Headlines
Loading...
Berburu Kursi Panas di Pilkada, Rakyat Diperdaya, Lagi?

Berburu Kursi Panas di Pilkada, Rakyat Diperdaya, Lagi?

Oleh. Qonita Fairuz, Lc. 

Pilkada 2024 semakin dekat, para calon pun mulai terlihat. Berbagai partai pun mulai berkoalisi dengan parpol lainnya, untuk mencari pasangan yang diinginkan. Dan seperti biasa, banyak calon yang mencari pasangan dari kalangan yang populer, baik dari kalangan artis ataupun public figure lainnya, lantaran berkaca dari pemilihan di tahun-tahun sebelumnya. Mendapatkan kemenangan bertubi karena menggandeng para public figure yang banyak disorot oleh masyarakat. Regenerisasi dan kaderisasi parpol pun sudah bukan menjadi prioritas mereka, hanya demi mendapatkan kekuasaan pribadi dan kelompoknya (RRI.co.id, 10/5/2024).

Suara rakyat pun akan segera diburu. Ketika kepopularitasan menjadi sumber kekuatan, maka berbagai janji manis pun menjadi bekal untuk memenangkan hati rakyat. 

Inilah satu keniscayaan dalam sistem demokrasi. Berburu kekuasaan menjadi profesi, dimana di dalam sistem ini kekuasaan menjadi sarana untuk meraih materi dan kedudukan. Sedangkan rakyat hanya dimanfaatkan suaranya, dan bukan untuk dipenuhi kepentingannya.

Rakyat pun kembali tertipu oleh sosok yang dipopulerkan tanpa ada kapabilitias dan kemampuan dalam kepemimpinan. Harapan-harapan yang mereka nanti pun hanya menjadi mimpi. Janji manis banyak yang dilupakan, lantaran hanya materi dan keuntungan yang menjadi tujuan utama meraih kekuasaan. 

Padahal, di dalam Islam, kekuasaan adalah amanah dan berkonsekuensi  melakukan riayah (pengurusan) kepada rakyat, dimana kelak akan Allah swt mintai pertanggungjawaban. Rasulullah Saw bersabda:
Penguasa adalah ra’in (pengurus) rakyatnya, dan ia akan dimintai pertanggungjawaban  atas pengurusan rakyatnya(HR. Bukhari).

Politik di dalam Islam disebut siyasah, dari kata sasa-yasusu-siyasatan, yang artinya mengurus. Oleh karena itu, Rasulullah Saw yang merupakan utusan Allah saw juga pemimpin negara yang senantiasa dijadikan teladan, mengajarkan kepada kita bahwa kekuasaan bukanlah suatu kedudukan yang dikejar atau diminta-minta, apalagi menjadi jalan untuk meraup keuntungan. 

Suatu ketika ada seorang sahabat yang bernama Abdurahman bin Samurah meminta untuk diangkat memegang jabatan tertentu dalam pemerintahan. Maka Rasulullah saw pun menasehatinya: "Wahai Abdurrahman, janganlah meminta-minta untuk menjadi pembesar negara. Karena jika engkau jadi pembesar karena permintaan, tanggung jawabmu akan besar sekali. Jika engkau diangkat tanpa permintaan, engkau akan ditolong orang dalam tugasmu." (HR Muslim).

Di dalam Riwayat lain, Abu Dzar pernah bertanya kepada Nabi Muhammad SAW: " Wahai Rasulullah SAW, apakah engkau tidak hendak mengangkatku?"
Kemudian Nabi SAW menepuk bahu Abu Dzar RA dengan tangan beliau, sambil bersabda, " Wahai Abu Dzar, engkau ini lemah. Pekerjaan (pada sebuah jabatan pemerintahan) itu adalah amanah, yang pada hari kiamat kelak dipertanggungjawabkan dengan risiko penuh kehinaan dan penyesalan, kecuali bagi orang yang memenuhi syarat dan dapat melaksanakan tugas yang diembankan kepadanya dengan baik." (HR Muslim). 

Ibnu Hajar Al Atsqolani dalam Fath al-Bari menyampaikan, orang yang meminta-minta kekuasaan dengan tamak, maka ia tidak akan mendapat pertolongan Allah SWT. "Siapa yang mencari kekuasaan dengan begitu tamaknya, maka ia tidak ditolong oleh Allah."

Di dalam Islam, pemilihan kepala daerah sangat sederhana, cepat dan murah, efektif dan efisien, karena kepala daerah, yakni wali yang memimpin wilayah (setara di provinsi) dan amil yang memimpin ‘imalah (setara dengan kota) dipilih oleh Khalifah sebagai pemimpin tertinggi di dalam Daulah Islam.

Mereka adalah perpanjangan tangan khalifah dalam meriayah rakyat, bukan penguasa tunggal daerah. Para wali dan amil memiliki pertangggungjawaban di hadapan Khalifah dan majelis syuro’, dimana terdiri dari para tokoh di setiap wilayah. Maka para wali dan amil ini bisa saja dicabut oleh Khalifah tanpa harus menunggu masa jabatannya habis jika melakukan pelanggaran atau dilaporkan oleh majelis syuro lantaran sikapnya yang zalim kepada rakyat atau dalam mengambil kebijakan. 

Khalifah mengangkat para wali dan amil dengan memperhatikan kriteria berdasarkan tuntunan Rasulullah Saw, yakni ahli taqwa wal kafaah, yakni orang bertakwa, dimana memiliki sifat amanah, yang akan berhati-hati serta senantiasa taat kepada Rab-Nya dan pemimpinnya dalam mengurus rakyatnya dan memiliki kapabilitas seorang pemimpin yang mampu mengurus rakyatnya dengan adil.

Hal itu pernah dilakukan Rasulullah Saw, dimana beliau mengangkat beberapa sahabat untuk menjadi wali di berbagai wilayah. Diantaranya adalah Utab bin Usaid yang diangkat menjadi wali di Makkah, dan Badzan bin Sasan menjadi wali di Yaman, Muadz bin Jabal menjadi wali di Janad, Khalid bin Walid menjadi ‘amil di Shan’a, Amr bin Ash menjadi wali di Oman, Abu Dujanah diangkat menjadi wali di Madinah, dan lain sebagainya. 

Di dalam Islam, tegaknya kekuasaan bukan untuk meraih kepentingan bagi individu atau kelompok. Islam mengatur kekuasaan tidak lain dan tidak bukan hanya untuk menerapkan hukum syara’ dan melakukan dakwah ke seluruh penjuru dunia.

 Sebagaimana perkataan Imam Mawardi:
“Imamah adalah khilafah yang mengikuti kenabian dalam penjagaan agama dan mengatur dunia dengan agama” 

Imam Ghazali juga mengatakan:
 “Bahwasanya hubungan agama dan kekuasaan sangatlah penting karena memiliki ketergantungan satu sama lain. Agama adalah dasar (pondasi) dan penguasa merupakan penjaganya. Sesuatu yang tanpa dasar (pondasi) akan runtuh dan suatu dasar (pondasi) tanpa penjaga akan hilang”.

Oleh karena itu bangunan tidak akan kokoh tanpa adanya pondasi, dan pondasi pun tidak akan berguna tanpa adanya bangunan. Maka jika agama tidak digunakan dalam kekuasaan, maka agama layaknya pondasi yang tidak ada bangunannya, tidak terlihat kegunaannya. Begitu pula jika kekuasaan seperti hari ini tidak diatur dengan agama, maka layaknya bangunan yang tidak memiliki pondasi. Tidak akan bertahan, dan akan hancur dengan mudah. Wallahualam bissawab. [ry].

Baca juga:

0 Comments: