Headlines
Loading...
Bimbingan Perkawinan, Solusi Permasalahan atau Mempersulit Pernikahan?

Bimbingan Perkawinan, Solusi Permasalahan atau Mempersulit Pernikahan?

Oleh. Thaifah Zhahirah 
(Pendidik dan Pegiat Literasi)

Direktorat Jenderal (Ditjen) Bimbingan Masyarakat (Bimas) Islam Kementerian Agama menerbitkan syarat terbaru bagi calon pengantin yang akan melaksanakan pernikahan. Aturan ini dimuat dalam Surat Edaran Ditjen Bimas Islam No. 2 Tahun 2024 tentang Bimbingan Perkawinan bagi Calon Pengantin. Konsekuensi yang akan diterima bagi pasangan yang tidak mengikuti Bimbingan Perkawinan (Bimwin) ini adalah mereka tidak akan bisa mencetak buku nikah hingga mengikuti Bimwin terlebih dahulu. Kebijakan yang dicanangkan sebagai langkah untuk mengurangi angka stunting dan meningkatkan kesejahteraan keluarga ini rencananya akan diterapkan mulai akhir Juli 2024 (tribunnews.com, 27/3/2024).

Namun pada faktanya, kasus stunting disebabkan oleh banyak hal. Dimana kekurangan asupan gizi yang mendukung tumbuh kembang anak adalah penyebab utama yang juga dipengaruhi oleh banyak faktor, baik langsung maupun tidak langsung, individual maupun sistemik, seperti ekonomi, usia anak, pendidikan ibu, dan ASI eksklusif. Anak yang hidup dalam keluarga dengan keadaan ekonomi yang tidak memadai akan cenderung tumbuh dengan asupan gizi seadanya. Jangankan memenuhi kebutuhan gizi seimbang, bisa makan saja sudah menjadi keberuntungan. 

Pendidikan ibu dan ASI ekslusif juga memiliki ikatan yang erat dengan masalah ekonomi. Pendidikan yang mahal menjadikan akses untuk mendapatkannya tidak bisa diraih oleh semua orang. Hanya kalangan tertentu saja yang bisa memperolehnya. Sehingga banyak dijumpai perempuan-perempuan yang tidak melanjutkan pendidikan jika tidak bekerja, maka akan menjadikan pernikahan sebagai alternatifnya. Dari sini lahirlah ibu yang minim pendidikan dan pengetahuan sehingga tidak memahami bagaimana memastikan tumbuh kembang anak dengan baik.

Secara sistemik dapat dilihat dari pengaturan urusan masyarakat oleh sistem kapitalisme sekuler yang saat ini diterapkan. Dimana kebebasan kepemilikan menjadi salah satu asas penting dalam sistem ini. Dengan kebebasan itu mereka para pemilik modal bebas untuk mengeruk kekayaan alam dan mendapat keuntungan sebesar-besarnya. Pada saat yang sama negara yang hanya berperan sebagai fasilitator tidak mempunyai kemampuan untuk membuka banyak lapangan pekerjaan sesuai dengan kebutuhan. Sehingga para lelaki tidak mampu menjalankan tanggungjawab mereka sebagai pencari nafkah dan memenuhi kebutuhan keluarga.

Di sisi lain, kehidupan sekuler telah melahirkan pola pergaulan yang mengedepankan kebebasan. Sehingga banyak dijumpai anak-anak yang terpaksa harus menikah karena terlanjur hamil. Dalam situasi ini tentu tidak ada jaminan bahwa setelah menikah mereka akan siap dengan kehidupan sebagai keluarga dan orang tua.

Maka, menghadapi persoalan yang terjadi, tidak cukup dengan bimbingan perkawinan. Apalagi dalam kehidupan kapitalisme sekuler saat ini, berbagai program yang dibuat terkesan hanya sebatas formalitas dan sudah barang tentu tidak akan mampu menjadi solusi karena tidak menyentuh akar persoalan.

Berbeda halnya dengan pandangan Islam. Sistem Islam yang mengatur kehidupan secara menyeluruh dan sempurna memandang bahwa pernikahan adalah perkara penting yang memerlukan persiapan. Melalui sistem pendidikan Islam, negara membentuk generasi dengan kepribadian Islam. Sehingga ketika tiba saatnya, mereka akan menjalani kehidupan pernikahan dengan siap. Mereka akan memahami hak dan kewajiban masing-masing dalam kehidupan rumah tangga sehingga semua peran akan berjalan.

Selain menyiapkan generasi, negara juga memastikan segala kebutuhan warga negaranya, termasuk pekerjaan. Karena hal itu merupakan bagian dari tanggung jawab negara dalam menyejahterakan rakyat. Pengelolaan seluruh sumber kekayaan oleh negara akan membuka peluang lapangan pekerjaan yang luas. Selain itu, kekayaan yang diperoleh negara pun akan dikembalikan kepada rakyat dengan berbagai bentuk seperti rumah sakit, jalan, atau kebutuhan lainnya yang tidak berasaskan keuntungan melainkan pengurusan. Sehingga semua itu dapat dinikmati oleh seluruh masyarakat bukan hanya kalangan tertentu saja.

Maka, menghadapi masalah stunting dan kemiskinan yang demikian kronis di negeri ini tidak lain hanya dengan menerapkan aturan Islam dalam seluruh aspek kehidupan. Sistem yang mampu melihat akar persoalan dan menyelesaikannya hingga tuntas.

Wallahualam bissawab. [An]

Baca juga:

0 Comments: