Headlines
Loading...
Oleh. Mufidah Huda

“Aku kok nggak dapat amplop?” Itulah sekelumit pertanyaan seorang warga kepada lawan bicaranya saat pemilu beberapa hari lagi akan digelar. Memang, amplop terus bergentayangan mencari mangsa saat itu. Sedangkan yang tidak dimangsa malah berharap agar dia pun menjadi korban amplop.

Peredaran uang kala itu sangat cepat dengan nominal yang luar biasa besar. Bahkan banyak yang menginformasikan hanya dari 1 caleg saja rata-rata menyebarkan 1 hingga 3 miliar agar mampu menandingi lawan. Jadi, akhirnya tak sedikit mereka yang sudah terlanjur mimpi menduduki ‘kursi’, meratapi diri. 

Bisa dilihat, pasca pemilu terdapat banyak fenomena caleg gagal dan timses yang kecewa. Di antara mereka ada yang stres, menarik kembali pemberian pada masyarakat, hingga rela menghilangkan nyawanya. Jelas ini semua menggambarkan lemahnya kondisi mental para caleg atau tim suksesnya. Mereka hanya siap menang dan tidak siap kalah.

Di antaranya di Kabupaten Cirebon, Jawa Barat, dua timses mengalami tekanan hebat hingga harus mengambil amplop yang dibagikan kepada warga. Sementara itu oknum timses salah satu caleg di Lombok Tengah, Nusa Tenggara Barat, melempar rumah tim sukses caleg lawan karena diduga melakukan kecurangan (tvOnenews.com, 18/02/2024).

Demikian pula aksi seorang caleg DPRD Subang yang gagal, sempat meresahkan masyarakat. Pasalnya ia dengan mengenakan helm besi, menyalakan kembang api berulang kali di menara masjid. Ada pula caleg gagal di  Banyuwangi, membongkar kembali trotoar yang telah dipasang. Seorang caleg gagal di Depok memilih bengong, duduk sendiri di bantaran sungai dengan tumpukan sampah, di jalan raya Bogor (tempo.co, 04/03/2024).

Lebih mengerikan lagi, ada yang hingga melakukan aksi bunuh diri. Timses di Pelalawan gantung diri di pohon rambutan karena caleg yang diusungnya kalah (mediaindonesia, 19/02/2024). Demikian pula SF, seorang caleg di Kabupaten Pesisir Selatan Sumatera Barat ditemukan tewas menggantung di kamarnya. Aksinya disinyalir akibat depresi masalah keuangan sejak menjadi caleg, bahkan sering terlibat pertengkaran dengan suaminya (detiknews, 13/02/2024).

Fenomena ini menggambarkan betapa jabatan menjadi sesuatu yang sangat diharapkan. Mengingat pada saat ini keuntungan besar akan didapatkan jika memiliki kedudukan tertentu, terlebih menjadi penguasa dan anggota legislatif. Sudah menjadi rahasia umum, kedudukan ini sebagai tempat yang teramat ‘basah’, bahkan mengalir terus menerus. Sehingga mereka rela membeli suara rakyat dengan modal besar, dengan pamrih mendapat suara rakyat. 

Di sisi lain menggambarkan, betapa model pemilu ini adalah pemilu yang bermodal tinggi. Kapitalisme telah mengarahkan jalan berpikir manusia dipenuhi dengan materi. Untuk mendapatkan keuntungan yang lebih besar mereka rela menggelontorkan sejumlah uang. Tak hanya yang dikeluarkan individu, negara pun harus menanggung beban berat biaya pemilu.

Berbeda halnya dengan Islam. Islam memandang jabatan adalah amanah yang akan dipertanggungjawabkan kepada Allah. Bukan ajang mencari eksistensi diri ataupun untuk meraup keuntungan materi. Teringat akan penggalan pidato Umar Bin Khattab saat diangkat menjadi Khalifah, ”…Wahai kaum muslimin, bertakwalah selalu kepada Allah, maafkanlah kesalahan-kesalahanku dan bantulah aku dalam mengemban tugas ini. Bantulah aku dalam menegakkan kebenaran dan memberantas kebatilan. Nasihatilah aku dalam pemenuhan kewajiban-kewajiban yang telah diamanahkan oleh Allah Swt."

Dalam Islam pemilu adalah uslub yaitu cara untuk memilih pemimpin  atau majelis umat. Islam juga menetapkan cara-cara yang ditempuh harus sesuai dengan aturan Allah. Pemilu dilakukan dengan mekanisme sederhana, praktis, tidak berbiaya tinggi dan penuh kejujuran. Orang-orang yang akan dipilih pun tidak mengeluarkan tipuan ataupun janji-janji. Mereka berkepribadian Islam, dan hanya mengharap keridhaan Allah semata. [An]

Baca juga:

0 Comments: