Headlines
Loading...
Allah Pilihkan 17 Ramadan untuk Bidadariku

Allah Pilihkan 17 Ramadan untuk Bidadariku

Kisah Inspiratif 

Oleh. Lilik Yani

"Kenapa kok lemas, wajahmu pucat, sakitkah? Yuk, ke dokter saja!" ujar ibuku.

"Tidak kok, Bu. Lemas saja, mungkin capek kerja. Pasien di lab banyak, jadi kecapekan," jawabku sambil menegakkan badan agar tak dipaksa ke dokter.
.
.
Ibu Melarangku Hamil Lagi

Ibuku paling khawatir kalau ada anaknya yang sakit. Meski sudah berkeluarga dan punya dua anak, ibu masih menganggapku anak kecil yang harus diperhatikan.

"Kamu gak terlambat kan haidnya? Jangan hamil dulu. Anak masih bayi, bolak-balik hamil. Repot jadinya," ucap ibu dengan nada khawatir sambil menggendong Faris, anak keduaku yang berusia enam bulan.

Deg! Serasa disambar petir mendengar ucapan ibu. Karena aku belum haid bulan itu. Siklus pendek, tak sampai 25 hari. Jadi setiap terlambat sudah feeling positif. Aku mau test tapi menunggu terlambat sepekan saja biar hasil jelas.

***

Saat pasien reda, aku izin pimpinan untuk tes kehamilan. Mengingat kata-kata Ibu, aku jadi gemetar saat melihat dua strip merah. Ya Allah, hamba hamil lagi? Dalam hati antara senang dan bingung.

Untung tak serumah dengan Ibu, jadi bisa menenangkan pikiran dulu. Yang penting suami rida. Bismillah, mencari waktu tepat untuk menyampaikan ke ibuku agar bisa ikhlas menerima anaknya hamil ketiga di tahun pernikahan ketiga. Aku tuh tiga tahun berturut-turut hamil. Jadi selisih anak sedikit. He-he.

"Kalau sudah terlanjur hamil mau diapakan lagi. Ya sudah, dijaga. Dibilangi suruh KB kok nekat gak mau. Begini jadinya," ungkap ibu sebagai tanda cinta padaku.
.
.
Saat Ujian Cinta Itu Datang, Allah yang Menguatkan

Alhamdulillah, kehamilan berjalan aman, tak ada kendala berarti. Hanya saja saat usia kehamilan enam bulan, Allah uji dengan suami tercintaku sakit. Hepatitis kambuh, setelah dulu pernah diopname 11 hari saat aku hamil Faris.

"Mata kuning begini baru dibawa ke dokter. Langsung opname saja biar ditangani lebih lanjut!" kata dokter klinik yang memeriksa suami. 

Ya Allah, di RS banyak orang heran ada ibu hamil mendorong kursi roda suaminya. Bismillah, semoga semua baik-baik saja dan suami segera pulih, bisa kembali ke rumah yang baru dibangun di tanah milik perusahaan suami. 

Hari demi hari aku lalui di RS. Kondisi hamil yang inginnya senantiasa dimanja suami, lha kok sebaliknya. Pagi kerja di laboratorium yang sangat jauh dari RS tempat suami menginap. Pulang kerja langsung balik ke RS lagi untuk mengurus suami.

Pengobatan satu bulan tak membuahkan hasil sama sekali.  Setiap kontrol darah, hatiku dag dig dug. Aku seorang analis medis, setidaknya paham melihat fakta di hadapan. Ya Allah, terapi infus aminoleban yang harganya cukup mahal itu tak cocok untuk terapi sakit suami. Ada apa?

Alat di RS tak menemukan ada penyakit lain. Mungkin kurang canggih. Lalu dikirim ke RS Dr. Soetomo yang alatnya lengkap dan canggih. 

"Suami Ibu kena batu empedu. Jadi bilirubin yang tersumbat batu mengakibatkan badannya kuning tak kunjung reda. Solusinya harus operasi. Masalahnya harus bersabar, ya. Antre pasien sangat panjang. Kalau mau cepat bisa ke RS Swasta tapi tak dicover BPJS," jelas dokter yang memeriksa suami.

"Baik, Dok. Saya ikut saja mana yang terbaik buat suami," jawabku.

"Silakan pulang dulu, nanti kalau sudah ada kamar akan dipanggil! Boleh pakai ambulans jika perlu kendaraan!" jelas dokter.

"Astaghfirullah, suami masih hidup, Dok. Kok, disuruh pakai ambulan pulang ke rumah. Lho, kondisi suami seperti ini kok disuruh pulang? Kalau terjadi apa-apa bagaimana? Saya takut, Dok," ucapku dengan nada khawatir.

"Di RS tak kondusif, Bu. Apakah mau tidur di lorong RS tanpa kamar. Ibu kondisi hamil pula. Kalau ada apa-apa silakan dibawa ke RS lagi," jelas dokter dibantu perawat.

***

Sedihnya melihat suami sakit parah dengan badan warna kuning kunyit, mual tak bisa makan, kurus kering, demam bisa sampai 40 dan mengigau tak jelas. Ya Allah, hanya sajadah tempatku mengadukan semua keluh-kesah.

Sekitar dua pekan lebih ada telepon dari RS kalau ada kamar kosong. Masyaallah serasa di hotel. Suami dapat kelas satu. Satu kamar sendiri, dan aku yang menjaga juga nyaman.

Ehm, senyaman-nyamannya orang sakit ya tak enak. Tapi aku tetap bersyukur karena suami mendapat penanganan bagus. Aku tak bingung jika harus menangani sendiri. Aku bisa tinggal kerja, titip pada perawat yang banyak jumlahnya.

Allah, meski capek luar biasa aku tetap bekerja. Alhamdulillah, kehamilanku aman meski aku ajak naik turun bemo oper 2 kali. Kalau sif sore, aku pulang jam 21.00 naik bemo ke terminal Joyoboyo lalu oper ke RSUD Soetomo. Masuk melalui UGD yang selalu ramai pasien. 

Banyak orang kasian melihatku, termasuk dokter dan perawat. Setiap hari harus wira-wiri kerja dan menjaga suami. Kalau sudah ambil obat ke apotek, antre lama sekali. 
.
.
Menunggu Antre Jadwal Operasi, Lama Sekali

Ternyata sudah mendapat kamar itu belum bisa cepat operasi. Antrean panjang sekali karena rujukan RS Indonesia Timur. Kalimantan, Nusa Tenggara, Maluku, dan lainnya. Jauh sekali, hingga keluarganya harus kos untuk menginap.

Allah, jika di RS sebelumnya aku merasa sendiri. Pasien lain tak sampai sepekan sudah sembuh, suami sampai sebulan belum ada perubahan. Sedih sekali. Di RSUD aku merasa ada banyak teman, saudara, yang rumahnya jauh. Sementara aku bisa wira-wiri pulang, kerja, masih menghirup udara segar. Jadilah aku bisa bersyukur.

Hingga suatu hari aku ketemu pasien lain agar minta bantuan orang dalam untuk dibantu mempercepat antrean. Aku mencari kenalan yang kerja di RSUD, siapa ya? Ada beberapa teman ngaji, teman analis. Aku cari yang senior yang lebih banyak kenalan dan bisa membantu.

Ya Allah, yang aku pikirkan, kehamilanku semakin besar. Mohon tak lahir dulu sebelum suami operasi. Jika sudah selesai operasi, bisa aku titipkan perawat untuk menjaga. Kalau sudah operasi lebih tenang.
Itu harapanku.
.
.
10 Ramadan Jadwal Suami Operasi

Alhamdulillah, akhirnya jadwal operasi suami tiba. Tugasku menyiapkan obat-obat dan alat-alat untuk operasi. Sementara perutku semakin besar, aku harus menyiapkan semuanya. Dokter melihatku tak tega, kasian katanya.

Aku baru mengabari keluarga suami saat akan operasi. Tujuannya agar ada teman menunggu di ruang tunggu operasi. Karena perutku sudah sering terasa kencang.

"Nak, sabar ya. Kita fokus menyiapkan Bapak sampai selesai operasi dan pindah ke ruang perawatan, ya. Yuk, kita berdoa kepada Allah," bisikku pada janin di rahimku.

"Ya Allah, lahirkan anak ini di tempat yang baik. Pada hari yang baik. Bertemu orang-orang baik yang siap menolong. Aamiin." Kalimat itu yang sering saya ucapkan sambil mengelus janin yang bergejolak ingin lahir.

Adanya keluarga suami cukup membuatku tenang. Ketika dokter perlu sesuatu, ada yang membantuku. Allah, terima kasih Kau hadirkan orang-orang baik di sekelilingku.

Operasi berjalan cukup lama. Operasi besar. Jahitan panjang seperti operasi caesar. Banyak selang tertancap di tubuh suamiku. Usai operasi belum sadar, lalu dibawa ke ruang ICU. Semalam belum sadar juga. Sementara keluarga suami sudah pulang. Jadi aku kembali menjaga suami sendiri. 
.
.
Ketika Rasa Kencang atau His Semu Datang

Andai aku bisa melahirkan di RSUD Soetomo, enak. Masalahnya, dataku di RS Haji semua. Aku bukan hamil biasa. Aku penyandang sakit jantung di mana saat melahirkan harus dalam pantauan dokter spesialis jantung pula. Itu yang jadi tambahan beban pikiranku.

Jadi, doa tadi terus aku panjatkan. Alhamdulillah setelah di ICU dua hari, suami bisa pindah ke ruang perawatan. Sedikit lega, tapi melihat tiga selang di tubuhnya, aku tak tega meninggalkan sendiri. Aku terus berdoa agar melahirkan setelah semua selang dicabut. 

Pertama selang oksigen, besoknya selang cairan sisa operasi, juga kateter. Terakhir selang infus. Tanggal 16 Ramadan melihat suami sudah bisa turun ke kamar mandi, rasanya senang. Artinya jika aku harus ke RS Haji untuk melahirkan, maka suami bisa mandiri. Sudah bisa jalan tanpa terganggu selang. Meski masih sakit, setidaknya lebih nyaman. Allah, terima kasih.

Suami sempat minta makan tapi beli dari luar. Alhamdulillah mau makan. Kemudian jam 21.00 perutku sakit, his mulai kencang. Aku memberi kabar melalui telepon ke keluarga suami.

"Baik, Mbak, tunggu ya. Aku akan meluncur," jawab Ruly, adik sepupu suami.

Ruly, masih mahasiswa saat itu. Jadi cukup diantar sampai depan ruang bersalin lalu aku suruh pulang.

"Tak apa ya, Mbak sendiri?" tanya Ruly khawatir.

"Tak apa, belum tentu lahir malam ini. Kalau ada apa-apa, Mbak kabari Ibu saja nanti. (Suami sudah tak punya orang tua sejak balita. Alhamdulillah ada saudara yang merawat sampai lulus kuliah. Itulah yang aku panggil dengan ibu).

***

Di RS Haji aku diterima bidan Ratih. Malam tak ada dokter. Jadi bidan konsul apa yang harus dilakukan untuk masing-masing pasiennya. His sudah mulai sering, ada 5 perawat dan bidan yang menjaga.

Sambil istirahat dan menikmati rasa his yang berulang, aku mendengar siaran semua stasiun televisi yang menyiarkan peringatan Nuzulul Quran langsung dari masjid Istiqlal Jakarta.

"Allah, malam Nuzulul Quran, ya. Terima kasih aku bisa menikmati malam indah ini. Semoga suami yang di RSUD Soetomo segera pulih, titip jaga suami, ya Allah. Juga mohon lahirkan anak dalam kandunganku dalam keadaan sehat, kuat, mudah, lancar. Laki-laki atau perempuan, terserah." 

(Hamil pertama aku bisa USG setiap bulan karena aku kerja di RS Bersalin. Hamil kedua aku melakukan dua kali USG. Hamil ketiga karena sibuk merawat suami, jadi tak sempat USG. Pasrah aku bawa pontang-panting ke mana-mana. Maafkan Ibu, Nak).

Acara Nuzulul Quran jam 00 selesai. Suasana ruang melahirkan tampak senyap. Perawat dan bidan istirahat. Hanya saja aku kadang teriak minta tolong saat terasa sudah kuat hisnya. Bidan Ratih akhirnya tidur di kursi dekat tempat tidurku. 

Jam 03.00 mulai ramai, para perawat dan bidan makan sahur. Aku masih menikmati his jadi tak bisa tidur. "Ya Allah, temani aku, jaga suamiku, selamatkan anakku." 

Masuk waktu Subuh, Allah izinkan seorang bidadari cantik lahir normal dari rahimku. Meski aku sempat terjadi perdarahan, alhamdulillah bisa teratasi. Bayiku ditolong perawat dulu karena aku perdarahan dan drop. 

Kecapekan luar biasa bagi pasien jantung untuk melahirkan normal. Sebuah keajaiban, meski bidan sempat dimarahi dokter jantung. Untung tak terjadi apa-apa, hanya aku perlu istirahat sehari untuk menormalkan pernapasan dan memulihkan tenaga.

Allah, gelap rasanya saat itu. Aku terjatuh karena nekat jalan membeli madu di apotek dekat Ruang Bersalin untuk aku oleskan di bibir bayiku. Juga untuk kekuatanku. Terima kasih cepat Kau sadarkan aku. Kemudian aku tersentak saat melihat bayiku di ranjang tersedak air ketuban yang belum bersih disedot. 

Kekuatan seorang ibu, dalam kondisi aku tak berdaya, aku bisa loncat dari tempat tidur minta tolong perawat agar menolong
 bayiku. Lalu disedot lagi sampai bersih. Bayiku tenang. Allah ... Temani aku. Aku yang manja, biasanya ditunggui suami dan keluargaku, saat melahirkan anak pertama dan kedua. Kali ini semua aku jalani sendiri.
.
.
Allah Pilihkan 17 Ramadan untuk Kelahiran Bidadariku

Terima kasih, Ya Allah, akhirnya Engkau pilihkan tanggal mulia untuk kelahiran bidadariku. 17 Ramadan adalah hari turunnya Al Qur'an, malam penuh kemuliaan. MasyaAllah. Kalau di kalender Masehi tepatnya tanggal 7 Februari 1996.

Tanggal 18 Ramadan aku dizinkan pulang ke rumah membawa bidadari. Sewa mobil sendiri pada karyawan RS. Belum ada grab saat itu. Karena di rumah sepi, suami masih di RS maka kami pulang ke rumah ibu mertuaku, ibunya Ruly. Beberapa hari kami di sana. Sudah disiapkan kamar besar isi 3 bed. Buat aku, bidadariku, dan satu bad kosong buat suami kalau pulang.

Dibedakan sebagai bentuk penjagaan karena pasca operasi masih perlu pemulihan. Beberapa hari kemudian suami pulang dijemput adik sepupu. Aku tak bisa jemput karena menjaga bidadari kecilku.

MasyaAllah, ujian cinta dari Allah berakhir bahagia. Kami bisa berkumpul kembali di rumah. Untuk mengenang memori indah bulan Ramadan, kami sepakat memberikan nama cantik untuk bidadari kecilku "Annisa Risqy Ramadan". Masa kecilnya kami memanggilnya Kiki, sekarang sudah menjadi bidadari cantik guru SMK Listrik yang dicintai murid-muridnya. Namun, berhenti mengajar demi memilih jadi ummu warabatul bait dan madrasatul ula bagi Habibi (4 tahun) dan si kembar Rahman-Rahiim (1 tahun).

MasyaAllah, janin yang dulu dalam rahim penuh ujian, tiga bulan lebih hidup di RS karena menjaga bapaknya yang sakit sejak janin  usia 6 bulan sampai lahir 9 bulan 10 hari. Alhamdulillah, Allah izinkan jadi muslimah tangguh dan berani, mengerjakan amanah sat set pokoknya. Barakallah,  Salihahku. Ibu sering cemburu padamu. Generasi milenial yang punya ambisi besar untuk menjadi wanita karir, justru dipilih Allah diberi amanah tiga buah hati yang keduanya kembar. Luar biasa sibuknya. Doa bapak ibu untukmu sekeluarga, bahagia lahir batin dunia akhirat ya, Nisa salihahku. Aamiin. [My]

Surabaya, 17 Ramadan 1445 H

Baca juga:

0 Comments: