Headlines
Loading...
Oleh. Dira Fikri

Gula adalah salah satu bahan pangan yang cukup penting di kalangan masyarakat. Setiap dapur pasti membutuhkan gula sebagai salah satu komoditas penting. Namun, belakangan ini gula menjadi sorotan karena stoknya yang langka di pasaran dan harga yang melambung naik. 

Kenaikan harga bahkan tidak hanya terjadi di toko offline tapi juga toko-toko ritel online. Sejak bulan April, harga gula tembus sekitar Rp 17.820/kg. Bahkan di beberapa daerah ada yang sampai Rp 20.000/kg. Padahal sejak Agustus harga gula masih tercatat di Rp 14.700/kg, artinya rata-rata bulanan sudah mengalami kenaikan sekitar 22,10 %.

Melalui Badan Pangan Nasional (Bapanas), pemerintah memberlakukan relaksasi HAP (Harga Acuan Penjualan) gula di tingkat konsumen sejak 5 April hingga 31 Mei 2024 mendatang. Keputusan ini menyusul karena adanya kenaikan harga gula di tingkat konsumen yang jauh di atas HAP di Rp 16.000/kg dan meningkatnya kebutuhan gula saat Lebaran kemarin. Maka diputuskan harga gula konsumen di tingkat konsumen dan ritel sebesar Rp 17.000/kg dan untuk wilayah 3TP sebesar Rp 18.500/kg.

Menurut Ketua Umum Asosiasi Petani Tebu Rakyat Indonesia (APTRI) Soemitro Samadikoen, kenaikan harga gula di tingkat konsumen bisa terjadi karena kurang persediaan dan pemerintah tidak memiliki stok gula sebagai cadangan nasional. Hal ini berakibat pemerintah tidak bisa melakukan intervensi harga gula di pasaran. 

Kebijakan HAP juga dirasa kurang tepat, karena sebenarnya relaksasi harga itu bukan keinginan dari petani. HAP juga berbeda dengan HET (harga eceran tertinggi) yang mana itu bersifat tetap atau fix rate. Sedangkan toleransi harga dari HAP juga tidak jelas dan minim pengawasan. (cnbcindonesia.com,19/4/2024).

Sejak tahun 1967 Indonesia telah berubah dari eksportir gula menjadi importir gula. Hal ini berimbas pada produktivitas gula di tanah air. Bahkan setelah meratifikasi liberasi perdagangan yang tertuang dalam Putaran Uruguay (PU) sebagai rangkaian dari General Agreement on Tariff and Trade (GATT) 15 Desember 1993, Indonesia telah menjadi importir terbesar di dunia.  

Meski telah berulang kali menggaungkan akan kembali menjadi swasembada gula, menurunnya jumlah petani tebu kini ditambah semakin surutnya luasan lahan pertanian, dan semakin banyaknya pabrik gula yang gulung tikar, agaknya mimpi untuk kembali menjadi importir gula masih jauh dari angan. 

Lonjakan harga bahan pangan akhir-akhir ini memang kian mengkawatirkan. Secara teknis kebijakan pemerintah berupa penetapan harga justru menjadikan masyarakat sulit untuk menjangkaunya. Apalagi faktanya jika harga sudah naik, sangat sulit untuk turun ke harga semula. Ketergantungan Indonesia terhadap impor gula juga sangat mempengaruhi kestabilan harga. 

Penentuan harga tidak bisa lagi melalui mekanisme supply and demand. Para pelaku pasar (spekulan) juga turut menentukan harga berdasarkan kepentingan mereka. Belum lagi kondisi cuaca ekstrim yang mempengaruhi produksi di negara-negara importir. Hal ini semakin memperparah lonjakan harga gula menjadi semakin tinggi.

Konsep kebijakan liberalistik yang menjadikan pemerintah hanya sebagai regulator dan menyerahkan mekanisme importasi gula kepada swasta adalah permasalahan yang harus diselesaikan. Keinginan untuk menjadi swasembada pangan termasuk gula tidak disertai dengan kebijakan yang berbanding lurus.

Kebijakan pengurangan subsidi pertanian misalnya, menjadikan petani-petani kecil sulit untuk menaikkan kualitas produksinya. Bahkan banyak yang akhirnya menjual lahannya akibat biaya pengolahan lahan yang tinggi. Di satu sisi, atas nama investasi pemerintah justru memberikan karpet merah untuk korporasi pertanian multinasional untuk ikut mengelola importisasi gula yang berimbas terhadap harga yang sulit dikendalikan.

Karena harga diserahkan pada mekanisme pasar yang menjadikan absennya peran negara dalam hal ini. Tata kelola pangan yang diserahkan kepada korporasi ini hanya berorientasi keuntungan semata, bukan dalam rangka untuk melayani kebutuhan rakyat seutuhnya. Hal ini tidak lepas dari sistem ekonomi yang diterapkan di negara kita yaitu sistem ekonomi kapitalisme.

Sedang Islam memiliki pandangan berbeda dalam tata kelola pangan dan pertanian. Dimana secara prinsip, Islam menjadikan pemenuhan kebutuhan pokok rakyat setiap individunya termasuk pangan sebagai tujuan. Dan dalam pelaksanaanya haram hukumnya diserahkan kepada swasta. Karena hal itu adalah kewajiban negara sebagai institusi yang diamanahi untuk mengurus urusan rakyat.

Rasulullah saw. bersabda, “Imam (Khalifah) adalah raa’in (pengurus rakyat) dan ia bertanggung jawab terhadap rakyatnya.” (HR Muslim dan Ahmad).

Dalam sistem Islam, negara harus berusaha dengan berbagai upaya agar seluruh rakyat bisa mengakses kebutuhan pokok dengan mudah dan murah. Melindungi kebutuhan petani agar produktifitas pangan termasuk gula bisa meningkat. Membangun infrastruktur yang memadai sehingga distribusi hasil pangan menjadi lancar dan maksimal. Dalam menjaga kestabilan harga, Islam memiliki mekanisme alami yang tidak akan merusak mekanisme supply and demand, seperti menghilangkan penimbunan, kartel, dan lain-lain. 

Negara juga wajib menciptakan kemandirian pangan dan berlepas diri dari perjanjian internasional yang mengikat dan merugikan rakyat. Wallahu’alam. [ry].

Baca juga:

0 Comments: