Headlines
Loading...
Tepatkah Program Desa Pariwisata Menyejahterakan Rakyatnya?

Tepatkah Program Desa Pariwisata Menyejahterakan Rakyatnya?

Oleh. Mirojul Lailiyah

Pembentukan 6000 desa selama tahun 2024 untuk program desa wisata yang ditargetkan dapat meningkatkan pertumbuhan ekonomi nasional, seharusnya kembali ditelisik ulang.

Karena, meski Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Menparekraf) Sandiaga Salahuddin Uno menerangkan bahwa ketika 6000 desa wisata tersebut berhasil diwujudkan, akan ada penambahan sekitar 4,4 juta lapangan kerja di bidang ekonomi kreatif (republika.com 18/2/2024). Pada faktanya, dampak negatif pariwisata justru sudah banyak menyerang area wisata Indonesia. Sehingga membuat kesulitan hidup masyarakat makin meningkat.

Seperti dalam bidang ekonomi, ketika industri pariwisata lebih diutamakan oleh negara yang menyuruh para petani untuk merubah profesi mereka dan lahan pertanian mereka menjadi arena wisata. Maka, dilema fokus ekonomi akan terjadi ketika kunjungan para wisatawan menurun jumlahnya. Sebagaimana, keterpurukan kondisi ekonomi pariwisata yang marak terjadi di propinsi Bali akibat kasus Covid19 lalu (kompas.com, 21/5/2021).

Bahkan tak cukup hanya itu, akibat dari perubahan lahan pertanian itu pula ketersediaan bahan pangan di tengah masyarakat jelas akan semakin sulit tercipta.

Lalu dari bidang sosial juga sudah terbukti adanya dampak negatif dari program pariwisata bagi anak-anak generasi penerus bangsa. Sesuai hasil penelitian yang dirilis pada tahun 2019 oleh End Cild Prostitution, Child Pornography & Trafficking of Children for Sexual Purpose (ECPAT) dan KemenPPPA dinyatakan bahwa daerah tujuan wisata ternyata rentan terhadap fenomena pekerja anak dan eksploitasi seksual anak (liputan.com, 12/9/2022).

Disamping itu, dalam bidang keagamaan dan kesehatan, kedatangan para para wisatawan asing yang lebih banyak berpemikiran sekuler cenderung akan berpengaruh buruk juga bagi masyarakat muslim Indonesia. Misalnya, ketika para wisatawan asing yang sudah terbiasa mengkonsumsi minuman beralkohol itu memesannya dalam menu pariwisata mereka. Masyarakat muslim pedesaan yang bekerja dalam bidang pariwisata pun lambat laun akan turut mengkonsumsinya. Padahal mereka sudah tahu bahwa alkohol adalah zat berbahaya bagi kesehatan dan berdosa besar juga bagi catatan amal mereka.

Oleh karena itu, program desa pariwisata ini jelas bukanlah solusi yang tepat bagi kehidupan masyarakat. Sehingga, negara selaku pengendali kehidupan rakyatnya harus pula mencari solusi terbaik yang dapat menyelesaikankannya. 

Adapun solusi terbaik yang sudah terbukti berhasil menyejahterakan kehidupan masyarakat, ternyata pernah Khilafah Islamiyah tunjukkan. Dengan penerapan metode syariat Islam dalam mengelola sumber daya alam di atas tanah pedesaan yang dikuasainya, dapat terwujud berbagai macam dampak positif daripada dampak negatif yang merugikannya. 

Dalam syariat Islam, negara berkewajiban melayani semua rakyatnya. Maka negara Khilafah haruslah mendukung para petani dalam mengelola tanah pertaniannya. Sehingga andaikata para petani mengalami kesulitan modal dalam usahanya, pihak negara haruslah membantu permodalan uang mereka, tanpa unsur riba yang menyulitkan. Bukan justru menyuruh sang petani untuk merubah profesi dan lahan pertaniannya dalam industri pariwisata.

Dengan begitu, pendapatan ekonomi para petani dan ketersediaan bahan pangan dari pengelolaan lahan pertanian mereka akan cenderung stabil sepanjang masa.

Selain itu, pariwisata memang bukan sumber perekonomian utama bagi negeri Khil4f4h Islamiyah. Sehingga pengelolaan sumber daya alam di wilayah pedesaan dapat diatur dengan teknik lain yang dapat lebih menyejahterakan rakyatnya. Seperti pengelolaan tanah perhutanan dan pertambangan yang banyak terdapat dalam pedesaan akan banyak menyerap tenaga kerja dari kalangan penduduk baligh dewasa yang sudah berkewajiban mencari nafkah untuk keluarganya. Walhasil, kaum anak-anak dapat tumbuh berkembang dengan tenang dan nyaman, tanpa mudah tereksploitasi dampak negatif pariwisata.

Disamping itu, khil4f4h yang merupakan negera berideologi islam, tentu lebih menaati semua hukum syariat Islam yang dianutnya. Maka,  para wisatawan yang datang itulah yang justru harus menaati semua ketentuan pariwisata islaminya. Sehingga masyarakat dapat terjaga dari gaya hidup negatif yang mereka bawa.

Baca juga:

0 Comments: