Headlines
Loading...
Bermajelis dalam Majelis, Di Mana Adab Kalian?

Bermajelis dalam Majelis, Di Mana Adab Kalian?

Motivasi



Oleh. Rut Sri Wahyuningsih 

Bermajelis adalah fitrah manusia sebagai makhluk sosial. Dan menjadi mulia ketika di dalamnya ada ilmu yang disampaikan, lantunan ayat-ayat Allah yang diperdengarkan, dan membacanya secara bersama-sama,  seperti umumnya majelis taklim RT atau RW. 

Ajang sebulan sekali atau bahkan mingguan yang menyenangkan untuk bertemu dengan teman, sahabat atau tetangga yang selama ini jarang muncul, meski bersebelahan rumahnya. Wajar, jika selalu ada kehebohan. Bukan saja karena kaum mak-mak punya potensi mengeluarkan 2000 kata setiap menitnya tetapi bercerita, saling berbagi kisah adalah juga fitrah. 

Namun, hati menjadi sedih ketika di tengah berlangsungnya majelis, mereka malah membuat majelis sendiri. Tak jarang suaranya lebih keras dari majelis asal. Jadinya berisik, mengganggu konsentrasi dan jelas tidak tahu adab. 

Bukankah lebih bijak diam mendengarkan, karena meskipun tak membawa Al-Qur'an atau buku yang biasa dibaca di majelis, mendengarkan juga insyaallah mendapat pahala. Mengaminkan doa bisa jadi lebih baik daripada melanjutkan obrolan meskipun sambil menyembunyikan wajah di balik buku atau kipas. 

Rasulullah telah menyampaikan keutamaan sebuah majelis ilmu melalui sabdanya, “Tidaklah suatu kaum berkumpul di satu rumah Allah, mereka membacakan kitabullah dan mempelajarinya, kecuali turun kepada mereka ketenangan, dan rahmat menyelimuti mereka, para malaikat mengelilingi mereka dan Allah memuji mereka di hadapan makhluk yang ada di dekatnya. Barang siapa yang kurang amalannya, maka nasabnya tidak mengangkatnya" (HR. Muslim).

Bukan bermaksud nyinyir, tapi mencoba mengingatkan. Dari bermajelis banyak hal yang kita dapatkan, yaitu pahala silahturahmi, ampunan dosa karena para malaikat ikut mendoakan kita dalam majelis, ilmu yang bermanfaat, serta aktivitas yang bernilai ibadah di hadapan Allah. Sungguh sangat rugi bukan kalau kita sibuk sendiri bahkan mengajak teman sebelah kanan kiri untuk bergabung?

Bersabarlah sebentar, nanti ketika acara selesai, pasti ada waktunya. Jika belum puas, esok hari masih bisa disambung, tinggal buat janji saja, kecanggihan teknologi sangat memudahkan kita berkomunikasi. Dan kalau dipikir, seberapa penting sih urusan pribadi kita dengan keberkahan majelis? 

Setiap orang bisa menjadi teladan, tak harus ia punya posisi strategis dalam majelis, sebab dalil memiliki adab dalam majelis sangatlah jelas. Terlebih kita adalah muslimah, tentu yang harus melekat adalah identitas Islam kita, bukan yang lain. 

Namun, memang hari ini sangatlah menyedihkan, di mana kiblat kaum muslim adalah peradaban barat, makan minum dengan berdiri, bercampur baur laki-laki dengan perempuan, bukan untuk bermuamalah, tapi sekadar bertemu dan berbincang. Para muslimah seolah sangat bangga jika mempunyai banyak teman ikhwan, atau seorang muslim mempunyai banyak teman akhwat. Menuntut ilmu sekadar jadi penggugur kewajiban. Bahkan, bukan melihat apa yang disampaikan melainkan melihat siapa yang menyampaikan. Jika bukan dari kelompoknya pasti menjauh. Padahal sesama muslim. 

Lebih prihatin lagi dengan kesabaran kaum muslim hari ini yang setipis tisu dibelah tujuh. Bermajelis niatannya hanya untuk untuk obsesi diri. Supaya dilihat saleh salihah, berilmu, memiliki harta, bahkan ada yang datang hanya untuk makanan. Begitu hidangan atau kotakan keluar , otomatis dibuka kemudian komentar sinis, enak gak enak atau elit atau tidak elit. Bukankah Rasulullah melarang kita mencela makanan? 

Dan bagaimana jika sahibul bait mendengar, pastilah ia sedih atau malu karena apapun itu, ia sudah mempersiapkannya dengan sebaik mungkin. 

Majelis rutin di lingkungan kita tinggal juga, kadang miskin materi kajian. Padahal, setiap pertemuan alangkah baiknya ditambah dengan materi baik tsaqafah Islam, hadis, fikih dan lainnya yang bersumber dari Al-Qur'an. Jika tak mampu undangan ustaz dari luar lingkungan karena berbayar, bisa memberdayakan anggota karena pasti ada beberapa orang yang mumpuni dan memiliki potensi untuk dibagikan. 

Masalahnya, masyarakat terlanjur terjebak dalam mindset figuritas. Hanya yang dianggap berilmu, berharta, bergelar atau dituakan saja yang pantas berbagi. Padahal, Islam sangat mendorong setiap individu berdaya guna. Ada sebuah hadis di mana seorang laki-laki pernah bertanya kepada Rasulullah saw., ‘Wahai Rasulullah, siapakah orang yang paling dicintai oleh Allah?” Beliau menjawab, ‘Yaitu, orang yang paling bermanfaat bagi manusia.” (HR Thabrani). 

Artinya apapun bisa dibagikan meski hanya secuil ilmu yang ternyata bagi yang lain ibarat bongkahan emas sebesar gunung Uhud. Maka, pantang meremehkan potensi yang kita miliki, bisa jadi tidak muncul karena kurang diasah saja. Mengasahnya, tentu dengan berbagi. Jadi paham bukan mengapa berdakwah itu mulia? karena selain bisa memberi petunjuk kepada orang lain, juga mendorong diri sendiri menjadi lebih baik. 

Maka, alangkah sayangnya jika dalam majelis justru kita membuat majelis sendiri dan membicarakan sesuatu yang remeh-temeh dibandingkan keberkahan majelis. Ilmu ambyar, apatah lagi memperbaiki diri menjadi lebih baik. Dan bukan cocoklogi, yang biasa begini biasanya paling susah diberitahu. Banyak mengeluh, tapi jika dikatakan itu karena jauh dari Allah (di majelis saja sibuk sendiri), mereka tak percaya. 

Setiap muslim diperintahkan untuk memberikan manfaat bagi orang lain dan pasti manfaatnya akan kembali untuk kebaikan diri kita sendiri. Meski hanya diam mendengarkan di majelis.  Allah Swt. berfirman: “Jika kalian berbuat baik, sesungguhnya kalian berbuat baik bagi diri kalian sendiri” (TQS. Al-Isra:7). Wallahualam bissawab. [My]

Baca juga:

0 Comments: