Headlines
Loading...
Hukum yang Semena-mena, Bukti Nyata Lemahnya Hukum di Indonesia

Hukum yang Semena-mena, Bukti Nyata Lemahnya Hukum di Indonesia

 
Oleh. Puput Weni R

Deputi Direktur Amnesty Internasional Indonesia Widya Adiwena menilai hukum di Indonesia semakin lemah. Pasalnya, kriminalisasi kerap terjadi, terutama dari aparat kepada masyarakat yang melakukan aksi unjuk rasa.

Tahun 2023 lalu 3 aktivis Papua dipenjara dengan tuduhan makar karena menyuarakan pendapat mereka secara damai. Di Pulau Rempang, Kepulauan Riau, negara juga tidak melakukan konsultasi dengan masyarakat terkait proyek pembangunan yang mengancam akses Masyarakat Adat Tempatan ke tanah leluhur. Aparat kepolisian justru menggunakan gas air mata, meriam, dan peluru karet kepada masyarakat Rempang yang menyuarakan keberatan. Dan Di Papua, aparat keamanan bahkan melakukan penyiksaan terhadap tahanan, seperti kasus kematian 6 orang tahanan Papua di Desa Kwiyagi, Kabupaten Lanny Jaya, Papua Pegunungan, pada 6 April 2023. (idntimes.com, 24-4-2024)

Kondisi hukum di negeri ini sedang tidak baik-baik saja. Negeri yang menggadang-gadang dirinya sebagai salah satu negara yang menjunjung tinggi HAM. Namun faktanya para penegak hukum sendiri yang menunjukkan pelanggaran HAM.

Kebebasan berpendapat rakyat dibungkam. Ketika mengutarakan pendapat yang berbeda dengan kepentingan yang ada maka pelaku bisa dijerat hukum, seperti dituduh makar, membuat kegaduhan dan sebagainya. Aparat penegak hukum yang bertugas sebagai perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat malah bertindak agresif seakan sebagai alat pukul memilik kepentingan.

Inilah sebagian kecil bukti nyata pelemahan hukum di Indonesia. Semakin banyak kriminalitas, banyak kasus yang tidak tuntas penyelesaian atau tidak adil karena penerapan hukum yang semena-mena.

Dalam sistem demokrasi dimana sebuah sistem yang mengatur dan membuat kebijakan adalah manusia. Sehingga menjadikan hukum gampang di otak-atik oleh pembuat hukum sesuai kepentingannya. Kemudian sistem demokrasi berkolaborasi dengan kapasitas, sistem yang menjadikan sekularisme sebagai pandangan hidup. Sehingga demokrasi menjadikan akal sebagai pedoman dan meninggalkan aturan agama dalam pengaturan kehidupan. Alhasil, aturan yang dibuat akan tumpang tindih karena para kapitalis atau pemilik modal yang menjadi raja. Hukum yang berlaku akan tumpul ke atas dan tajam ke bawah.

Penerapan hukum juga tidak menimbulkan efek jera. Para koruptor, kekerasan aparat, KKB di Papua, bandar besar narkoba hingga kini tidak ada penyelesaian yang tuntas.

Berbeda dengan sistem Islam yang memiliki sistem sanksi yang sempurna dan paripurna. Terdapat dua fungsi yaitu pertama, Jawabir (penebus) dimana hukuman yang diterapkan akan menebus dosa pelaku sehingga di akhirat kelak tidak akan dimintai pertanggungjawaban. Kedua, Zawajir (pencegah) yaitu hukuman yang diterapkan akan membuat pelaku jera dan mencegah orang lain untuk tidak melakukan hal yang sama.

Istilah HAM tidak ada dalam Islam. Segala suatu dikatakan melanggar hukum jika tidak sesuai dengan hukum syarak. Jika ada rakyat yang tidak puas dengan kebijakan pemimpin, mereka boleh melaporkan ke Majelis Umat kemudian akan disampaikan ke pemimpin setempat. Jika tidak tindak lanjut, laporan dapat naik ke Khalifah. Khalifah akan mengambil keputusan sesuai hukum syarak. Alhasil, tidak ada kekerasan dan keputusanpun akan adil.

Berbeda dengan pemberontakan. Islam mengharamkan pemberontak dan para pelaku pemberontak wajib diperangi serta prosesnya juga harus sesuai dengan hukum syarak tidak boleh semena-mena.

Penerapan sistem sanksi ini tidak dapat berdiri sendiri, harus ada sistem pemerintahan Islam yang menerapkan Islam secara keseluruhan dalam setiap sistem kehidupan. Sehingga wibawa hukum terjaga, terwujudnya keadilan dan ketentraman dalam kehidupan. Tidak ada penguasa yang berani mengotak-atik hukum sesuai kepentingannya.

Baca juga:

0 Comments: