Headlines
Loading...
Kisah Inspiratif 


Oleh. Eka Suryati 

Pada bulan Januari, tepatnya tanggal 9 Januari 2004 merupakan hari bersejarah bagiku. Seorang laki-laki baik hati dan bertanggung jawab mengucapkan ijab kabul untuk mempersuntingku, sehingga diri ini resmi menjadi istri dari Daud Syamsi. Tak ada kata yang dapat terucap selain ungkapan rasa syukur karena detik itu juga segala hal tentangku akan selalu bersisian dengan kisahnya.

Hari-hari yang kami jalani terasa indah sekali. Maklum saja, namanya pengantin baru. Ditambah dengan mertua yang baik hati, menambah indah rasa hati yang ada. Awalnya kami tinggal bersama di rumah mertua. Namun, setelah berjalan satu minggu, suami mengajakku berbincang berdua, dari hati ke hati. Beliau mengajak untuk menyewa rumah saja. Alasannya ingin mandiri dan belajar menata kehidupan berumah tangga yang sesungguhnya. 

"Memangnya saat ini bukan berumah tangga yang sesungguhnya, ya?" Aku melontarkan tanya sekaligus candaan terhadap suamiku.

Suami menjawab, "Ya, tetap berumah tangga yang sebenarnya." 

Tetapi suami berkata bahwa keinginan untuk menata rumah tangga sendiri begitu mendesak hatinya. Ya, harus diakui memang, kalau bersama orang tua atau mertua pasti tidak akan bisa mandiri seratus persen. Setiap ada kesulitan, tidak mungkin mereka tidak mengulurkan tangannya. Urusan makan dan minum kami masih ditanggung mertua. Mertua yang begitu baik hati malah tidak tega membiarkan kami menanggung makan minum sendiri. Itulah sebabnya suami ingin kami mandiri, agar nanti bisa berpikir bagaimana caranya untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari.

Mertuaku, masyaallah, orang yang sangat pengertian. Ketika kami mengungkapkan keinginan hati kami beserta dengan alasannya, beliau memahami apa yang menjadi cita-cita kami. Beliau pun memberi dukungan dengan cara mencarikan kami rumah kontrakan. 

Singkat cerita, kami menyewa rumah dan mulai belajar mandiri. Awalnya sangat merasa kehilangan, karena biasanya mertua selalu ada dan mengajak berbincang akrab sambil menanyakan keadaan kami. Padahal sebenarnya kami mengontrak rumah tak jauh dari tempat tinggal mertua, hanya dengan berjalan kaki sebentar sudah sampai. Tetapi tetap saja berbeda, karena selain ada mertua, ada juga ponakan suami yang tinggal di tempat mertua, sehingga suasana menjadi akrab dan meriah.

Namun, kami sudah memutuskan untuk tinggal terpisah. Maka hanya kami berdua yang selalu berjumpa setiap harinya, kecuali kalau kami berkunjung atau mereka yang datang ke rumah. Tapi itu tak menjadi soal, semua kami jalani dengan hati yang bahagia.

Waktu berjalan, pernikahan kami sudah memasuki beberapa bulan. Sebagai pasangan yang sudah menikah tentulah wajar kalau ditanyakan masalah anak. Banyak yang bertanya sambil bercanda, sudah mulai menghitung apa belum, kami cukup menanggapinya dengan senyuman. 

Memang setelah beberapa bulan pernikahan kami, belum ada tanda-tanda kehamilan pada diriku. Setiap kali menjelang masa haid, rasanya harap-harap cemas. Semoga saja kali ini sudah _mandeg_, istilah yang dipakai sudah tidak haid karena kehamilan. Maka setiap kali mendapatkan menstruasi, hati ini sedikit gundah. 

"Kok, belum hamil juga, ya?" hati bertanya-tanya. Tetapi hal ini tak sampai menjadikan aku mengeluh. Keluhan hanya akan membuat rasa syukur menjadi hilang.

Walau belum juga bisa hamil, suami tetap memberikan dukungannya. Katanya kita masih disuruh bulan madu dulu oleh Allah,  lebih diperpanjang lagi masa berduaan. 

"Enak kan, kita masih bisa santai, masih bisa berdua begini. Nanti kalau sudah saatnya, pasti diberi kok," kata suami penuh penghiburan.

Pada bulan kelima, buah hati yang dinanti-nanti tak kunjung hadir, maka aku memberanikan diri bertanya pada suami, bagaimana jika kami tidak juga diberi momongan. Aku berandai-andai kalau kami benar-benar tak diberi karunia anak. Suami dengan tegas menjawab bahwa dirinya tak mengapa seandainya karunia itu tak kami dapati. Dengan kesungguhan hati beliau menjawab bahwa masih banyak cara untuk bahagia.

"Kalau benar terjadi, kita bisa mengangkat anak atau mengasuh para keponakan. Kita anggap anak sendiri." Suami berkata sambil menatapku lembut.
 
Intinya, suami tak akan mempermasalahkan hal itu. Rasanya hati yang sedikit mengganjal  langsung terasa lega. Plong. Ah, terharu hati rasanya, sampai aku meneteskan air mata. Suami dengan sabar mengusap air mata haru yang keluar tanpa diundang. Ha-ha-ha, namanya juga wanita, perasaan lebih dominan daripada pikiran.

Hal lainnya yang membuat hati ikut terhibur sehingga aku tak berlarut-larut dalam kecemasan adalah sikap mertua dan orang tua yang tak mau menanyakan hal itu. Mereka sepertinya sangat menjaga perasaan kami, terutama aku sebagai pihak yang paling merasa cemas. Para ipar pun enggan bercanda dalam masalah ini, mereka bahkan memberikan dukungan untuk tidak cemas.

"Apa pun yang terjadi harus dihadapi dengan rasa syukur, jangan banyak mengeluh dan rasakan bahagia bagaimanapun keadaan diri, itu yang mereka ucapkan untuk menguatkan rasa yang terkadang menjadi labil dan mencurahkan isi hati. Benar-benar harus disyukuri memang, karena tidak  seperti kebanyakan pasangan yang belum diberi momongan, pihak keluarga terkadang malah ikut membuat sedih dengan kata-kata yang  tak sadar melukai hati.

Tak terasa, Ramadan pun hadir. Teringat saat itu bulan Oktober 2004. Itu merupakan momen Ramadan pertamaku bersama suami. Ya, setelah bertahun-tahun sebelumnya  kulalui Ramadan bersama orang tua, maka Ramadanku kali ini terasa spesial, ada rasa haru karena ini adalah Ramadanku bersama keluarga baru, berdampingan dengan suami sekaligus terasa sedih karena teringat kedua orang tua dan adik tercinta. 

"Bagaimana dengan mereka? Apa yang mereka makan saat sahur?" batinku. 

Biasanya aku yang menyiapkan makan sahur dibantu adik tercinta. Diam-diam hati berdoa, semoga Ramadan ini mereka tetap ceria. Aku teringat ibu yang gampang menangis jika teringat anaknya, apalagi ini adalah Ramadan pertama tanpa anak pertama mereka. Bermacam rasa kurasakan ketika mengingat Ramadan di tahun itu. 

Setelah memasuki beberapa hari puasa Ramadan, suami berkata padaku.

"Masih puasa ya, Dek?" Suami bertanya.

"Ya, dong. Aku tetap semangat puasanya!" Aku menjawab tanpa curiga pertanyaan yang diajukan oleh suami. Seminggu sudah puasa berjalan, suami kembali mengajukan pertanyaan serupa.  

"Masih puasa juga, ya?" katanya sambil tersenyum penuh misteri. 

"Loh, kok aneh sih, ngapain ditanyain terus, masih puasa atau tidak. Yah jelas puasalah, namanya belum dapat halangan," begitu kataku saat itu. Saat mengucapkan kata halangan, deg hati langsung berdetak. 

"Eh iya, ya. Berarti bulan ini aku belum halangan, sepertinya sudah telat, nih," kataku dalam hati. 

Duh, hati tidak menentu rasanya. Senang, bahagia sekaligus cemas. Khawatirnya ini hanya sekadar telat saja. Nanti saja deh, tunggu beberapa hari lagi, kalau tak kunjung tiba si tamu bulanan maka diriku akan mencoba memberanikan diri untuk tes.

Hingga pada suatu sore, kami berangkat memeriksakan diri. Walau hati cemas aku bertekad untuk menghadapi apa pun yang terjadi. Meski saat itu aku yakin sudah hamil, tapi aku tak mau terlalu gembira dulu, harus sabar menunggu hasil. 

Setelah menjalani semua proses pemeriksaan, ibu bidan tersenyum dan mengucapkan selamat kepada kami. Beliau mengatakan bahwa aku positif hamil. Masyaallah, tidak terkira senang rasanya hati ini, gembira sekali mendapat anugerah terindah dalam hidup. Bulan Ramadan kali ini menjadi Ramadan yang berkesan sekaligus mengharukan. Rezeki yang luar biasa dari Allah setelah penantian panjang. Ya, 10 bulan lamanya masa penantian itu. Walau mungkin pasangan lain banyak yang yang diuji lebih lama lagi untuk mendapat momongan, tapi harap-harap cemas yang aku rasakan dalam 10 bulan penantian itu tetap aku rasakan begitu lama.

Ada satu hal yang membuatku sedih. Bidan menganjurkan agar aku tidak berpuasa dulu, mengingat kehamilanku yang masih muda, lagi pula ini anak pertama. 

"Saya khawatir anak di dalam kandungan kurang mendapatkan nutrisi kalau berpuasa,"  kata bidan.

Ah, rasa senangku bercampur dengan perasaan sedih, masa iya tidak berpuasa.

"Tapi kalau kuat, boleh tetap puasa kan, Bu?" tanyaku.

Bidan tersenyum sambil mengatakan boleh-boleh saja. 

 "Tapi ingat kalau kira-kira membahayakan si janin, lebih baik jangan puasa, ya? Bidan mengingatkan dengan bijaksana. 

"Nak, coba bertahan, ya? Kalau kamu kuat, ibu tetap akan berpuasa," kataku mengajak berbicara janinku yang berada di dalam perut yang masih tampak rata. 

Suami mencoba memaklumi kegundahanku. Dia memperbolehkan aku untuk berpuasa sambil tetap waspada. Tapi seandainya tidak kuat atau ada reaksi aneh dari janinku, jangan berpuasa. Allah pasti memaklumi kondisi seorang ibu yang sedang hamil. Aku pun memahami bahwa ibu hamil diperbolehkan untuk tidak berpuasa, jika khawatir mengganggu kesehatan ibu dan anak yang ada dalam kandungan. 

Setelah pulang ke rumah, aku beristirahat sejenak. Kebetulan ibu mertua dan orang tua saat itu sedang berkumpul di rumah. Entah mengapa mereka janjian akan berbuka puasa bersama di rumah. Mungkin ada semacam firasat. Kabar gembira segera kami sampaikan. Alangkah senang hati mereka, hal itu tergambar dari ucapan dan raut wajah mereka. Ibuku dan ibu mertua kompak me masak untuk keperluan berbuka. Diriku disuruh istirahat saja. Duh, senangnya dimanja oleh mereka. 

Berkat tekad yang kuat dan doa-doa yang kupanjatkan pada Allah, meskipun dalam keadaan hamil aku tetap bisa berpuasa. Suami sudah seperti satpam yang siap menegur diriku jika aku lalai meminum obat dan susu untuk ibu hamil. Ah, suamiku tahu benar kalau diri ini suka lalai dalam meminum  obat, selain itu aku juga kurang suka susu. Suami jadi ekstra rewel mengingatkan diriku untuk rutin minum obat dan susu.

Di balik semua itu, hati yang bahagia menjadikan semuanya terasa ringan dijalani. Yang sangat menggembirakan hati adalah janinku tidak rewel, walau ibunya puasa dia tetap tenang, tidak menunjukkan reaksi aneh, sehingga hati menjadi tenang untuk tetap berpuasa. Bulan Ramadan yang sangat istimewa, hati merasa bahagia dalam menjalaninya. Ramadan saat itu, berkah sekali rasanya dan bonus puasanya penuh. Masyaallah, barakallah.

Tibalah saat melahirkan. Bayi itu diberi nama Sultan Bani Hakim. Ayahnya sudah lama menginginkan kalau anak pertamanya lahir dan berjenis kelamin laki-laki, maka akan diberi nama Sultan. 

Saat ini si sulung sudah besar, sudah kuliah. Kalau ingat perjalanan panjang dalam mendapatkannya, hati menjadi bersyukur karena Sultan termasuk anak yang penurut, tidak nakal menurut ukuran anak seusianya. Sejak dia kecil tidak pernah membuat ulah, sekolahnya rajin dan dia termasuk anak yang cerdas. Lagi-lagi aku harus banyak bersyukur atas karunia ini. Allah telah memberikan anugerah anak yang baik kepadaku. Aku sungguh mensyukuri nikmat ini sebagaimana isi Al-Qur'an surah Ar-Rahman ayat 13:

فَبِاَيِّ اٰلَاۤءِ رَبِّكُمَا تُكَذِّبٰنِ ۝١٣

Artinya, "Maka, nikmat Tuhanmu manakah yang kamu dustakan (wahai jin dan manusia)?".

Kotabumi, 28 Maret 2024

Baca juga:

0 Comments: