Headlines
Loading...
Oleh. Dewi Mujiasih

Embusan angin bertiup membawa debu tebal. Debu yang menyelimuti jalan dan pemukiman penduduk. Deru mesin truk-truk berseliweran tiada henti. Mesin ‘bego’ pun tidak henti mengeruk tanah. Penduduk dihantui rasa was-was karena penggalian tanah di area pemukiman penduduk.

Hampir setiap malam mereka tidak bisa tidur, apalagi saat hujan deras. Penggalian tanah di atas bukit pemukiman penduduk meninggalkan rasa pilu. Khawatir jika longsor dan banjir yang siap menerjang pemukiman penduduk di bawahnya.

"Pak! Bapak belum tidur?"
Bu Ros menghampiri suaminya yang berada di ruang tamu.

"Belum Bu." Jawab Pak Norman datar, menutupi kekhawatirannya. Ia menyeruput sisa kopi yang dibuat istrinya tadi sore. Kepulan asap tak henti keluar dari putung rokoknya.

"Ibu juga tidak bisa tidur, Pak! Hujan dari tadi sore belum juga reda. Ibu takut jika terjadi banjir dan longsor."

Pak Norman kembali menghisap putung rokoknya yang tinggal sedikit. 

"Apa Buk, yang bisa orang kecil lakukan seperti kita? Meskipun demo berulang kali tapi tetap sama, mereka hanya mendengar kaum berdasi saja, bukan orang kecil seperti kita." Jawab Pak Norman sambil menatap genting rumahnya. Semburat kekhawatiran terus bersemayam dalam hatinya.

"Iya Pak. Kita hidup di tanah milik kita sendiri mengumpulkan uang sedikit demi sedikit. Banting tulang, buruh sana-sini untuk membangun gubuk. Namun rasanya tidak tenang hidup di sini, Pak! Jika bukit di atas terus dikeruk, bagaimana nasib kita ini, Pak?"

"Bapak juga bingung memikirkannya, Buk! Jika ingin pindah, pindah ke mana? Hanya tanah dan gubuk ini yang kita miliki." Pak Norman melamun lalu melanjutkan katanya.

"Semoga Allah melindungi kita, Buk!"

"Amin. Iya, Pak."

Mereka berdua kembali ke kamar. Bu Ros mengelus rambut anaknya lalu merebahkan tubuhnya. Mereka berusaha memejamkan mata meskipun penuh pikiran, berharap malam ini tidak terjadi apa-apa.

Suara petir menggelegar memenuhi angkasa. Kilatan cahaya menyambar tiada henti. Hujan semakin deras seharian. Tanah tiba-tiba bergeser sedikit demi sedikit. Pak Norman dan istrinya seketika terhenyak. Ia berusaha mengendong anaknya dan berlari ke luar rumah. 

Penduduk berlarian ke luar berusaha menyelamatkan diri. Tanah bergerak semakin cepat menggerus sebagian rumah warga. Pak Norman berusaha menyelamatkan anak dan istrinya. Namun keduanya telah terseret longsoran tanah.

Pak Norman berteriak histeris, terus memanggil anak dan istrinya. Ia berusaha menggali tanah saat terakhir berusaha menyelamatkan keduanya. Air matanya terus menetes, mencari sebuah harapan hidup. 

"Ayo, Pak Norman. Ayo, kita menyelamatkan diri! Berada di sini akan membahayakan nyawa Pak Norman."

"Tidak! Saya akan menyelamatkan anak dan istri saya." Teriak Pak Norman pada orang-orang yang ingin menyelamatkannya. Penduduk memaksa membopong badan Pak Norman dalam keadaan terpukul.

Haru biru mewarnai kejadian malam itu. Pak Norman tak kuasa menahan sedih. Ia terus memanggil nama anak dan istrinya. 

Berita bencana longsor telah tersebar di masyarakat, termasuk sekolah Ainun. Sekolah mengadakan penggalangan dana untuk korban bencana longsor. Ainun dan teman-temannya yang tergabung di rohis sekolah mendapat tugas untuk menyalurkan bantuan dari siswa dan guru, ke tempat yang terkena dampak.

Ainun bersama teman-temannya menuju ‘camp’ pengungsian penduduk. Mereka memperkenalkan diri lalu menyerahkan bantuan pada penduduk sekitar. Di sela-sela pembagian sembako, mereka bercerita suasana haru masih menyelimuti mereka. Mereka tidak kuasa menahan tangis, teringat kejadian yang menimpa keluarga mereka.

"Maaf Pak, penggalian tanah sudah berlangsung lama, geh?"

"Sekitar satu tahunan, Dek! Penggalian itu sangat lama berdampak pada kami. Debu yang beterbangan sudah sangat mengganggu kesehatan penduduk sekitar. Dan tanah mulai terkikis sedikit demi sedikit karena hujan. Dan kemarin akhirnya terjadi longsor. Kami sering berdemo tapi tidak ada yang digubris."

"Janji manis di depan, tapi kenyataannya ya seperti itu, Dek. Bahkan tanah-tanah kami yang digali hanya dihargai lima belas ribu saja. Tapi sekarang berbalik, mereka tak mau tanggung jawab." 

"Ya Allah."

"Suara rakyat kecil seperti kita mana mungkin didengar." Celetuk salah satu penduduk yang terdampak.

Ke mana slogan dari rakyat, untuk rakyat, dan kembali ke rakyat? Seakan nasib rakyat kecil jadi permainan kaum berdasi. Ke manakah rakyat mengadu jika suara mereka tak dihiraukan? Janji-janji manis menguap begitu saja, saat kesejahteraan rakyat dipertanyakan.

Akankah tarif tol yang mahal bisa terjangkau oleh rakyat kecil yang berpenghasilan minim. Sejatinya tol hanya untuk para kaum berduit. Ainun hanya duduk terpaku melihat kesengsaraan rakyat. Apakah ada solusinya? Benaknya berkelana ingin bertanya pada ustazahnya.

Ainun akhirnya menanyakan hal yang mengganjal hatinya pada ustazahnya. Ia menceritakan kejadian yang dialami penduduk yang terkena longsor.

"Apakah ada solusinya dalam Islam?"

"Tentu ada dong, apa sih yang nggak ada dalam Islam! Semua ada aturannya dalam Islam, mulai bangun tidur, bangun cinta, bangun rumah tangga, sampai bangun negara ada dalam Islam. Islam adalah agama yang sempurna dan paripurna, mengatur segala aspek kehidupan manusia."

"Lalu Mbak, solusi untuk masalah tol bagaimana?"

"Dalam Islam ada tiga kepemilikan: kepemilikan individu, kepemilikan umum, dan kepemilikan negara. Tiga kepemilikannya ini tidak boleh diambil alih oleh siapa pun, apalagi secara paksa atau sepihak. Misalkan kepemilikan umum seperti barang tambang, air, api tidak boleh dimiliki oleh individu. Negara hanya mengelolanya dan dikembalikan seutuhnya untuk kesejahteraan rakyat." [Ni]

Klaten, 30 Januari 2024

Baca juga:

0 Comments: