Headlines
Loading...
Oleh. Khusnul Aini S.E

Belum usai penderitaan rakyat yang hidup dalam kesempitan akibat melonjaknya harga pangan dan kenaikan tarif listrik per 1 Maret 2024 kemaren. Kini rakyat harus bersiap merasakan kehidupan yang kian pelik, betapa tidak pemerintah telah mewacanakan kembali kenaikan tarif pajak dari sebelumnya 11% menjadi 12% di Januari 2025 mendatang.

Melansir dari CNBC Indonesia.com, (08/03/2024). Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto memastikan, kebijakan kenaikan tarif pajak pertambahan nilai (PPN) menjadi 12% pada 2025 tidak akan ada penundaan. Airlangga mengatakan, ketentuan kenaikan tarif PPN ini akan berlanjut pada 2025 karena juga sudah keputusan masyarakat yang memilih pemerintahan baru dengan program-program keberlanjutan dari Presiden Joko Widodo.

Sungguh miris mengatasnamakan keputusan masyarakat yang memilih, padahal tidak semua rakyat memilih dan setuju dengan keputusan tersebut. Terlebih di tengah kondisi ekonomi rakyat hari ini yang sedang sulit, tentu kebijakan tersebut akan sangat memberatkan rakyat karena ujung-ujung nya rakyat juga (sebagai konsumen) yang terkena beban PPN tersebut. 

Namun tidak heran meskipun rakyat keberatan, kebijakan kenaikan PPN tersebut akan tetap dilaksanakan. Karena hal tersebut adalah keniscayaan dalam sistem ekonomi kapitalisme yang dijalankan oleh negara saat ini. Sudah kita ketahui bahwa dalam sistem ini sebagian besar pendapatan negara berasal dari pajak, maka hal yang lumrah ketika negara ingin menaikan target pemasukan, solusinya adalah menaikan tarif pajak. 

Padahal negeri ini berlimpah kekayaan sumber daya alam, mulai dari tambang emas, nikel, migas juga hamparan hutan & lautan beserta isinya yang luar biasa banyaknya. Namun tidak sekalipun modal kekayaan alam tersebut di tengok sebagai pundi pendapatan negara. Justru kekayaan alam tersebut di obral kepada para pengusaha (swasta) pemilik modal, sehingga mereka saja yang menikmati hasilnya. Sementara rakyat diperas dengan pajak yang hasilnya tidak seberapa. Sungguh miris bukan? 

Tentu lain hal nya bila kebijakan sistem Islam yang diterapkan. Dalam sistem ekonomi Islam pajak atau dharibah bukanlah pos pendapatan utama negara, namun menjadi opsi terakhir ketika kas negara (baitul maal) dalam kondisi kosong dan ada kebutuhan mendesak yang perlu diselesaikan. Itu pun tidak dipungut pada selurah rakyat, tapi hanya pada orang muslim yang kaya dan mampu. Pungutan tersebut tidak berlangsung secara terus menerus, artinya ketika kebutuhan mendesak telah terselesaikan maka pungutan dharibah tersebut usai.

Pemimpin dalam Islam juga akan mengoptimalkan pengelolaan keayaan sumber daya alam untuk kepentingan umat, bukan bebas diberikan kepada asing/aseng. Selain itu Islam juga memiliki banyak pos pemasukan negara, diantaranya seperti fai, kharaj, jizyah, ghanimah, zakat dan lain sebagainya. Sehingga negara tidak akan kesulitan dalam mewujudkan kesejahteraan untuk seluruh rakyatnya karena kebutuhan anggaran pendapatan bisa dengan mudah didapatkan.

Tentu paradigma ini hanya akan berjalan ketika islam diterapkan secara sempurna dalam setiap aspek kehidupan. Maka layaknya kita senantiasa untuk memeprjuangkannya. Tidak kah demikian?

Wallahu alam bishawab. 

Baca juga:

0 Comments: