Headlines
Loading...
Oleh. Desi Anggraeni

Kasih ibu kepada beta tak terhingga sepanjang masa. Hanya memberi tak harap kembali bagai sang surya menyinari dunia. 

Lagu Kasih Ibu yang sering dinyanyikan oleh anak-anak ini, menggambarkan betapa besarnya kasih sayang seorang ibu terhadap anaknya. Tetapi, tidak demikian dengan Suminah (43) seorang ibu di Musi Rawas (Mura), Sumatera Selatan yang tega membunuh anak kandungnya sendiri. 

RS (7) bocah malang yang tewas dibacok ibunya menggunakan sajam sejenis sabit ini sempat dilarikan ke Puskesmas, namun korban meninggal dalam perjalanan. Kapolres Mura AKBP Andi Supriadi menjelaskan, pelaku menganiaya korban hingga tewas karena pelaku tak ingin pergi ke Malaysia. Katanya di sana hanya makan ular dan babi. Setelah pelaku melakukan penganiayaan terhadap korban, pelaku akan mengakhiri hidupnya juga dengan menikamkan sabit tersebut ke lehernya. Jelas Andi kepada detiksumbagsel, Jum'at, (12/1/2024). 

Publik sudah cukup sering dibuat terhenyak dengan kasus-kasus semacam ini. Reaksi masyarakat bukan sekadar menggeleng kepala dengan helaan nafas yang begitu dalam. Tapi rasanya sudah muak dengan kasus mengerikan serupa yang terus bermunculan. Timbul pertanyaan dari masyarakat yang resah dengan kondisi semacam ini. Apa kasus sebelumnya tidak menjadi pelajaran bagi pelaku? Apa tidak ada solusi yang tepat untuk menghentikan kasus semacam ini?

Bagi mereka yang kritis pasti paham bahwa berulangnya kasus serupa merupakan masalah sistemik. Banyaknya kasus-kasus semacam ini yang tak bertemu penyelesaian tuntas, menunjukkan betapa bobroknya sistem yang menjalankan roda pemerintahan saat ini. Apa lagi kalau bukan sistem kufur sekuler kapitalis. 

Hidup di bawah sistem sekuler, perempuan dibiarkan menghadapi berbagai macam masalah sendiri. Seharusnya, perempuan hanya disibukkan mengurusi rumah tangga dan anak-anaknya saja. Tanpa harus memikirkan beban ekonomi keluarga. Kewarasan seorang ibu pasti terjaga apabila ia hanya dilibatkan soal pengurusan dalam rumah dan jaminan kebutuhan keluarga terpenuhi. Hari ini, rasanya hanya mimpi menggapai kehidupan tenteram semacam ini. 

Jika negara melakukan perannya dengan membuka lapangan pekerjaan seluas-luasnya bagi rakyatnya, serta menjaga kestabilan harga kebutuhan pangan dan kebutuhan lainnya, maka perempuan tidak perlu mengalami stres dalam mengatur keuangan keluarga. 

Pada kasus di atas dan kasus serupa lainnya, kebanyakan pelaku mengalami gangguan psikologi karena stres dan rata-rata karena tekanan ekonomi yang menghimpit. Imbasnya, perempuan kehilangan naluri keibuannya. Sehingga, tega melakukan perbuatan kejam terhadap buah hatinya hingga nyawanya melayang. Sekularismelah yang telah melunturkan fitrah keibuan sebagai makhluk penyayang menjadi makhluk yang beringas dan sadis. 

Di atas telah disebutkan bahwa masalah ini merupakan masalah sistemik. Sistem yang ada tidak pernah menyentuh masalah hingga ke akar-akarnya. Justru sistem sekuler-kapitalislah biang dari banyaknya masalah yang terjadi di negeri ini. Sebab dari sistem ini, lahir liberalisme atau kebebasan yang mencakup kebebasan berakidah, kebebasan memiliki, kebebasan berpendapat, dan kebebasan bertingkah laku. Kebebasan bertingkah laku ini yang mempengaruhi setiap individu untuk melakukan apa saja sesuai keinginannya tanpa memedulikan nilai-nilai luhur, ikatan akhlak ataupun larangan agama. 

Jika demikian, seharusnya beralih ke sistem yang mampu menyelesaikan masalah dengan benar dan tuntas. Berbicara kebenaran, adalah apa-apa yang datang dari Allah dan apa-apa yang dicontohkan oleh Rasulullah saw.. Maka Islamlah jawabannya. Pada masalah seperti ini, negara dalam Islam bertanggungjawab mewujudkan kestabilan ekonomi yang menjadi urat nadi kehidupan rakyat. Negara akan fokus menyelesaikan masalah kemiskinan dan kelaparan. Sehingga kesejahteraan mampu menyentuh setiap individu rakyatnya. 

Kesejahteraan di sini tidak hanya tercukupinya kebutuhan pokok, tetapi juga didorong agar mampu memenuhi kebutuhan sekunder secara makruf. Selain itu, negara akan memenuhi kebutuhan publik berupa layanan kesehatan, pendidikan yang layak, dan jaminan keamanan bagi rakyatnya. Adanya jaminan tersebut dari negara tentu akan meringankan beban perempuan dalam menjalankan tugasnya sebagai ‘ummu wa rabbatul bait’ atau ibu dan pengatur rumah tangga. 

Ibu juga sebagai ‘madrasatul ula’. Sekolah pertama bagi anak-anaknya. Di pundak ibu terletak tanggung jawab perkembangan mental, pemikiran, dan fisik seorang anak. Untuk menjalankan tugas ini, tentu seorang ibu membutuhkan banyak ilmu yang mumpuni. Sehingga akan mampu mencetak generasi yang sehat, hebat, dan berakhlak mulia.

Firman Allah Swt.,
"Wahai orang-orang yang beriman! Peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, dan keras, yang tidak durhaka kepada Allah terhadap apa yang Dia perintahkan kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan." (QS. At-Tahrim: 6) 

Memiliki kesadaran betapa beratnya tanggung jawab seorang ibu, akan menuntun perempuan berhati-hati dalam melakukan segala hal pada kehidupan sehari-harinya. Akidah akan membimbingnya menjadikan syariat sebagai sumber hukum. Sehingga, sesulit apapun kondisinya tidak akan menjadikannya kehilangan rasa kasih sayang. Tidak akan hilang naluri keibuannya. 

Demikianlah gambaran jika sistem Islam diterapkan. Seorang ibu tidak akan mengalami stres tersebab tekanan ekonomi atau psikologi karena negara menjamin kesejahteraan rakyatnya. Selain itu, keimanan yang dalam hal ini ada peran dari negara, akan mendorong seorang ibu untuk merawat anak-anaknya dengan baik.  Mendidiknya dengan maksimal karena sadar bahwa anak adalah investasi akhirat yang berpeluang mengantarkan orang tuanya ke dalam surga. Wallahualam bissawab. [Ni]

Baca juga:

0 Comments: