Headlines
Loading...
Lemahnya Mitigasi Bencana di Indonesia, Adakah Upaya untuk Memperbaikinya?

Lemahnya Mitigasi Bencana di Indonesia, Adakah Upaya untuk Memperbaikinya?


Oleh. Dea Ariska

Kawan coba dengar apa jawabnya
Ketika ia kutanya mengapa
Bapak ibunya telah lama mati
Ditelan bencana tanah ini

Layaknya penggalan lirik lagu Ebit G. Ade berjudul Berita Kepada Kawan tersebut, bencana di tanah air kita Indonesia semakin banyak terjadi. Setiap musim memiliki alasannya tersendiri yang menjadi sebab datangnya bencana, selain penyebab dari sisi ulah tangan manusia tentunya. Kebakaran hutan akibat kemarau panjang atau banjir akibat curah hujan yang tinggi misalnya. 

Terkadang saking seringnya suatu daerah terkena bencana, justru warga sudah semakin “akrab” dan menerima bencana itu dengan santai. Bahkan hal ini pula yang menyebabkan warga Indonesia mendapat predikat sebagai warga paling ‘positive thinking’ karena masih tetap berbahagia saat bencana datang, contohnya berenang di tengah banjir. Meskipun begitu, banyaknya bencana yang terjadi di berbagai daerah tentunya diharapkan tetap bisa diatasi dengan baik.

Bahkan di satu daerah tejadi lebih dari satu bencana dengan lebih dari satu penyebab pula, dan tentunya memberi dampak pada berbagai aspek. Menurut data BPBD Lumajang, terdapat sembilan kecamatan di Lumajang yang terdampak bencana banjir dan longsor. Banjir yang terjadi tidak hanya berupa banjir lahar hujan Gunung Semeru. Namun terdapat pula banjir akibat meluapnya debit air sungai yang letaknya berdekatan dengan aliran yang dilewati lahar (kompas.com, 05/05/2024).

Seperti yang kita tahu, Gunung Semeru merupakan salah satu gunung yang masih aktif di Indonesia, sehingga sangat mungkin terjadi erupsi kapan saja. Bencana yang terjadi terkait erupsi gunung tentunya pun sudah sering terjadi. Namun dengan jatuhnya korban dan berbagai kerusakan yang ditimbulkan akibat bencana tersebut, pada akhirnya menunjukkan bahwa penanganan bencana masih belum menerapkan mitigasi yang profesional dan sungguh-sungguh.

Beberapa warga mengaku takut untuk kembali ke rumahnya karena sudah merasa tak aman untuk tinggal di rumah. Solusi yang diberikan kepada warga yang tinggal di zona merah untuk relokasi pun juga tidak semua warga menjalankannya dengan alasan pekerjaan. Di rumah baru tempat warga direlokasi, jaraknya cukup jauh dengan lahan perkebunan sehingga membuat mereka memilih untuk kembali ke rumah lama. “Kalau di sana jauh dari ladang, jadi kami memutuskan kembali ke rumah ini saja”, kata Junaidi kepada wartawan Tutus Sugiarto yang melaporkan untuk BBC News Indonesia (bbc.com, 5/5/2024).

Tak jarang penanganan bencana pun terkendala oleh dana. Padahal jika kita lihat hari ini, pengalokasian dana untuk pembangunan infrastruktur penunjang investasi jusru sangat masif, sedangkan dana untuk mitigasi bencana minim. Padahal mitigasi bencana berkaitan langsung dengan keselamatan warga.

Keterbatasan dana ini akhirnya membuat negara bergantung pada bantuan warga atau lembaga swadaya dalam memenuhi kebutuhan pokok warga pasca bencana, dan sangat mungkin bahkan sudah pernah terjadi momen semacam ini disalahgunakan. Seharusnya lembaga swadaya ini melakukan kegiatan kemanusiaan untuk membantu korban bencana dengan tanpa mengharap imbalan. Namun hari ini, tak jarang justru dijadikan sebagai sarana untuk mewujudkan kepentingan tertentu suatu organisasi.

Hal ini sungguh sangat jauh dari sistem penanganan bencana menurut Islam. Sebab dalam Islam pemimpin negara adalah pengurus rakyat yang bertanggung jawab atas keselamatan rakyatnya dalam segala kondisi terutama saat bencana. Lemahnya mitligasi bencana pada dasarnya terjadi karena negara masih abai terhadap keselamatan rakyatnya.

Pengupayaan untuk ketersediaan dana dalam penanganan bencana pun dilakukan secara maksimal. Ketersediaan dana akan terwujud dengan sistem Islam, karena jika ada kebutuhan rakyat maka khilafah akan menyediakan dana dari berbagai pos penerimaan dana, bukan dari sistem APBN. 

Kekuatan kas negara tersebut akan mampu merelokasi warga ke tempat yang lebih aman beserta penyediaan lahan pekerjaan. Selain itu negara juga akan mampu mengadakan alat pendeteksi bencana yang canggih juga sarana prasarana termasuk transportasi canggih untuk mengevakuasi korban bencana secara efektif dan efisien. Sebab evakuasi berkaitan erat dengan waktu, maka semakin cepat dilakukan evakuasi, semakin besar pula peluang terselamatkannya warga. Ketersediaan dana tentunya juga dapat mewujudkan pembangunan infrastruktur yang rusak akibat terdampak bencana, sehingga warga dapat segera beraktivitas normal kembali.

Kondisi tersebut tentunya tak dapat tercapai dalam sistem kapitalis hari ini yang menyebabkan privatisasi SDA dan membuat negara abai terhadap rakyatnya. Melainkan hanya akan tercapai jika negara menerapkan sistem pemerintahan Islam yang akan menghadirkan pemimpin yang akan mewujudkan kas negara yang kuat serta mengurus rakyat dengan amanah.

Wallahualam. [Ni]

Baca juga:

0 Comments: