Headlines
Loading...
Surat Pembaca

Oleh. Suyatminingsih S.Sos.i


Terkuaknya kasus bullying di Indonesia bukanlah hal baru, semakin hari kasus bullying mengalami lonjakan yang masif dan cukup genting. Beberapa hari yang lalu, Indonesia dihebohkan dengan tindakan bullying yang dilakukan oleh seorang anak laki-laki, dan dia menyiarkannya secara _live_ di TikTok. Pelaku dengan berani menyebut nama seorang Jenderal TNI yang merupakan kerabatnya (Kompas.com, 28/4/2024). Dalam video tersebut, pelaku juga mengatakan bahwa dia tidak pernah meminta tolong atau menggunakan kekuasaan kerabatnya tersebut, dan dia tidak  takut jika harus dihukum atau di penjara atas tindakannya (IDNTimes.com, 27/4/2024).

Berbagai solusi untuk mengatasi bullying telah diterapkan oleh pemerintah, baik dalam lingkup masyarakat, sekolah dan keluarga. Contoh, adanya program sekolah ramah anak, kota ramah anak, program pencegahan perundungan berbasis sekolah (roots) yang melibatkan peserta didik, pendidik dan sekolah. Ada pula program kebijakan daerah yaitu Pusat Pembelajaran Keluarga (Puspaga,  dan lain sebagainya. Mereka adalah program pencegahan dan penanggulangan tindakan kekerasan (bullying), tetapi program-program tersebut seolah hanya bertugas memotong batang permasalahan, bukan akar permasalahannya.


Miris, makin hari kualitas generasi muda makin memprihatinkan. Mereka kerap bertindak tanpa berpikir akibat yang akan terjadi di kemudian hari, bahkan tidak mempunyai rasa malu di saat mereka benar-benar telah melakukan kesalahan yang fatal. Hal ini, dikarenakan kurangnya perhatian orang sekitar termasuk pemerintah terkait edukasi tentang agama, yakni masalah adab dan pemahaman terkait dosa serta pahala. Beginilah, apabila sistem sekulerisme diterapkan, sehingga edukasi terkait agama tidak diindahkan dan mengakibatkan rusaknya generasi secara mental. 

Selain itu, sistem kapitalisme tidak mempunyai batasan usia yang jelas patokannya, sehingga hukuman yang diberikan pada pelaku tindakan _bullying_ tidak membuat jera. Akibatnya, tindakan tersebut selalu berulang dan seolah menjadi momok dalam kehidupan. Sedangkan dalam Islam, batasan usia sangatlah jelas. Yakni, setiap anak yang sudah baligh, mereka sudah mempunyai kewajiban untuk menerima sanksi, apabila belum baligh maka mereka mempunyai hak mendapat pengarahan atau periayahan.

Di dalam Islam, mengolok, mengejek, bahkan memukul orang lain tanpa alasan syar’i ciri tindakan buruk. Agama melarang hal demikian dan apabila dilakukan oleh seseorang, maka orang tersebut akan mendapat sanksi. 

Jelaslah,  Islam mampu mewujudkan kehidupan yang lebih baik, karena hukum Islam bukanlah buatan manusia, melainkan Allah swt sebagai pencipta dan pengatur kehidupan manusia yang membuatnya. Maka, sudah selayaknya kita menggantikan hukum kufur dengan hukum Islam demi kemaslahatan bersama. 

Wallahu a’lam bish-shawab. [My]

Baca juga:

0 Comments: