Headlines
Loading...
Ketahanan Pangan Sebatas Angan

Ketahanan Pangan Sebatas Angan


Oleh. Esti Dwi

Sulitnya petani Indonesia mendapatkan pupuk bersubsidi merupakan lagu lama yang tak kunjung mendapat penanganan tuntas. Walaupun pemerintah menambah alokasi pupuk subsidi pada tahun 2024 dari semula 4,7 juta ton menjadi 9,55 juta ton, kenyataannya petani masih kesulitan mendapatkan pupuk bersubsidi di lapangan. Kepala Pusat Pembenihan Nasional Serikat Petani Indonesia (SPI), Kusnan, mengatakan bahwa tambahan alokasi pupuk subsidi pemerintah belum ada realisasi yang berarti. Petani masih sulit untuk mendapatkan pupuk subsidi karena jumlahnya yang dibatasi. Lahan seluas 1 hektare hanya mendapat 100 kg urea dan 70 kg NPK per musim tanam. Hal ini tidak bisa untuk mencukupi kebutuhan tanaman. (Kontan.co.id,18/4/2024)
 
Petani juga masih dipersulit dengan urusan administrasi karena untuk mendapatkan pupuk bersubsidi, petani wajib memenuhi beberapa syarat. Pertama, harus ikut kelompok tani dan terdaftar dalam Sistem Informasi Manajemen Penyuluh Pertanian (Simluhtan). Kedua, petani wajib menggarap tanah maksimal dua hektare. Ketiga, petani wajib memiliki dan menggunakan kartu tani (daerah tertentu). Keempat, petani hanya menanam komoditas padi, jagung, kedelai, bawang merah, bawang putih, cabai, kopi, tebu rakyat, dan kakao. (antaranews.com, 20/4/2024)

*Penyebab Keterbatasan Pupuk* 

Sebagai negara agraris, Indonesia memang sangat terkait dengan masalah pupuk. Keberadaanya menjadi wajib dipenuhi negara karena merupakan hal yang urgen dalam pertanian. Namun sangat disayangkan, problem ini masih menjadi momok yang belum terselesaikan dengan baik. Banyak oknum nakal yang memanfaatkan kebutuhan petani ini dengan menjual harga pupuk di atas harga eceran tertinggi. Di Bojonegoro, harga pupuk urea Rp121,5 ribu per sak dari Rp112,5 ribu per sak. Pupuk nonsubsidi lebih mahal lagi, yakni bisa mencapai Rp320 ribu per sak. (radarbojonegoro.jawapos.com 20/4/2024)

Selain keberadaan oknum yang melakukan kecurangan, keseriusan pemerintah menyelesaikan problem ini juga perlu dipertanyakan. Sebab sampai saat ini bahan baku pembuatan pupuk ternyata masih bergantung pada suplai impor. Salah satunya adalah amonium nitrat sekitar 21% dari total kebutuhan industri. Meski saat ini sedang ada pembangunan PT Kaltim Amonium Nitrat (KAN) yang merupakan _joint venture_ PT Pupuk Kaltim dengan PT Dahana, nyatanya hanya bisa menutupi impor 8% amonium nitrat sehingga pemerintah tetap harus impor. (kompas.co.id, 29/2/2024)

*Ketahanan Pangan Sebatas Angan* 

Dalam sistem kapitalisme saat ini, di mana uang atau materi menjadi tolak ukur dalam perbuatan seseorang, sangat wajar bila orang melakukan segala cara untuk meraih keuntungan. Apalagi bahan baku pupuk yang mahal akan menyebabkan harga jual pupuk ikut mahal. 

Di sisi lain, sistem ini menjadikan penguasa berlaku sebagai pedagang dalam memperlakukan rakyatnya. Untung dan rugi materi selalu menjadi pertimbangan dalam setiap kebijakannya. Kalaupun ada subsidi, keberadabannya hanyalah semacam gula-gula untuk meredam emosi yang mungkin timbul di tengah rakyat. Sejatinya, negara tidak pernah menjadi pelayan umat yang mengusahakan kesejahteraan untuk rakyat. Selama menguntungkan kantong pribadi dan golongannya, kran impor akan selalu dibuka. 

Kemandirian pangan tidak akan terpikirkan secara serius karena negara lebih bergantung pada pihak asing. Rakyat hanya dimanfaatkan untuk diambil suaranya waktu pemilu, selebihnya rakyat dibiarkan mengurus dirinya sendiri. Bahkan, mereka yang katanya wakil rakyat dan penguasa pilihan rakyat, justru tega membuat kebijakan yang menyengsarakan rakyatnya sendiri. Melalui kebijakan tersebut, rakyat dijadikan mesin penghasil kekayaan bagi segelintir kapitalis. 

*Islam Menyejahterakan* 

Berbeda dengan kapitalisme yang menjadikan uang sebagai standar perbuatan, Islam menetapkan standard perilaku manusia adalah halal dan haram. Begitu pula dengan seorang penguasa yang akan menjadikan hukum syarak sebagai landasan dalam mengambil kebijakannya. Dalam Islam, wajib bagi penguasa bertindak sebagai ra'in atau pelayan umat yang harus memperhatikan kebutuhan rakyatnya karena akan dimintai pertanggung jawaban kelak di akhirat. Pemimpin diibaratkan sebagai penggembala yang tidak boleh menjerumuskan hewan gembalaannya. Sebaliknya, dia akan sungguh-sungguh menjaganya dan memperhatikan segala kebutuhannya, sebagaimana hadis Rasulullah: 


الإِÙ…َامُ رَاعٍ Ùˆَ Ù…َسْؤُÙˆْÙ„ٌ عَÙ†ْ رَعِÙŠَّتِÙ‡ِ…

_“Imam itu adalah laksana penggembala, dan dia akan dimintai pertanggungjawaban akan rakyatnya (yang digembalakannya)”_ (HR. Imam Bukhari dan Imam Ahmad)

Khalifah sebagai pemimpin umat akan berusaha secara serius mewujudkan ketahanan pangan. Negara wajib memenuhi apa yang menjadi kebutuhan para petani sehingga bisa bekerja dengan baik menghasilkan bahan pangan untuk masyarakat. Negara harus membantu para petani yang kesulitan, baik berupa modal maupun sarana produksi pertanian, termasuk pupuk. Negara pun akan mendorong penelitian dan memproduksi bahan baku pupuk secara mandiri sehingga tidak perlu mengandalkan impor. 

Semua itu mampu dilakukan karena negara memiliki sumber pendapatan yang banyak seperti jizyah, fai, kharaj, ganimah, pengelolaan SDA, dan sebagainya. Pendanaan yang mencukupi kebutuhan sehingga mampu mewujudkan ketahanan dan kemandirian pangan. Inilah ketika Islam diterapkan secara totalitas oleh negara. Karena itu, memperjuangkan agar Islam ditegakkan secara kaffah adalah sebuah keharusan agar ketahanan dan kemandirian pangan tak sebatas angan-angan belaka. 
_Wallahu a'lam_

Baca juga:

0 Comments: