapat membendung keinginan masyarakat untuk membelinya, terlebih jika mereka memang sudah terbiasa membelinya. Apalagi tingginya tingkat kemiskinan serta rendahnya pendidikan dan literasi masyarakat terhadap kesehatan dan keamanan pangan justru memberi celah hadirnya berbagai minuman manis kemasan tetap eksis di tengah masyarakat.

Pembahasan penerapan cukai minuman berpemanis ini sudah dimulai sejak tahun 2016 oleh menteri keuangan. Faktanya sampai sekarang masih belum diterapkan meski angka penderita diabetes sudah cukup mengkhawatirkan. Manfaat yang diberikan setelah diterapkan aturan tersebut  pun kedengarannya cukup menjanjikan, namun tidak bagi korporasi. Belum lagi ini juga dianggap bukan sebagai solusi jangka panjang. Hal ini karena aturan tersebut tak cukup menumbuhkan kesadaran masyarakat dan memungkinan masyarakat hanya berganti dari produk minuman berpemanis satu ke produk minuman berpemanis lain yang dianggap memiliki harga lebih terjangkau.

Jika dalam sistem pemerintahan Islam, negara wajib menjamin kesehatan rakyatnya. Dengan begitu negara akan melakukan upaya secara mendasar dan menyeluruh untuk mewujudkan kualitas kesehatan. Mulai dari pembuatan aturan, penyediaan fasilitas kesehatan, juga edukasi masyarakat dengan sungguh-sungguh dalam hal kesehatan dan pentingnya memenuhi kebutuhan konsumsi yang tidak sekedar halal, namun juga tayib.

يَٰأَيُّهَا ٱلنَّاسُ كُلُوا مِمَّا فِى ٱلْأَرْضِ حَلَٰلًا طَيِّبًا وَلَا تَتَّبِعُوا خُطُوَٰتِ ٱلشَّيْطَٰنِ ۚ إِنَّهُۥ لَكُمْ عَدُوٌّ مُّبِينٌ

Artinya: "Hai sekalian manusia, makanlah yang halal lagi baik dari apa yang terdapat di bumi, dan janganlah kamu mengikuti langkah-langkah syaitan; karena sesungguhnya syaitan itu adalah musuh yang nyata bagimu." (tafsirweb.com/03/03/2024).

Telebih dari itu, negara tidak akan mengatur distribusi dalam negeri dengan sistem penarikan pajak. Pajak tidak menjadi sumber pendapatan utama negara dan tidak semua warga membayar pajak, melainkan hanya warga yang kaya saja. Ini pun juga dilakukan saat kas negara kosong dan ada keperluan mendesak. Jika kas negara telah terisi kembali dan keperluan telah terpenuhi, maka pungutan pajak kepada warga juga berakhir. Meski begitu akan jarang dijumpai kas negara kosong, mengingat sumber daya alam Indonesia yang melimpah. Harta kepemilikan umum menjadi sumber dana yang mengalir deras untuk baitul mal, karena haram dikelola oleh swasta, selain itu juga ada fai, kharaj, dan sedekah.

Begitu sempurnanya Islam mengatur kehidupan kita, sehingga kejayaan peradabannya menjadi dambaan umat untuk dapat diwujudkan kembali ditengah-tengah masyarakat. Dengan begitu tercapailah kesejahteraan, keamanan, serta keberkahan jika aturan Allah kita terapkan dalam seluruh aspek kehidupan.
Wallahualam bissawab. [Hz]

Baca juga:

0 Comments: