Headlines
Loading...
Oleh. Desi Anggraeni

Genap dua belas purnama sudah aku mengikuti komunitas Sahabat Surga Cinta Quran. ODOJ plus-plus aku jalani dari Ramadan tahun lalu hingga Ramadan detik ini. Puluhan ribu ayat telah aku baca. Kalimat indah dalam surat cinta-Nya berulang kali menggetarkan jiwa. 

Sebenarnya aku sudah sering tersindir oleh ayat-ayat yang berisi nasihat. Tetapi reaksiku tidak serisau hari ini. Sungguh, kali ini aku benar-benar tertampar. Aku tersungkur sesenggukan di atas sajadah setelah bertilawah dan membaca terjemah. "Ya Rabb... apakah dosaku akan Engkau ampuni, sedangkan jauh di hatiku ada dendam yang masih bersemayam di sana," lirihku di sela isak tangis. 

Ya, dendam atas luka pengasuhan yang telah lama aku idap. Bertahun-tahun belum juga luruh, sakitnya masih saja terasa. Teringat saat kecil dulu, aku begitu merindukan kasih sayang. Mendambakan pelukan mesra. Senyuman manis yang selalu ingin aku lihat, nyatanya hanya ada dalam anganku saja. 

Berkali-kali engkau permalukan aku di depan teman-temanku. Pada kesalahan yang mungkin masih bisa engkau tolerir. Tapi, engkau berkata kasar yang tidak bisa aku sebutkan kalimat itu di sini. Engkau menyeretku dengan cubitan  panas mendarat di lenganku beberapa kali. Kakiku patuh pada langkahmu, pergi meninggalkan gelak tawa dari teman-temanku. Malu, malu sekali, Bu. Engkau tega, sungguh tega mencabik-cabik harga diriku di depan mereka. 

Engkau tahu, Bu? semua kejadian itu masih terekam jelas dalam ingatanku. Bahkan perihnya tamparanmu masih terasa di pipi. Apa engkau pernah bertanya? Kenapa aku jarang pulang mengunjungimu? Sungguh, sorot mata yang penuh dengan kemarahan itu yang membuatku enggan menemuimu. Meski bertahun-tahun aku merantau di kota orang. 

Engkau berutang banyak padaku, Bu. Ketika aku membaca ayat yang memerintahkan seorang anak untuk berbakti kepada kedua orang tuanya, aku terdiam. Kemudian hatiku berucap, "Semua utang pengasuhanmu, apa harus aku lunasi dengan sabar dan menerima nasibku begitu saja? Aku tidak rela, Bu."

Kini, ayat itu kembali aku baca. Tapi dengan perasaan yang berbeda. Aku baca ulang meresapi kalimatnya. "Aku sadar, akulah yang sedang diseru oleh ayat ini," bisikku sambil mengusap air mata. 

Kututup mushafku, kudekap erat di dada sambil memohon, "Ya Allah, beri hamba petunjuk untuk keluar dari masalah ini." Kemudian aku buka acak. Aku baca ayat-ayat yang tertulis pada lembar yang terbuka. Jariku menyusuri kata demi kata sampai pada ayat yang berbunyi, "Jadilah pemaaf dan suruhlah orang mengerjakan yang makruf..." penggalan ayat ini membuatku tertegun. 

Memaafkan? Rasanya luka ini terlalu mahal dibayar dengan memaafkan. Aku menatap nanar pada dua pasang bingkai bertuliskan lafadz Allah dan Muhammad yang terpasang pada dinding di hadapanku. Aku kembali memeluk Al-Qur'anku dan memejamkan mata yang basah seraya  berucap, "Ya Allah, beri hamba kekuatan," 

Kubuka acak kembali kitab suci ini dengan mengucap basmalah. Aku baca dari awal sampai ayat terakhir pada lembar yang terbuka. Pandanganku terfokus pada ayat paling bawah sebelah kiri di lembar tersebut. "Dan hanya kepada Tuhanmulah engkau berharap."

Mungkin Allah ingin menegurku yang selama ini selalu berharap kata maaf keluar dari lisan ibuku. Dan kecewa semakin menambah kebencian sebab kata itu tidak jua aku dengar. 

Dengan penuh kesadaran Aku memohon kepada Allah untuk memberi kesempatan sekali lagi untuk membuka acak surat cinta-Nya. Mushaf terbuka tepat di lembar yang berisi surat Al-Fajr. Mataku langsung tertuju pada ayat yang sangat familiar. 

"Wahai jiwa yang tenang! Kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati yang rida dan diridai-Nya."

"Ya Rahiim, Maha Penyayang Engkau memanggil hamba yang sedang kalut dengan sebutan jiwa yang tenang."

Aku menangis sejadi-jadinya. Allah memilihkan ayat ini yang langsung membuatku terhenyak. Selama ini aku protes atas qodho yang telah Allah kehendaki menimpaku. Aku membenci ketetapan yang Allah takdirkan untukku, padahal itu di luar kendaliku. 

Tiba-tiba, aku teringat kisah iblis yang tidak mau sujud kepada Nabi Adam karena merasa tidak pantas sujud pada makhluk yang levelnya lebih rendah darinya. Iblis terlupa bahwa yang memerintahkannya untuk sujud adalah Allah. 

Aku ingin mengambil hikmah dari kisah ini. Bahwa Aku seharusnya tinggal fokus saja pada perintah Allah untuk berbakti kepada orang tua. Tanpa meminta syarat mereka harus sempurna dulu kebaikannya padaku. 

"Ya Rahmaan, bersama derasnya air mata yang mengalir, bersama itu pula keluarkan segala lara di hatiku. Ampuni hamba ya Allah." Meski terbata-bata dalam tangis, kalimat-kalimat terus keluar dari lisanku memohon ampunan dan mengucap syukur yang sebesar-besarnya. 

Tak ada yang aku tahan, aku ingin semua energi buruk yang mengeraskan hatiku keluar semua. Hikmah ayat cinta-Nya membantuku menghancurkan pikiran-pikiran negatif dan menuntunku untuk kembali pada apa yang Allah kehendaki. InshaAllah.

Baca juga:

0 Comments: