Headlines
Loading...

Oleh. T. Indah. S.W.

Beberapa hari yang lalu, tepatnya tanggal 1 Mei kita memperingati Hari Buruh Internasional dengan tema “Social Justice and Decent Work for All". Banyak PR besar menunggu untuk diselesaikan mengingat carut marut permasalahan buruh yang tak kunjung selesai. Baik itu gelombang PHK, upah sangat minimum, sampai lapangan kerja yang sulit.
 
Kalau kita menengok sejarah Hari Buruh Internasional berawal dari aksi demonstrasi para buruh di Chicago, Amerika Serikat, pada tahun 1886. Para pekerja menuntut jam kerja 8 jam per hari, 6 hari seminggu, dan upah yang layak.
 
Aksi ini diwarnai dengan kerusuhan sampai terjadi tragedi Haymarket Affair yang menelan korban mencapai 8 orang wafat, 70 terluka,lebih dari 100 orang ditangkap.
 
Miris sekali, ratusan tahun berlalu, tuntutan para pekerja masih sama dan tidak jauh berbeda dengan yang diinginkan buruh pada tahun 1886 lalu.
 
Karena penerapan sistem ekonomi kapitalisme yang memandang buruh sebagai bagian dari produksi sehingga harus diminimalkan biayanya untuk mencapai keuntungan yang maksimal.
 
Inilah yang digugat Karl Marx, bapak sosialisme. Karl Marx menganggap bahwa sistem ekonomi kapitalisme telah melakukan eksploitasi terhadap kaum buruh. Sayangnya gugatan Karl Marx hanya sebatas menuntut dihapuskannya perbedaan kelas di tengah masyarakat dan kenaikan upah.
 
Padahal bukan itu akar masalahnya. Masalahnya ada pada sudut pandang yang menempatkan buruh sebagai bagian dari produksi atau seperti mesin-mesin yang menjalankan produksi di suatu perusahaan sehingga nasib buruh sangat bergantung pada perusahaan dan gelombang PHK terus menerus terjadi.
 
Negara dalam kapitalisme tidak berperan langsung memberi jaminan kepada para buruh tetapi hanya sebagai regulator dan mediator yang menengahi para buruh dan perusahaan.
 
Berharap kesejahteraan bagi para buruh seperti pungguk merindukan bulan. Apalagi upah minimum, sementara kebutuhan hidup serba mahal mustahil kesejahteraan bisa diraih.
 
Islam memandang buruh bagian dari individu rakyat yang harus dijamin pemenuhan kebutuhannya. Negara berkewajiban menjamin kebutuhan pokok setiap orang.
 
Dalam Islam bekerja adalah mubah dan harus terikat dengan syariat. Standar gaji yang dipakai dalam Islam adalah manfaat tenaga yang diberikan buruh, bukan berdasarkan biaya hidup terendah. 

Rasulullah saw. bersabda, “Berikan kepada seorang pekerja upahnya sebelum keringatnya kering.” (HR.Ibnu Majah).
 
Sehingga tidak akan terjadi eksploitasi buruh oleh para majikan. Jika terjadi sengketa antara buruh dan majikan dalam menentukan upah, maka pakar (khubara’)-lah yang menentukan upah sepadan.
 
Pakar ini dipilih oleh kedua belah pihak. Jika keduanya tidak menemukan kata sepakat, maka negaralah yang memilihkan pakar tersebut untuk mereka, dan negaralah yang akan memaksa kedua belah pihak ini untuk mengikuti keputusan pakar tersebut.
 
Negara tidak perlu menetapkan UMR (upah minimum regional) sehingga kebutuhan pokok, sekunder hingga tersier bisa terpenuhi. 

Wallahualam

Baca juga:

0 Comments: