Headlines
Loading...
Hari Kartini, Semangat Mana yang Hendak Diteladani?

Hari Kartini, Semangat Mana yang Hendak Diteladani?

Motivasi

Oleh. Rut Sri Wahyuningsih 

Seperti biasa, tanggal 21 April diperingati sebagai hari emansipasi perempuan. Tanggal kelahiran wanita Jepara yang menjadi istri seorang Bupati Rembang, Jawa Tengah seolah menjadi momentum sakral menunjukkan “kedigdayaan” perempuan yang kala itu identik berstatus “konco wingking” (teman yang posisinya di belakang alias dapur, kasur dan sumur). 

Seketika, vibesnya berkebaya, berkonde, ber-make up, lomba kebaya, lomba pidato, lomba catwalk, lomba pasangan terbaik, seminar webinar emansipasi. Mereka berharap dengan momen ini, semangat perempuan terbakar untuk setara dengan pria. Jadi, hingga hari ini mindset yang dibangun adalah bahwa perempuan masih “wanita dijajah pria, sejak dulu”. 

Lengkapnya bahkan menjadi lagu karya musisi besar Indonesia Ismail Marzuki, sebagai berikut:

Diciptakan alam pria dan wanita
Dua makhluk dalam asuhan dewata
Ditakdirkan bahwa pria berkuasa
Adapun wanita lemah lembut manja
… 
Wanita dijajah pria sejak dulu
Dijadikan perhiasan sangkar madu
Namun ada kala pria tak berdaya
Tekuk lutut di sudut kerling wanita

Bisa jadi pemandangan seperti itulah yang berseliweran di benak sang musisi, di mana Islam sudah jauh tak lagi mengatur ijtimak atau sistem pergaulan di masyarakat. Sehingga seolah yang ada hanyalah wanita ada di pihak yang kedua. Bisa membuat pria bertekuk lutut hanya jika mengerling dengan kecantikannya. 

Kalimat pria berkuasa pun konotasinya masih negatif, makin parah didramatisir oleh pegiat gender dengan menyamakan belenggu yang mengakhiri kebebasan perempuan. Namun, yang dimaksud kebebasan yang mana? Apakah benar manusia memiliki kebebasan dalam hidupnya?

Padahal Allah sendiri menjanjikan, ”Dan kembalilah kamu kepada Tuhanmu, dan berserah dirilah kepada-Nya sebelum datang azab kepadamu kemudian kamu tidak dapat ditolong (lagi).” (QS. Az Zumar 39: 53-54). Setiap yang bernyawa akan mati dan semua akan kembali kepada Allah guna mempertanggungjawabkan seluruh amalnya ketika di dunia, jika kafir lebih simple lagi, mereka tak dihisab tapi langsung sah menjadi penghuni neraka. 

Sedang mereka yang muslim, meski ada iman yang sedikit masih akan dipertimbangkan oleh Allah Yang Maha Pengasih dan Penyayang. Sungguh merugi bukan jika kita sepanjang hayat hanya memperjuangkan yang sama sekali tidak menolong kita di akhirat? Menjadi pejuang emansipasi salah satunya. Apakah semangat ini yang akan kita teladani dari Kartini?

Surat-surat Kartini yang kemudian dikumpulkan menjadi sebuah buku berjudul Habis Gelap Terbitlah Terang sebetulnya tak begitu rinci menjelaskan bagaimana cara-cara Kartini mengupayakan perubahan itu selain hanya keluh kesahnya yang dikungkung adat Jawa yang ketat. Boleh dikata, ketika hari ini Kartini telah tiada, yang tadinya terang menjadi gelap lagi. 

Perkara terang dan gelap, Allah lebih indah menggambarkannya, “Dengannya (kitab suci) Allah menunjukkan kepada orang yang mengikuti rida-Nya jalan-jalan keselamatan, mengeluarkannya dari berbagai kegelapan menuju cahaya dengan izin-Nya, dan menunjukkan kepadanya (satu) jalan yang lurus”. (QS Al-Maidah Ayat 16). Kegundahan Kartini yang ingin mempelajari Islam lebih dalam ini yang jarang terekspos. Sebagaimana kita, seorang Kartini pun harus dan ingin memperdalam agama yang ia yakini, penjajah Belandalah yang sukses mengalihkan jalan cerita agar proses pencarian ini tidak membakar semangat kaum Muslim lebih besar lagi. 

Inilah pula alasan mengapa yang memiliki hari khusus untuk diperingati hanya Kartini.  Bagaimana dengan Christina Martha Tiyahahu, Dewi Sartika, Cut Nya Dien, Nyi Ageng Serang, Cut Mutia dan yang lainnya? Mereka adalah perempuan yang secara fisik melakukan perlawanan kepada pemerintahan Belanda, tentu tak baik jika dijadikan teladan. 

Jika bisa dipermudah mengapa dipersulit, mungkin itu motto para penjajah negeri ini. Jika mengaduk pemikiran para wanita dengan apa yang tampaknya feminim lebih mudah,  mengapa harus susah payah menampilkan sisi heroiknya? Padahal, dalam Islam banyak tokoh perempuan yang menjadi pembaharu tanpa meninggalkan kodrati mereka bahkan akidah Islamnya. 

Tak perlu juga susah-susah menyamakan  status pria dan wanita, selamanya tak akan bisa, sebab dari awal penciptaannya saja berbeda. Hari ini malah kacau, yang pria ingin jadi wanita, yang wanita ingin jadi pria. Inilah bukti jika nafsu dan akal manusia diberi kebebasan, menentukan apa yang terbaik baginya saja tak mampu. Padahal Islam datang dengan kemudahan, baik pria maupun wanita, bisa meraihnya. 

“Sesungguhnya laki-laki dan perempuan yang muslim, laki-laki dan perempuan yang mukmin, laki-laki dan perempuan yang tetap dalam ketaatannya, laki-laki dan perempuan yang benar, laki-laki dan perempuan yang sabar, laki-laki dan perempuan yang khusyu’, laki-laki dan perempuan yang bersedekah, laki-laki dan perempuan yang berpuasa, laki-laki dan perempuan yang memelihara kehormatannya, laki-laki dan perempuan yang banyak menyebut (nama) Allah, Allah telah menyediakan untuk mereka ampunan dan pahala yang besar.” (TQS al-Ahzab: 35). 

Sekarang, yang perlu diubah adalah bahwa Kartini pun manusia, meskipun  profilingnya hari ini adalah settingan penjajah, namun tetaplah ia hamba Allah sebagaimana kita, artinya punya hak dan kewajiban yang sama. Alangkah bijak jika kita mulai meneladani semangatnya melakukan perubahan, bagaimana Al Fatihah begitu menarik minatnya. Ia melihat satu surah dalam Al-Qur'an inilah yang jelas mengeluarkan setiap manusia dari kegelapan menuju terang. 

Tentu lebih indah jika semua sudah dalam Al-Qur'an bisa semua diterapkan, itulah perjuangan sesungguhnya. Selagi kita masih diberi waktu mengapa kita sibuk memenuhi angan dengan apa kata kaum kufar dan feminis anteknya? [My]

Baca juga:

1 komentar