Headlines
Loading...
Menyelisik Akar Masalah Maraknya Pencucian Uang

Menyelisik Akar Masalah Maraknya Pencucian Uang

Oleh. Artatiah Achmad

Tindak pidana pencucian uang (TPPU) merupakan kejahatan yang tidak bisa dipandang sebelah mata. Kejahatan ini merupakan bentuk kamuflase uang hasil kejahatan, misalnya hasil korupsi sehingga terlihat bersih, bahkan dianggap sebagai uang milik pribadi. Sungguh miris, TPPU ini makin marak terjadi melibatkan pejabat negara dan pengusaha. Simbiosis mutualisme di antara keduanya ibarat lingkaran setan yang menjerat pelaku makin terperosok ke dalam kubangan lumpur dosa.

Baru-baru ini, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) berhasil menemukan serta mengamankan barang bukti untuk  kasus dugaan TPPU, oleh mantan Menteri Pertanian, Syahrul Yasin Limpo (SYL). KPK menemukan barang bukti  ketika menggeledah rumah pengusaha Hanan Supangkat, pada Rabu hingga Kamis dini hari. Ditemukan sejumlah dokumen catatan pekerjaan proyek di Kementerian Republik Indonesia, serta bukti elektronik. Barang bukti tersebut akan disita tim penyidik, kemudian akan dianalisis secara mendalam (cnnindonesia.com, 7/3/2024).

Akar Masalah

Maraknya kasus TPPU yang melibatkan pejabat negara dan pengusaha tidak lepas dari penerapan sistem saat ini. Sistem saat ini dipengaruhi oleh sistem  kapitalisme Barat. Kapitalisme menganggap keuntungan menjadi orientasi utama untuk mendapatkan kepuasan pribadi. Dengan prinsip 'cuan' maksimal setiap orang berusaha melakukan berbagai tindakan agar segala keinginannya terpenuhi, meskipun dengan cara haram. Sehingga, di dalam sistem kapitalisme ini tidak heran jika kita menemukan hubungan mesra antara pejabat dan pengusaha dalam rangka memenuhi segala keinginan mereka. Pejabat mendapatkan keuntungan karena dia dibiayai pengusaha saat akan melenggang ke parlemen, sedangkan pengusaha mendapatkan keuntungan karena dibuatkan payung hukum yang meregulasi proyek mereka supaya lancar jaya tanpa hambatan.  

Menyelisik perkara SYL, kita sama-sama tahu bahwa yang bersangkutan juga didakwa melakukan pemerasan dan penerimaan gratifikasi bersama Muhammad Hatta dan Kasdi Subagyono. Berdasarkan penuturan Jaksa KPK, Masmudi, dalam sidang di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) di Pengadilan Negeri Jakarta (PN) Jakarta Pusat, menyebutkan  bahwa "Pengumpulan uang patungan dari para pejabat Eselon I di lingkungan Kementan RI akan digunakan untuk memenuhi kepentingan pribadi terdakwa dan keluarga terdakwa." (kompas.com, 2/28/2024).

Lemahnya sistem sanksi ikut andil menambah maraknya kasus TPPU. Di negara ini sudah ada undang-undang yang mengatur pencegahan dan pemberantasan TPPU, yakni dalam UU 8/2010. Berdasarkan Pasal 3 UU 8/2010, pelaku TPPU dapat dipidana penjara paling lama 20 tahun dan denda paling banyak 10 M. Namun, penerapan Pasal TPPU ini ternyata belum mampu memberi efek jera bagi para koruptor karena memang terlalu ringan dibandingkan dengan kejahatan mereka yang menyalahgunakan harta negara. 

Kompleksitas sengkarut TPPU ini dikembalikan lagi kepada persoalan hulu, yaitu penerapan sistem kapitalisme sekuler. Selama tatanan kehidupan masih diatur dengan sistem yang memisahkan antara kehidupan bernegara dengan  agama, maka persoalan korupsi berkamuflase TPPU, akan terus berulang. 

Islam Solusi

Islam merupakan agama dan sistem kehidupan dengan aturan yang jelas. Islam mengatur seluruh aspek kehidupan termasuk masalah hubungan pekerja dan atasan. Ada pengaturan pemberian upah pekerja, ada larangan suap menyuap, ada kewajiban pemimpin untuk memberi keteladanan yang baik. Bagi pejabat yang memegang amanah pemerintahan ada kewajiban menghitung dan melaporkan kekayaannya.  

Tindakan Khalifah Umar bin Abdul Aziz yang ketat dalam menggunakan harta negara dapat dijadikan sebagai teladan. Sebelum diangkat menjadi khalifah, Umar bin Abdul Aziz hidupnya sangat berkecukupan. Namun, setelah menjadi khalifah, beliau justru memilih hidup sederhana dan berusaha mengurusi kepentingan rakyatnya. Beliau sangat cermat memisahkan urusan pribadi dengan pemerintahan. 

Pada suatu malam, ada tamu berkunjung ke rumah Umar bin Abdul Aziz. Beliau menanyakan maksud kedatangan tamu tersebut, apakah untuk urusan pribadi atau urusan negara. Jika untuk urusan negara, maka beliau akan menghidupkan lampu, namun jika untuk urusan pribadi, beliau  akan mematikan lampu. Begitulah keteladanan pemimpin dalam sistem Islam yang sangat hati-hati dalam menggunakan harta negara jangan sampai digunakan untuk kepentingan pribadi. Sangat jauh sekali dengan perilaku para koruptor saat ini. Ketakwaan para pejabat di dalam sistem Islam senantiasa terbentuk karena sistemnya memiliki aturan yang jelas karena dibuat oleh pencipta manusia, yakni Allah Swt.

Allah Swt. berfirman di dalam Al-Qur'an yang artinya "Dan janganlah ada sebagian kalian makan harta benda sebagian yang lain dengan jalan batil, dan janganlah menggunakan sebagai umpan (untuk menyuap) para hakim dengan maksud agar kalian dapat makan harta orang lain dengan jalan dosa, padahal kalian mengetahui" (TQS al-Baqarah: 188).

Kualitas sumber daya manusia di dalam sistem Islam tak lepas dari prinsip penanaman keimanan dalam diri sebagai kontrol pribadi. Konsekuensi bagi orang beriman akan sadar ada hisab atas perbuatan manusia selama hidup di dunia. Allah menghitung semua amal manusia, sekalipun sekecil biji atom. Di dalam Al-Qur'an Allah Swt. berfirman yang artinya "Sehingga apabila mereka sampai ke neraka, pendengaran, penglihatan, dan kulit mereka menjadi saksi terhadap mereka tentang apa yang telah mereka kerjakan" (TQS. Fushilat: 20).

Khatimah

Mengatasi korupsi dengan kamuflasi TPPU bukan perkara mudah. Butuh sinergi kontrol pribadi yang memiliki landasan iman yang kokoh, kontrol masyarakat yang sigap melaporkan, serta sistem yang baik bervisi dunia dan akhirat. Sistem pemerintahan itu adalah Khilafah Islam yang terbukti mampu mewujudkan good governance and clean goverment selama lebih dari 12 abad lamanya. Wallahualam bissawab.

Baca juga:

0 Comments: