Headlines
Loading...
Oleh. Eka Suryati 

Ku buka jendela, mentari mulai menampakkan dirinya. Dari jauh kulihat dua anak kecil, sepertinya kakak beradik, berlari di jalan raya yang masih sunyi dari lalu lalang kendaraan, udara pun terasa sejuk. Ketika kaki adiknya tersandung, dengan kasih sayangnya, sang kakak memapah adiknya agar dapat berdiri dan berjalan kembali. Kedua kakak dan adik itu pun berlalu dari hadapanku.

Melihat kemesraan yang terjalin antara kakak dan adik tadi, khayalku melayang, melintasi waktu. Aku teringat masa kanak-kanakku dulu. Karena masih terbawa suasana pengorbanan keluarga Nabi Ibrahim yang sering dibicarakan di grup-grup WA kami, jadi teringat sebuah cerita yang mengisahkan pengorbanan seorang kakak untuk adik tercinta. Cerita itu begitu memberi kesan mendalam, mungkin karena cerita masa kecil, sehingga ceritanya masih melekat dalam ingatan.

Aku beranjak dari tempat semula, kembali masuk.  Buku yang sering digunakan untuk corat-coret, ketika suatu ide melintas kuraih, lalu mulailah sebuah cerita kutuliskan.

***************************

Di sebuah desa yang indah, suasananya terasa damai, tinggallah sebuah keluarga. Mereka tinggal di rumah hanya berdua saja, seorang anak dan ayahnya. Anak tersebut bernama Dafa, dan ayahnya bernama Pak Arman. Ibu Dafa telah lama meninggal dunia, meninggalkan mereka berdua dalam kenangan yang selalu membayang. Kehidupan mereka sederhana namun penuh kasih sayang. Setiap hari, Pak Arman bekerja keras untuk memenuhi kebutuhan mereka, sementara Dafa membantu sebisa mungkin. Walaupun tanpa sosok ibu, mereka tetap bahagia dan saling mendukung satu sama lain.

Suatu hari, saat Dafa dan ayahnya berjalan-jalan di sekitar desa, mereka menemukan seorang anak kecil yang duduk di tepi jalan. Anak itu tampan dengan senyum manis yang selalu menghiasi wajahnya, namun ada sesuatu yang berbeda; netranya kosong dan tidak bisa melihat. Dengan lembut, Pak Arman mendekatinya.

“Nak, siapa namamu? Mengapa kamu sendirian di sini?” Pak Arman bertanya pada anak itu.

Anak itu menjawab dengan suara lembut, “Nama saya Rama. Saya tidak bisa melihat karena kecelakaan yang juga merenggut kedua orang tua saya. Sejak saat itu, saya sendirian.”

Mendengar cerita Rama, hati Pak Arman dan Dafa tergerak. Tanpa ragu, Pak Arman mengajak Rama untuk tinggal bersama mereka. 

“Nak, mulai sekarang kamu bisa tinggal bersama kami. Kami akan menjadi keluargamu,” ucap Pak Arman sambil tersenyum hangat. 

Rama pun tersenyum bahagia dan setuju untuk ikut dengan mereka.

Sejak hari itu, Rama menjadi bagian dari keluarga kecil mereka. Dafa sangat gembira memiliki seorang adik baru, meskipun Rama tidak bisa melihat, ia sangat menyayanginya. Hari-hari mereka dipenuhi dengan keceriaan, bermain bersama, dan saling berbagi cerita. Rama dengan segala keterbatasannya selalu membawa kebahagiaan bagi keluarga tersebut. Kebahagiaan memenuhi keluarga kecil itu.

Waktu terus berlalu, dan mereka semakin dekat. Pak Arman merasa sangat bahagia melihat kedua anaknya saling menyayangi. Namun, kebahagiaan itu tidak bertahan lama. Suatu hari, Dafa mulai merasa tidak enak badan. Setelah beberapa kali mengeluh sakit, Pak Arman memutuskan untuk membawanya ke dokter yang ada di desa mereka. Entah mengapa dokter tersebut menganjurkan untuk segera memeriksakan lebih lanjut ke rumah sakit yang ada di kota. 

Singkat cerita, Pak Arman membawa Dafa ke kota, untuk pemeriksaan lebih lanjut. Betapa terkejutnya mereka saat dokter mengatakan bahwa Dafa mengidap penyakit yang sangat parah dan diperkirakan tidak akan berumur panjang.

"Benarkah Dok, anak saya menderita sakit yang parah." Pak Arman bertanya dengan raut wajah yang sedih.

Dokter itu menghela nafas. Ingin sekali ia mengatakan bahwa diagnosanya salah.

"Tak ada yang berharap, sebagai seorang dokter, saya ingin sekali memberikan kabar gembira pada para pasien saya," sahut Pak Dokter.

Berita itu menghancurkan hati Pak Arman. Ia merasa seperti dunia runtuh di hadapannya. Namun, ia tidak menyerah. Dengan segala upaya, ia mencari cara untuk menyembuhkan Dafa. Di sisi lain, Rama yang selalu ceria berusaha menghibur hati ayah dan kakak angkatnya. Setiap hari, ia mengisi rumah dengan tawa dan senyum, meski ia tahu kakaknya sedang berjuang melawan penyakit yang sangat berat.

Suatu hari, ketika kondisi Dafa semakin memburuk, ia memanggil ayahnya dan Rama untuk duduk di samping tempat tidurnya. Dengan suara lemah, ia berkata, 

“Ayah, Adik, aku ingin kalian membaca surat ini jika suatu saat aku sudah tidak ada lagi. Ada sesuatu yang ingin kusampaikan.” 

Dafa memberikan sepucuk surat kepada ayahnya.
Pak Arman dan Rama hanya bisa mengangguk sambil menahan air mata.

"Tapi, Ayah harus segera membukanya ketika Dafa telah tiada. Dan segera tunaikan apa yang Dafa tuliskan di surat itu." Dafa berkata dengan lemah.

"Sudahlah Nak, lebih baik beristirahat saja, agar tubuhmu tak terlalu lelah." Pak Arman berkata dengan mata yang berkaca-kaca.

"Tidak Yah, Ayah harus bersedia dulu, tegas Dafa menjawab.

"Baiklah, Ayah bersedia menunaikan amanahmu." Pak Arman kembali menyahuti ucapan Dafa.

Waktu berlalu dan keadaan Dafa semakin memburuk. Hingga pada suatu pagi yang sunyi, Dafa pergi meninggalkan dunia ini untuk selamanya. Pak Arman dan Rama sangat berduka. Dalam keheningan, Pak Arman membuka surat yang ditinggalkan oleh Dafa. Dengan tangan bergetar, ia mulai membacanya.

“Untuk Ayah dan Adikku tersayang,

Jika kalian membaca surat ini, berarti aku sudah pergi ke tempat yang lebih damai. Ayah, jangan bersedih. Aku selalu ada di hati Ayah. Adikku, jangan menangis. Aku selalu menyayangimu.

Ayah, ada satu permintaan terakhir dariku. Aku ingin memberikan kornea mataku kepada Rama. Aku ingin ia bisa melihat dunia ini, merasakan kebahagiaan yang selama ini ia rasakan hanya melalui hati. Dengan mataku, ia bisa melihat senyum Ayah, melihat dunia yang indah ini, dan menjalani kehidupan dengan penuh warna. Aku ingin meskipun aku tidak lagi di sini, aku tetap bisa menemani kalian melalui penglihatan Rama.

Ayah, izinkan aku melakukan ini. Jangan bersedih, Ayah. Aku masih akan ada bersama kalian, melalui mata Rama yang melihat dunia. Aku melakukan semua ini dengan hati ikhlas karena Allah. Aku rela, Yah.

Dengan cinta yang tak terhingga,
Dafa.”

Membaca surat itu, Pak Arman tak kuasa menahan tangis. Ia merasa kehilangan yang sangat mendalam, namun juga bangga dengan ketulusan hati Dafa. Keputusan Dafa memberikan kornea matanya untuk Rama adalah bukti pengorbanan seorang kakak, dengan kasih sayangnya yang luar biasa.

Dengan hati berat namun penuh harapan, Pak Arman menghubungi dokter untuk menjalankan operasi transplantasi kornea. Setelah melalui berbagai persiapan, akhirnya operasi tersebut berhasil dilakukan. Rama yang selama ini hidup dalam kegelapan, kini bisa melihat dunia kembali. Saat ia membuka matanya, hal pertama yang ia lihat adalah wajah Pak Arman yang penuh kasih dan air mata kebahagiaan.

Rama merasakan campuran perasaan yang mendalam. Ia sedih karena kehilangan kakak yang begitu menyayanginya, namun juga bahagia karena bisa melihat dunia berkat pengorbanan Dafa. Dengan mata yang kini bisa melihat, ia berjanji akan menjalani hidup dengan penuh semangat, menghargai setiap hal dan setiap orang yang ada di sekitarnya.

Hari-hari berlalu, dan meskipun Dafa telah tiada, kehadirannya selalu terasa di tengah-tengah mereka. Pak Arman dan Rama terus menjalani kehidupan dengan semangat baru. Rama tumbuh menjadi anak yang cerdas dan penuh kasih sayang, ia selalu ingat pesan Dafa untuk menjaga ayah dan tetap ceria.

Pada suatu sore yang cerah, Rama duduk bersama Pak Arman di bawah pohon besar di halaman rumah. Dengan mata yang kini bisa melihat, ia menatap langit biru dan berkata, 

“Ayah, aku bisa melihat keindahan dunia ini berkat Allah melalui Kak Dafa. Aku berjanji akan selalu menjaga Ayah dan membuat Ayah bangga. Kak Dafa akan selalu ada di hati kita.”

Pak Arman memeluk Rama dengan penuh kasih. 

“Ya, Nak. Dafa selalu bersama kita. Melalui mata dan hatimu, ia terus menemani kita. Kita akan selalu mengenangnya dengan penuh cinta.” bisik Pak Arman pada Rama.

Kehidupan mereka pun terus berlanjut dengan penuh kebahagiaan dan rasa syukur. Kisah pengorbanan Dafa menjadi inspirasi bagi banyak orang di desa tersebut. Mereka belajar tentang arti kasih sayang yang sejati, tentang keberanian untuk berkorban demi kebahagiaan orang lain, dan tentang pentingnya menjalani hidup dengan penuh cinta dan harapan.

Dengan semangat Dafa yang selalu hidup di hati mereka, Pak Arman dan Rama berhasil melalui setiap tantangan. Mereka tahu bahwa selama mereka saling menyayangi dan mendukung, tidak ada yang tidak mungkin. Mata Rama kini menjadi saksi dari cinta yang tulus, mengingatkan mereka akan kebahagiaan yang telah Dafa berikan dalam hidup mereka.

**************

Usai di tuliskan, ku baca ulang ceritanya, lalu ku tutup buku. Tak terasa deraian air mata membasahi pipi, seakan ikut menjadi saksi, betapa larutnya aku dalam cerita ini, cerita masa kecilku. Entahlah, apakah buku cerita itu masih ada. Seandainya masih ada, alangkah inginnya ku beli dan menjadi koleksi buku ceritaku. 

Tak terasa hari beranjak siang, aku harus melanjutkan aktivitas, berbenah, memasak dan mengerjakan semua pekerjaan rumah. Hati menjadi riang, walaupun harus berkutat di rumah dan mengerjakan semuanya, aku tak mengeluh, cerita tentang pengorbanan diri dan kasih sayang yang tulus begitu menginspirasi. Malu rasanya diri,  kalau membaca kisah Bunda Hajar yang begiti sabar dalam ketaatan. Tak ada artinya apa yang kami alami, dibandingkan dengan pengorbanan keluarga Nabi Ibrahim yang sangat taat pada Allah.  Semoga hati semakin menyadari mencintai Allah berarti mentaatinya. [ry].

Kotabumi, 27 Mei 2024

Baca juga:

0 Comments: