Headlines
Loading...
Oleh. Maya A (Muslimah Gresik)

Harga sembako makin melejit. Meski harga beras sedikit melanda, namun beberapa komoditi lain seperti gula dan minyak belum menunjukkan pergerakan serupa. Kenaikan ini mengundang pemerintah daerah turun tangan. Sejumlah wilayah seperti Gresik dan Lamongan menggelar pasar murah di sejumlah kecamatan. Hal tersebut guna untuk mengendalikan inflasi sekaligus membantu masyarakat mendapatkan barang kebutuhan pokok dengan harga yang terjangkau. (Surya.co.id 28/2)

Sembako murah tinggal kenangan. Aksi bagi-bagi sembako gratis pun sudah tak ada lagi mengingat pesta rakyat telah usai. Sudah tak ada lagi suara rakyat yang perlu dipikat. Sekilas memang tak ada hubungan. Namun yang demikian hanya menggambarkan bagaimana buruknya bentuk pelayanan penguasa terhadap rakyatnya. Betapa piciknya hubungan yang terbangun antara keduanya. Dan betapa belenggu kebodohan telah erat menjerat rakyat hingga mau berkali-kali dibohongi.

Kenaikan harga pangan di momen-momen tertentu, dan terjadi secara berulang, adalah bentuk ketidakbecusan negara dalam mengatasi masalah serupa. Juga ketidakmampuan dalam menjamin ketersediaan pangan yang terjangkau sekaligus berkualitas. Segalanya diserahkan ke pasar secara total yang pada akhirnya justru menjadi ladang cuan bagi para tengkulak dan antek-anteknya.

Sebagai solusi, negara sebatas menggelar operasi pasar murah yang notabene hanya berlangsung sehari, sementara kebutuhan perut harus terpenuhi tiap hari. Terparah malah menjadikan impor sebagai jalan ninja untuk menstabilkan harga. Solusi pragmatis semacam ini memang lekat dengan gaya penguasa saat ini dalam mengurusi rakyatnya. Sebagai bentuk formalitas saja bahwa penguasa sudah turun tangan walau tak mencapai akar permasalahan.

Inilah konsep pengaturan negara berparadigma sistem kapitalisme neoliberal dimana negara berlepas tangan dari tanggung jawab utamanya sebagai pelayan rakyat. Ia hanya sekedar regulator dan fasilitator. Akibatnya, korporasilah yang mengambil alih pengadaan kebutuhan dasar rakyat untuk mencapai keuntungan sepihak secara besar-besaran. Ia menguasai seluruh rantai pengadaan pangan.

Melonjaknya harga barang sejatinya disebabkan oleh tingginya permintaan pasar yang tidak diimbangi oleh hasil produksi (dalam hal ini panen). Namun perlu diingat pula, bahwa sebenarnya Indonesia ini adalah negara agraris yang sarat akan julukan 'gemah ripah loh jinawi toto tentrem kerto raharjo'. Sebuah ungkapan yang menggambarkan keadaan bumi pertiwi berkat kekayaan alam yang melimpah dan keadaan yang tentram. Oleh karena itu, kelangkaan dan gejolak harga tinggi semacam ini seharusnya tidak mungkim terjadi jika pemerintah jeli dan serius dalam mengatur manajemen penanaman pangan yang berkesinambungan. Fasilitas pasca panen semestinya juga menjadi fokus perhatian pemerintah.

Sungguh, membiarkan/melumrahkan/memberi solusi pragmatis merupakan tabiat bawaan kapitalisme yang tidak akan dijumpai oleh negara berbasis Islam. Ia selalu totalitas menjaga pangan rakyatnya, dengan menjaga keberlangsungan proses produksi hingga distribusi serta menjaga gejolak harga. Sebagai raain dan junnah, berbagai mekanisme tak segan ditempuh agar kebutuhan bisa terjangkau baik dari sisi harga maupun ketersediaan. Pemberlakuan sanksi secara tegas benar benar akan dilakukan kepada oknum yang sengaja melakukan penimbunan barang. Yang secara tidak langsung berpengaruh pada tidak imbangnya jumlah persediaan dan permintaan. Disamping itu, pematokan harga tidak akan dilakukan mengingat hal tersebut tidak dibenarkan menurut sistem ekonomi Islam. Karena meski sekilas tampak membantu rakyat menjangkau harga pasar suatu barang, pada dasarnya pemilihan kebijakan ini hanya akan berujung pada menurunnya daya beli mata uang itu sendiri.

Demikianlah kesempurnaan Islam dalam mengatur peran dan kewajiban negara atas rakyatnya. Tiada dorongan lain atas pelaksanaannya selain dorongan ketaatan pada syariat. Dan tiada yang dihasilkan selain maslahat.

Baca juga:

0 Comments: