Headlines
Loading...
Oleh. Fitri Maya

Kementerian Keuangan menyatakan utang pemerintah yang telah mencapai lebih dari 8.000 triliun masih aman. Direktur Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Resiko Kemenkeu Suminto membeberkan sejumlah alasannya (CNBCIndonesia, 2/1/2024).

World Bank pun mengingatkan resiko utang yang terus menggelembung dikhawatirkan akan membuat negara tersebut mengalami krisis khususnya negara yang ekonominya belum stabil. Tapi sebagaimana pendapat Suminto, Eko Listyanto (wakil direktur Indef) menyatakan sejauh ini rasio utang Indonesia masih terbilang cukup aman. Demikian pula penilaian Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartato bahwa utang tersebut masih terkendali.

Statement bahwa utang masih aman dan terkendali yang didasarkan pada rasio utang terhadap PDB sebenarnya membahayakan. Sebab PDB tidak menggambarkan kemampuan pemerintah dalam membayar hutang. Alasan rendahnya rasio aman terhadap PDB adalah salah dan menyesatkan. Banyak juga yang beralasan bahwa utang tersebut jauh di bawah negara maju seperti AS dan Jepang dengan rasio utang lebih dari 200% adapun Indonesia hanya 60% saja.
Hal ini menjadi justifikasi negara lain yang rasio utangnya jauh di bawah negara-negara maju bahwa tidak masalah berutang selama posisinya masih aman. Padahal kondisinya berbeda dengan negara maju. Negara maju selain memiliki utang tapi mereka juga memberikan utang kepada negara-negara lainnya.

Demikian pula dengan alasan jika utang digunakan untuk biaya produktif cenderung aman terbantahkan, pasalnya Indonesia masuk dalam jebakan utang bukan untuk pembiayaan produktif tapi untuk membayar utang, mirisnya lagi bukan untuk membayar pokok utang tapi bunganya.
Jika flashback ke masa lalu, utang luar negeri ini dilakukan sejak masa kemerdekaan. Negara penjajah hanya membebaskan negeri ini dari penjajahan fisik. Saat itu penjajah Belanda mensyaratkan kemerdekaan tersebut dengan kewajiban menanggung utang-utang Belanda. Padahal utang Belanda digunakan untuk menjajah kita.

Memasuki orba utang semakin massif. Masuknya investasi asing terhadap SDA berbasis utang. Hingga memasuki era revolusi saat ini. Utang dalam sistem kapitalisme meniscayakan adanya bunga, dan inilah yang membuat beban berat pembayarannya. Terlebih pembayaran tersebut dibebankan pada APBN, dan APBN sumber pemasukan terbesar dari pajak rakyat. Jadilah rakyat yang tak menikmati utang, namun terdampak dengan kehidupan yang semakin sulit melilit. Ditambah lagi pengurangan subsidi yang terus terjadi di berbagai lini. Inilah yang menjadikan negara miskin dan berkembang semakin tergantung pada negara maju. Tentu saja hal ini membahayakan kedaulatan negara. Seharusnya negara mandiri dalam masalah ekonomi.

Kemandirian ekonomi suatu negara hanya akan tercapai jika sistem Islam yang diterapkan. Aturan Islam diterapkan secara kaffah dalam institusi Khilafah. Hal ini telah terbukti secara historis. Sebagaimana negara yang dibangun oleh Rasulullah saw. memiliki sistem keuangan yang kokoh dan sistem politik kuat sehingga menjadi negara yang berdaulat dan mampu menyejahterakan seluruh warganya.

Dalam negara Khilafah akan ada Baitul Mal yang mengatur seluruh harta yang diterima dan alokasi distribusi pengelolaannya. Ada 3 sumber pemasukan Baitul Mal, yaitu yang pertama Pos Fai’, kharaj dan jizyah; kedua pos kepemilikan umum; dan yang ketiga pos zakat. Tiga pos ini akan mengalirkan harta ke Baitul Mal. Harta di Baitul Mal akan selalu mengalir karena tidak ada jeratan utang ribawi. Rakyat pun tak terbebani karena pungutan pajak. [Hz]

Baca juga:

0 Comments: