Headlines
Loading...
Dakwah Berjemaah atau Sendiri?

Dakwah Berjemaah atau Sendiri?

Motivasi 

Oleh. Rut Sri Wahyuningsih

Ada seorang tokoh yang lama tidak saya hubungi. Aktivitas beliau mengajar membaca Al-Qur’an, menghafal, dan sesekali mengisi kajian. Kelas yang diampu banyak, hingga pernah suatu saat beliau mengatakan dalam sepekan hampir tidak ada waktunya yang kosong. Barakallah, bukankah itu impian setiap orang, di mana waktu, tenaga , pikiran dan umurnya berdaya untuk kebaikan umat?

Ketika saya kembali menghubungi beliau untuk undangan aksi, kalimat balasannya agak aneh, “Afwan bu, panjenengan alhamdulillah berjuang sesuai bidangnya, saya di bidang lain, saling melengkapi. Maturnuwun.”

Rasa penasaran menuntun hati untuk bertanya, apa ada yang salah dengan kalimat undangan saya? Beliau menjawab tidak ada, semua sangat bagus, beliau mendukung sayang waktunya yang sudah penuh sehingga tidak bisa bergabung. Beliau menambahkan lagi dengan kalimat bidang dakwah kita yang berbeda, beliau hanya guru ngaji, sedang saya seluruh bidang. 

Mengapa kalimat seperti itu bisa muncul dari lisan beliau? Secara ilmu membaca bisa jadi beliau lebih unggul, tetapi tidak lantas kita saling membatasi diri bukan? Dakwah itu luas, membuka peluang siapa pun untuk bergabung tanpa harus melihat profesi, besaran penghasilannya, ‘circle’-nya, keilmuannya, warna kulit, bahasa, dan lainnya. 

Beliau masih berusaha meyakinkan saya dengan membacakan firman Allah Swt. di  QS. At-Taubah 9: 122 yang artinya, ”Mengapa sebagian dari setiap golongan di antara mereka tidak pergi untuk memperdalam pengetahuan agama mereka dan untuk memberi peringatan kepada kaumnya apabila mereka telah kembali, agar mereka dapat menjaga dirinya.”

Dan hadis Rasulullah saw., “Ustman bin Affan radhiyallahu ‘anhu berkata: “Bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Sebaik-baik kalian ialah yang mencari (mempelajari) ilmu Al-Qur’an dan mengajarkannya.” (HR At-Tirmidzi)

Beliau menambahkan guru ngaji bukan hanya mengajari bunyinya atau bacaannya saja, tapi juga maknanya dan aplikasinya dalam kehidupan. Insyaallah semua j1h4d fii sabilillah. Lantas apa bedanya dengan dakwah yang saya lakukan, meski ada beberapa pihak yang mengatakan “omdo” atau “ abab doang” (napas mulut. Jawa.pen)? Semua sama-sama berdasar Al-Qur’an dan As-Sunah. Namun saya paham apa yang beliau maksud. 

Intinya ini tentang berbagi tugas dalam dakwah. Dan beliau memilih menjadi guru ngaji, berdakwah di situ dan sudah jadi jih4d fi sabilillah. Tak ada yang salah, bahkan di ayat yang lain Allah Swt. berfirman yang artinya, “Sesungguhnya Allah menyukai orang yang berperang di jalan-Nya dalam barisan yang teratur seakan-akan mereka seperti suatu bangunan yang tersusun kokoh.” (TQS as Shaff: 4)

ÙƒَØ£َÙ†َّÙ‡ُÙ… بُÙ†ْÙŠَٰÙ†ٌ Ù…َّرْصُوصٌ

Seperti suatu bangunan yang tersusun kokoh. Diawali dengan kalimat dalam barisan yang teratur dan untuk sebuah bangunan yang sama. Bukan berbeda. Artinya, kita bisa mengoptimalkan potensi yang ada pada diri kita, namun untuk satu tujuan, li istinafil hayatil Islam, untuk melanjutkan kehidupan Islam. Kita bisa berbeda profesi, tetapi semestinya berdakwah dalam satu arahan. Bukan sendiri-sendiri meski itu fardu ain. 

Apapun yang kita kerjakan hari ini tak luput dari debu dosa. Kewajiban kita belum gugur dari pundak ketika syariat Islam belum diterapkan secara sempurna. Mengajari seseorang membaca, menghafal, memahami makna sekaligus menerapkan dalam kehidupan itu tidak akan membawa perubahan jika masih dalam kungkungan sistem kufur. 

Takaran iman dan beramal saleh itu bukan sekadar berbuat baik, menjadi pengacara baik, guru baik, dokter baik, mahasiswa baik, namun apa artinya jika Islam hanya berakhir dalam tataran individu? Bukankah sebuah masyarakat yang secara syariat definisinya adalah individu yang berinteraksi, memiliki perasaan, pemikiran, dan aturan yang sama?

Dan mari kita lihat faktanya, mungkin di lingkungan kita baik, tapi bagaimana di Rempang, Garut, dan lainnya atau bahkan di Rafah, Myanmar, Xin Jiang, dan lainnya? Akankah kita hanya berdiam diri dan berdoa? Atau  berkutat pada kesibukan kita sendiri, membatasi hanya dakwah sesuai bidang keahlian kita dan melupakan mahkota kewajiban yaitu dakwah menegakkan syariat kafah. 

Mari sejenak merenung, usia kita tak ada yang tahu hingga berapa tahun ke depan. Atau malah tinggal beberapa menit lagi, jika ada tawaran terbaik dari Allah menjadi pejuang Islam kafah dan berada dalam satu barisan yang teratur, bukan sekadar jumlah barisan, tetapi mengikuti teladan Rasulullah tentang  bagaimana mengambil kekuasaan, mencabut ide batil sekularisme dan menerapkan Islam saja, apakah tidak sebaiknya kita berpikir ulang? Sudah tepatkah membatasi diri dengan dakwah personal?

Berbagi tugas dakwah boleh, namun untuk tegaknya kembali Islam di muka bumi ini butuh kesatuan umat, kesadaran yang sama. Butuh arahan dakwah yang sama. Maka jadilah guru ngaji yang serukan Islam Kafah,  demikian pula ibu rumah tangga, dokter, dosen, penjaga toko, dan lain sebagainya. Setidaknya kita ikut andil dalam pembangunan bangunan yang kokoh, bukan berupaya sendirian dan mencukupkan diri.  Wallahualam bissawab. [Ni]

Baca juga:

0 Comments: