Headlines
Loading...
Anak-Anak Pelaku Kriminal, Islam Menumpas Total

Anak-Anak Pelaku Kriminal, Islam Menumpas Total

Oleh. Siti Aminah
(Pendidik dan Pemerhati Keluarga)

Astaghfirullah, sungguh miris melihat anak-anak yang menjadi pelaku kejahatan semakin bertambah. Mereka seharusnya masih masanya bermain ceria dengan temannya, belajar, serta mengejar cita-cita, tapi ternyata menjadi pelaku kriminalitas. Jika generasinya seperti ini, bagaimana masa depan negeri ini?

Bocah laki-laki berinisial MA (6 tahun) asal Sukabumi menjadi korban pembunuhan. Tidak hanya dibunuh, anak yang baru mau duduk di sekolah dasar ini juga menjadi korban kekerasan seksual sodomi.

Pengungkapan tersebut dilakukan Polres Sukabumi Kota usai melakukan serangkaian penyelidikan terhadap kematian korban yang mayatnya ditemukan tewas di jurang perkebunan dekat rumah neneknya di wilayah Kecamatan Kadudampit, Kabupaten Sukabumi beberapa waktu lalu.

Dalam pengungkapan itu, terbukti korban pelajar berusia 14 tahun yang masih duduk di bangku sekolah menengah pertama (SMP), menjadi pelaku utama pembunuhan dan sodomi terhadap korban. Polisi pun kini menetapkan pelaku sebagai tersangka dan bersatus Anak Berhadapan dengan Hukum (ABH) ( Sukabumi.id, 2/5/ 2024).

Kasus tersebut merupakan satu dari ribuan kasus serupa. Menurut Direktorat Jenderal pemasyarakatan Kementerian Hukum dan HAM (Kemenkumham),kasus anak yang berkonflik dengan hukum menunjukkan tren peningkatan pada periode 2022-2023. Per 26 Agustus 2023, tercatat hampir 2.000 anak berkonflik dengan hukum. Sebanyak 1.467 anak di antaranya berstatus tahanan dan masih menjalani proses peradilan. Sementara 526 anak sedang menjalani hukuman sebagai narapidana (kompas.id, 29/8/2023).

Maraknya kriminalitas yang dilakukan oleh anak-anak, menggambarkan buruknya output pendidikan dalam sistem kapitalisme yang diterapkan saat ini. 

Sistem kapitalisme-sekularisme menanamkan empat paham kebebasan, di antaranya kebebasan berperilaku.  Di tengah gempuran kebebasan yang kebablasan ini, menyebabkan masyarakat termasuk anak-anak berada dalam kubangan kondisi yang buruk. Bagaimana tidak, anak-anak di tengah keluarganya kurang mendapatkan edukasi agama, adab yang baik, yang seharusnya diajarkan mana yang baik dan buruk, benar dan salah, sopan santun tapi hal tersebut tidak didapatkan. Karena banyak keluarga atau orang tua yang kurang memperhatikan pendidikan anaknya dengan berbagai faktor, diantaranya tekanan ekonomi, kurangnya ilmu dan pemahaman orang tua terhadap hak dan kewajiban mereka terhadap anaknya, broken home, dsb. 

Sementara, di sekolah anak-anak diarahkan oleh kurikulum sistem pendidikan sekuler yang hanya berorientasi materi dan minim edukasi agama. Alhasil, anak-anak didorong untuk mengejar prestasi tanpa adanya bimbingan akhak dan ketaatan. 

Sedangkan ketika mereka berada di tengah masyarakat, yang mereka dapatkan adalah aturan kebebasan berperilaku tanpa mempertimbangkan dampaknya. Ini artinya masyarakatlah yang mendidik mereka, anak-anak yang belum mengerti adab, baik-buruk, benar-salah, sopan santun, mereka didik dengan kebebasan karena itu adalah aturan yang diterapkan. Terlebih banyaknya media sosial yang memperlihatkan informasi yang buruk dan mudah diakses oleh masyarakat termasuk anak-anak. 

Ditambah pula sistem sanksi kapitalisme tidak membuat jera para pelaku kejahatan. Jika pelaku kejahatan itu anak-anak (kurang dari 18 tahun) mereka diadili dalam peradilan anak yang juga tidak membuat jera pada pelaku. Akibatnya, anak-anak pelaku kejahatan semakin marak.

Disayangkan

Jika penyebab rusaknya generasi ini adalah aturan yang diterapkan di tengah-tengah kita, sungguh sangat disayangkan jika yang disuruh bertanggung jawab adalah orang tua saja, sementara negara berlepas tangan. 

Memang, peran orang tua dalam pendidikan sangatlah besar. Ibu adalah sekolah pertama dan pendidik pertama bagi anak-anaknya. Namun perlu diingat bahwa ibu ataupun orang tua ini banyak yang  belum mengetahui tugas utamanya sebagai ibu atau orang tua. Terlebih jika ibu atau orang tuanya ini masih usia sekolah, yang belum siap secara ilmu dan mental. Jika orang tua tidak mengetahui tugasnya dalam mendidik anak, bagaimana dia bisa mendidik anaknya dengan baik, terlebih di tengah sistem yang rusak ini. Jika rantai ini tidak diperbaiki maka akan seperti apa generasi negeri tercinta ini?

Pandangan Islam

Hal ini tentu berbeda dengan sistem Islam yang menjaga generasi dari kerusakan dan kehancuran. Islam memiliki mekanisme konkrit untuk membentuk generasi yang berkualitas baik dari segi keimanan, akhlak, moral, maupun potensi pengembangan diri. Islam memiliki sistem pendidikan Islam yang mampu dan telah terbukti mencetak generasi yang berkepribadian Islam bukan kriminal. 

Keberhasilan ini tidak terlepas dari akidah Islam. Tolok ukur kepribadian Islam yaitu memiliki pola pikir Islam dan pola sikap Islam (nafsiah). Dengan demikian akan mendorong seseorang atau peserta didik melakukan ketaatan dan menjauhi kemaksiatan secara sadar. Dengan mentalitas ini akan mampu mencegah perilaku menyimpang. 

Tidak hanya itu, generasi seperti ini akan siap dan mampu untuk mengemban amanah besar, yakni menjadi orang tua yang memahami hak dan kewajiban yang harus dilakukan dalam mendidik anak. Dari generasi yang berkepribadian Islam ini pula akan mampu melahirkan keluarga yang Islami. 

Perhatian Kepada Keluarga 

Islam juga memberikan perhatian khusus kepada keluarga. Islam memandang bahwa keluarga adalah awal pondasi sebuah peradaban, karena kualitas generasi pertama kali sangat ditentukan oleh keluarga. Islam mewajibkan ibu sebagai sekolah pertama dan pendidikan bagi anaknya. Dengan didikan Islam akan terbentuk anak-anak yang saleh dan salehah. 

Islam juga mewajibkan seorang ayah menjadi qowam (pemimpin keluarga). Sinergi antara ibu dan ayah memiliki dampak besar bagi pendidikan anak.

Keamanan anak pun terjamin karena Islam memiliki sistem sanksi yang tegas. Pelaku kejahatan akan diberi sanksi selama mereka sudah baligh dan dilakukan secara sadar. Dalam Islam tidak mengenal pembatasan usia berdasarkan umur seperti usia di bawah 18 tahun dikategorikan sebagai anak-anak dan di atas 18 tahun sebagai dewasa. Islam hanya mengenal batasan anak-anak dan baligh. Selama belum baligh mereka dihukumi anak-anak, dan jika sudah baligh maka dihukumi mukallaf.

Menumpas Tuntas

Penganiayaan berujung pembunuhan mendapatkan sanksi qisas, pelaku sodomi mendapatkan had liwath yakni dijatuhkan dari tebing. Uqubat yang diterapkan negara menimbulkan efek zawajir (pencegah) dan jawabir (penebus dosa). Dengan diterapkan uqubat ini akan mampu menumpas tuntas pelaku kejahatan termasuk sodomi. Konsep seperti ini hanya akan terwujud jika keluarga, masyarakat, dan negara menerapkan syariat Islam. Hidup dalam ketenangan dan kebahagiaan karena rida Allah kita dapatkan. idakkah sistem ini kita rindukan?

Wallahualam bissawab. [An]

Baca juga:

0 Comments: