Headlines
Loading...
Oleh. Rindang Ayu Pangastuti 

Fantastis namun mengerikan. Itulah kalimat yang bisa menggambarkan utang negara kita saat ini. Betapa tidak, nilainya sudah tembus Rp8.253,09 triliun per Januari 2024, atau mengalami kenaikan sebesar Rp108,4 triliun dalam sebulan, dibandingkan besarnya utang pada Desember 2023 sebesar Rp8.144,69 triliun (cnnindonesia.com, 27/02/2024). Jika dibagi dengan jumlah penduduk Indonesia 270 juta jiwa, bisa dipastikan tiap warga negara menanggung utang sebesar Rp30,5 juta per jiwa. Siapa yang tidak ngeri jika menyadari dirinya punya utang sebesar itu?

Lebih ngeri lagi ternyata 50% pendapatan negara di tahun 2024 nyaris hanya bisa untuk membayar utang beserta bunganya. Lebih tepatnya yaitu sebesar Rp1.286 triliun untuk membayar utang, dari rencana pendapatan negara tahun 2024 hanya Rp2.700 triliun. Bisa dibayangkan, untuk alokasi sektor pendidikan, kesehatan, keamanan, pangan, infrastruktur, subsidi listrik, subsidi BBM, dan kebutuhan rakyat yang lain dipenuhi negara hanya dari 50% sisanya pendapatan negara setelah dipotong untuk membayar utang. Astagfirullah.

Akar Masalah: Tipuan Sistem Kapitalis

Anehnya, utang yang selangit itu dinilai masih aman oleh pihak Kemenkeu (tempo.co, 01/03/2024). Minimal ada 3 (tiga) alasan yang disampaikan. Pertama, karena besar utang negara kita masih di bawah ambang batas 60% dari ‘Produk Domestik Bruto’ (PDB) atau ‘Gross Domestic Product’ (GDP). Kedua, karena utang negara sebagian besar digunakan untuk aktivitas produktif. Alasan ketiga, karena Indonesia dinilai memiliki aset yang besar.

Ketiga alasan yang tampak masuk akal tersebut dalam kenyataannya bersifat utopis dan menipu. Bagaimana tidak, menurut Wikipedia, PDB/GDP adalah nilai pasar semua barang dan jasa yang diproduksi oleh suatu negara pada periode tertentu. Sedangkan utang negara itu dibayar dari pendapatan negara, bukan dari PDB/GDP. Tapi mengapa utang negara dikomparasikan dengan PDB/GDP, dan tidak dibandingkan dengan besarnya pendapatan negara. Hal itu karena dalam sistem ekonomi kapitalis, pendapatan terbesar negara adalah dari pajak.

Bisa dipastikan bahwa besarnya PDB Indonesia menggambarkan potensi pajak yang besar pula. Sehingga dapat dijadikan pundi-pundi pendapatan negara. Maka tak heran, mengapa di negeri yang kaya raya ini, harga dari hampir semua barang dan jasa begitu mahal dan terus merangkak naik. Tidak lain itu dikarenakan pajak yang harus ditanggung rakyat terhadap barang dan jasa yang mereka beli. Maka bila dikatakan utang negara kita masih aman bila dikomparasikan dengan PDB/GDP, itu adalah tipuan. 

Adapun alasan sebagian besar utang negara digunakan untuk aktivitas produktif sehingga dinilai aman, ini merupakan hasil pemikiran fasad khas ideologi kapitalis yang bertumpu pada asas manfaat. Beragam infrastruktur yang dibangun dengan dibiayai oleh utang luar negeri tujuannya tak lain untuk menghasilkan produksi/keuntungan yang lebih besar lagi. Pemerintah lupa bahwa negara itu semestinya hadir untuk melayani rakyat, bukan mencari keuntungan semata, ‘profit oriented’ dari rakyat. Asas kapitalis inilah yang menjadi biang kerok mahalnya tarif fasilitas-fasilitas umum seperti bandara atau jalan tol. Sekali lagi, alasan kedua membuktikan bahwa utang kita masih aman adalah tipuan.

Sedangkan Indonesia dikatakan memiliki aset yang besar adalah kebenaran faktual, namun tidak bisa dijadikan alasan yang membenarkan bahwa utang negara kita aman. Sebab sistem kapitalis sekuler yang mendera negeri kita telah menjadikan kekayaan sumber daya alam yang melimpah di negeri ini bukan lagi menjadi aset negara. Penyebabnya karena sumber daya alam Indonesia sebagian besar telah dikuasai/dimiliki oleh swasta, yaitu para kapitalis/oligarki (pemilik modal besar).

Negara hanya menjalankan fungsinya sebagai regulator untuk kepentingan para kapital. Bahkan beras, gula, minyak goreng yang bahan dasarnya dihasilka n oleh rakyat (petani), harganya di pasaran menjadi mahal karena jalur distribusinya dikuasai swasta. Listrik yang dihasilkan PLTA menjadi mahal tarif dasarnya, karena negara harus membeli bahan bakar batubara dari swasta yang menguasai tambangnya. Jadi alasan aset negara yang besar sehingga utang negara masih aman itu juga tipuan. 

Islam Hadir Mengatasi Utang Negara

Sangat jelaslah bahwa akar masalah dari utang negara kita yang besarnya sangat fantastis namun mengerikan itu adalah diterapkannya sistem kapitalis sekuler di negara kita ini. Maka untuk keluar dari masalah ini tidak lain adalah dengan mengganti sistem kapitalis dengan sistem Islam. Aturan buatan manusia yang diterapkan negara, diganti dengan aturan Islam yang bersumber dari wahyu Ilahi yang memberi solusi lengkap dalam mengatur urusan manusia di segala sendi kehidupan. 

Dalam Islam, negara/penguasa adalah pihak yang berkewajiban melayani dan mengurusi rakyat. Kekayaan sumber daya alam yang melimpah akan sepenuhnya dikelola oleh negara untuk memenuhi kebutuhan rakyat. Swasta hadir sebatas membantu secara teknis, bukan menguasainya seperti saat ini.

Utang negara, terlebih yang ribawi, benar-benar dihindari dalam sistem Islam. Selain karena Allah mengharamkan, juga karena utang negara itu berisiko mengancam kedaulatan negara yang dapat menghantarkan pada dominasi asing atas negara atau penjajahan.

Dalam hal distribusi, Islam mengharamkan praktik penimbunan. Barang dan jasa yang menjadi kebutuhan asasi rakyat, dipastikan sampai ke masyarakat dengan harga semurah-murahnya, bahkan gratis. Kalaupun ada harganya, hal itu sebatas untuk mengganti biaya pengelolaannya, bukan untuk mengambil keuntungan dari rakyat.

Bila aturan Islam tersebut dijalankan secara maksimal dan menyeluruh, dipastikan keberkahan dari langit dan bumi akan dapat dirasakan negeri ini dan kesempitan hidup rakyatnya dapat dihindari. ‘Biidznillah’, insyaallah. [Ni]

Baca juga:

0 Comments: