Headlines
Loading...
Kasus Kekerasan Anak kian Meningkat, Butuh Solusi Tepat

Kasus Kekerasan Anak kian Meningkat, Butuh Solusi Tepat

Oleh. Rus Ummu Nahla 

Kasus kekerasan pada anak kembali terulang, kali ini terjadi pada anak seorang selebgram Hifdzan Silmi Nur Emyaghnia atau sering disapa Aghnia Punjabi. Kejadian ini diketahui oleh publik setelah Agniya Punjabi mengunggah video anaknya yang mengalami luka lebam di mata kiri hingga  matanya sulit dibuka, dan juga mengalami luka di beberapa bagian tubuhnya. Belakangan diketahui anak dari Aghniya Punjabi mengalami kekerasan oleh pengasuhnya IPS (27).

Kekerasan pada anak bukan kali ini saja, KPPAI mencatat sebanyak 2.355 kasus pelanggaran yang masuk sebagai laporan kekerasan anak hingga Agustus 2023. Anak sebagai korban perundungan terdapat 87 kasus, anak korban kebijakan pendidikan 27 kasus, anak korban kekerasan fisik atau psikis 236 kasus, anak korban kekerasan seksual 487 kasus. Sisanya adalah data pelanggaran terhadap perlindungan anak, misalnya menyangkut pengasuhan terkait hal sipil, terkait kesehatan korban TPPQ, anak korban HIV, eksploitasi, dan sebagainya (jawapos.com, 09/10/2023).

Data ini menjadi catatan hitam dunia anak saat ini. Anak kini seperti berada pada suatu medan tempur menakutkan. Hilangnya rasa aman, dan terkikisnya kasih sayang terhadap sesama kini terjadi. Posisi anak baik sebagai pelaku maupun korban merupakan sebuah gambaran masyarakat yang jauh dari didikan dan nilai-nilai spiritual di tengah masyarakat. Pada kasus anak Agniya Punjabi, hal ini sangat menyayat hati, betapa tidak, di usianya yang masih balita, ia harus merasakan sakitnya pukulan, bukan hanya sakit fisik, melainkan juga berefek psikis. Mirisnya, pelaku merupakan orang yang dibayar untuk merawat dan mengasuh korban.

Pelik dan kompleks gambaran masalah kekerasan pada anak, seolah buntu tak menemukan jalan keluar. Adapun upaya pemerintah saat ini, terlihat belum menemukan hasil. Undang-Undang perlindungan anak dan gagasan nol kekerasan pada anak, kenyataannya tidak mampu membendung dan menghentikan. Yang terjadi justru kasusnya kian meningkat. Meskipun demikian, dalam mencari solusi yang tepat, kita tidak boleh berhenti menyerah. Upaya solusi tersebut tidak hanya sebatas tambal sulam seperti saat ini, tapi haruslah solusi menyeluruh. Hingga hari ini belum ada evaluasi dari pemerintah untuk menangani persoalan kekerasan pada anak.

Sinergi Semua Pihak 

Anak semestinya tidak boleh jauh dari orang tua, terkhusus ibunya, karena peran ibu sangat dibutuhkan untuk mendampingi tumbuh kembang anak dan pengasuhan. Seorang ibu merupakan guru pertama anak, meski mendidik anak bukan hanya kewajiban ibu, melainkan seorang ayah pun wajib bersinergi dalam mendidik anak. Hanya saja, situasi kapitalisme menuntut keluarga, terkhusus ayah harus bekerja keras di luar rumah demi memenuhi kebutuhan hidupnya sehingga waktunya lebih banyak dipakai untuk menutupi kebutuhan hingga mengejar harta. Parahnya, kondisi ini bukan hanya terjadi pada ayah, melainkan juga ibu. Tidaklah berlebihan bila dikatakan orang tua kini terbawa arus sistem sekularisme-kapitalisme, di mana harta dan karir menjadi yang harus ditutupi dan dikejar demi kebahagiaan semuanya. Dengan demikian, telah terjadi pergeseran nilai-nilai kebahagiaan, yang standarnya diukur dari banyaknya materi yang dimiliki.

Selain peran sinergi orang tua, hal penting lainnya adalah menciptakan lingkungan kondusif dengan standar Islam di tengah masyarakat, agar tercipta kontrol berupa amar makruf nahi mungkar. Hal ini bermuara pada peran besar negara sebagai pemegang amanah kekuasaan sekaligus sebagai bentuk tanggung jawab dan kepengurusan terhadap rakyat yang dipimpinnya. Negara wajib menanamkan nilai-nilai Islam di masyarakat, yang bertujuan menciptakan dan membentuk agar masyarakat memiliki standar Islam.

Anak Aset Bangsa

Anak harus dipandang sebagai aset bangsa, generasi penerus yang harus diperhatikan tumbuh kembangnya. Mereka harus mendapat perhatian serius, mulai mengenalkan jati dirinya dengan iman dan takwa dalam mendidik dan mengasuhnya, hingga wajib terpenuhi kebutuhan fisiknya. Meskipun peran sentralnya ada pada orang tua, namun ada hal yang tidak bisa dimungkiri, yakni ketidakberdayaan orang tua dalam menghadapi lingkungan yang jauh dari syariat Islam dan ketidakberdayaan membendung arus deras tayangan negatif yang mempertontonkan kekerasan. Ini hanya bisa dilakukan oleh negara. Selain itu, satu-satunya yang dapat menjamin penegakan hukum yang tegas terhadap pelaku kekerasan agar menimbulkan rasa aman adalah negara. 

Mengubur Sekularisme

Jika dicermati, akar persoalannya ada pada sekularisme oleh negara. Fitrah manusia sangat menyayangi anak kecil, tapi karena sekularisme, fitrah tersebut tergerus oleh tolak ukur atau standar dalam menjalani roda kehidupan. Orang tua kini berkutat terhadap bertahan, persaingan hidup, hingga prestise. Lupa pada visi dan misi hidup di dunia 

Dengan demikian, ketika ingin kekerasan pada anak tidak berulang, umat harus mampu mengubur sekularisme dalam-dalam. Dan mampu membangun sistem alternatif pengganti sekularisme, sistem ini harus berasal dari yang Maha Tahu segala hal ihwal manusia, yaitu Allah Swt. Begitu pun aturan kehidupan harus datang dari-Nya. Sistem tersebut merupakan sistem yang diwariskan oleh Baginda Nabi Muhammad Saw. yakni Khil4fah. [Ni]

Baca juga:

0 Comments: