Headlines
Loading...
Kekuasaan Oligarki di Balik Ilusi Demokrasi

Kekuasaan Oligarki di Balik Ilusi Demokrasi

Opini


Oleh. Ummu Naura 

Perhelatan pesta demokrasi akan kembali digelar dalam pemilihan kepala daerah (Pilkada), 27 November 2024 mendatang. Penyelenggaraan Pilkada diatur oleh Komisi Pemilihan Umum sesuai Peraturan KPU No. 2 Th. 2024 mengenai Tahapan dan Jadwal pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, serta Walikota dan Wakil Walikota secara serentak di seluruh Indonesia. Menurut Ketua KPU RI, Hasyim Asy'ari dari 38 provinsi yang ada di Indonesia hanya 37 provinsi yang mengikuti Pilkada serentak 2024. Sebab DIY tidak memilih kepala daerah secara langsung, sesuai ketetapan UU No. 13 Th. 2014 tentang Keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta. UU tersebut mengatur mengenai pengangkatan Gubernur dan Wakil Gubernur DIY yang ditetapkan melalui proses pengukuhan bukan melalui pemilihan umum.

Kemudian dari 514 hanya 508 kabupaten/kota, yang menyelenggarakan Pilkada serentak 2024. Sebab, 6 kabupaten dan kota administratif di DKI Jakarta tidak ada pilkada langsung. Dari rincian tersebut terbagi menjadi 415 kabupaten untuk pemilihan bupati dan 93 kota untuk pemilihan wali kota. Kemudian seluruh wilayah tersebut akan melakukan pemungutan suara secara serentak pada 27 November 2024. Dalam Pilkada serentak kali ini, masyarakat akan dihadapkan tiga pemilihan yakni Pemilihan Gubernur-Wakil Gubernur, Pemilihan Bupati-Wakil Bupati, dan Pemilihan Walikota-Wakil Walikota. rri.co.id, Selasa (6/5/2024)


Berburu Suara Rakyat

Suara rakyat kembali diburu untuk pilkada serentak tahun 2024. Seperti pemilu dan pilkada sebelumnya, rakyat akan diberi janji-janji manis tanpa bukti. Tak hanya itu rakyat juga hanya diiming-imingi popularitas calon pemimpin tanpa tahu kapabilitas kepemimpinannya. Sebagaimana yang terjadi di Bandung setengah tahun menjelang hari H Pilkada  27 November 2024 mendatang. Sejumlah nama artis mulai muncul ke permukaan untuk ikut serta dalam pemilihan bupati dan wakil bupati Bandung. Mereka tidak terang-terangan ingin mencalonkan diri demi kursi bupati, namun lebih dibidik untuk posisi wakil bupati.

Kehadiran artis dalam kontestasi pilkada bisa menjadi bukti, bahwa mereka digaet hanya untuk dijadikan “vote getter” atau alat untuk mendulang suara rakyat. Dengan mengandalkan popularitas, para artis dicalonkan tanpa memandang prestasi serta kapabilitas menjadi seorang pemimpin. Kapabilitas kepemimpinan bisa menjadi opsi kesekian atau bahkan direkayasa dengan pelatihan singkat. Semua itu terjadi karena legalitas kekuasaan sistem demokrasi ditentukan oleh banyaknya suara yang diperoleh pasangan calon untuk meraih atau memperpanjang masa eksistensi kekuasaan. 

Parpol mengusung orang-orang yang memiliki elektabilitas dan popularitas tinggi agar mampu menggenjot perolehan suara. Namun setelah terpilih dan menjabat justru mereka melupakan janji-janji, sibuk memperkaya diri dan golongannya saja. Kekuasaan digunakan untuk memfasilitasi gaya hidup hedon atau memuluskan kepentingan bisnis mereka.


Ilusi Demokrasi

Kontestasi pilkada sejatinya bukan untuk kepentingan rakyat, namun demi kepentingan elit oligarki. Seringkali justru rakyat hanya dijadikan “tumbal” demokrasi. Yang dicari ketika pemungutan suara tapi ditinggalkan saat menderita. Inilah satu keniscayaan dalam sistem demokrasi. Para elit oligarki berburu kedudukan sebagai penguasa. Sebab kekuasaan menjadi sarana meraih materi dan kedudukan (prestis). Dengan kekuasaan pula para elit oligarki dapat dengan mudah mengendalikan kebijakan demi memuluskan bisnis serta kepentingan mereka.

Tak akan pernah ada harapan bagi rakyat jika terus hidup dalam sistem batil demokrasi yang lahir dari akal manusia. Jargon demokrasi yang menjunjung kekuasaan dari rakyat, untuk rakyat dan oleh rakyat hanya retorika yang dibaliknya tersembunyi sebuah ilusi. Kekuasaan dalam sistem demokrasi, seharusnya berada di tangan rakyat. Namun dalam praktiknya, kepentingan kelompok elit oligarki seringkali menjadi prioritas utama, sementara kepentingan rakyat terabaikan. Para elit oligarki memiliki akses lebih besar terhadap sumber daya finansial dan pengaruh politik, oleh karena itu mereka dapat memanipulasi proses politik sesuai dengan keinginan dan kepentingan mereka sendiri.

Selain itu, demokrasi lahir dengan dua asas yang mendasari dan menjadikannya "cacat" secara permanen. Kedua asas tersebut sangat bertolak belakang dengan Islam. Yakni, yang pertama prinsip as-siyadah lii sya'bi ( kedaulatan di tangan rakyat). 
Allah Swt. dengan sangat tegas menjelaskan di dalam QS. al An‘am ayat 57

إِنِ ٱلۡحُكۡمُ إِلَّا لِلَّهِۖ يَقُصُّ ٱلۡحَقَّۖ وَهُوَ خَيۡرُ ٱلۡفَٰصِلِينَ

“Membuat hukum itu hanyalah hak Allah. Dia menerangkan yang sebenarnya dan Dia Pemberi keputusan yang paling baik"

Ibn Abbas menafsirkan membuat hukum itu hanyalah hak Allah. Allah Swt. menerangkan yang sebenarnya, memutuskan perkara dengan adil dan memerintahkan segala sesuatu dengan benar dan hanya Allah saja, Pemberi keputusan hukum  yang terbaik. (Tanwir Miqbas-tafsir surat Al an’am; 57).

Kemudian Ibn Abdussalam  menafsirkan membuat hukum (terpuji atau tercela), juga dalam membedakan yang benar dari yang salah itu hanyalah wewenang  Allah Swt.. Allah Swt. menjelaskan serta menyempurnakan kebenaran  dan Dia Pemberi keputusan terbaik. (Tafsir Ibn Abdussalam, Tafsir QS. Al an’am ayat 57).

Dan asas yang kedua ialah Al-Huriyah (kebebasan/HAM). Demokrasi yang berakidah sekuler memandang manusia memiliki empat prinsip kebebasan atas nama hak asasi manusia. Yaitu meliputi kebebasan individu, kebebasan berpendapat, kebebasan berakidah serta kebebasan dalam kepemilikan. Sedangkan kaidah syarak menyebutkan bahwa Al muslimu taqoyid ahkami syar'i ( setiap muslim wajib terikat dengan hukum syariat ). Itu berarti tidak ada yang namanya kebebasan secara mutlak dalam Islam.


Solusi Islam

Sejatinya umat membutuhkan pemimpin yang amanah lagi berjiwa ri’ayah atau pengurus. Pemimpin tersebut akan mustahil lahir dari sistem batil bernama demokrasi. 
Pemimpin yang baik hanya akan lahir dari sistem saheh yakni sistem politik Islam bernama Khil4f4h. Pasalnya Islam memiliki cara pandang khusus terkait kekuasaan, yakni sebuah amanah yang berkonsekuensi ri’ayah (pengurus) yang akan dimintai pertanggungjawaban di dunia maupun di akhirat. Karena itu kekuasaan bukan hal yang akan diperebutkan.

Rasulullah saw. bersabda : “ Imam (khalifah) adalah rain (pengurus rakyat) dan ia bertanggungjawab atas pengurusan rakyatnya.” (HR. Bukhari)

Pun Rasulullah saw. memberi peringatan bagi siapapun yang mendapatkan amanah kekuasaan agar berhati-hati. Sebab kekuasaan bisa menjadikan seseorang mulia atau sebaliknya, membuat seseorang hina.

Rasulullah saw. juga bersabda : “ Sesungguhnya orang yang paling dicintai Allah kelak pada hari kiamat dan paling dekat tempat duduknya dengan Allah Swt. adalah pemimpin yang adil, adapun orang yang paling dibenci Allah Swt. dan paling jauh tempat duduknya dengan Allah Swt. adalah seorang pemimpin yang zalim ”.(HR. At-Tirmidzi)

Adapun terkait kepala daerah dalam khil4f4h, mereka dikenal dengan sebutan wali atau amil. Seorang wali bertanggungjawab di wilayah (setingkat provinsi). Wilayah setingkat provinsi dibagi menjadi beberapa imalah ( setingkat kabupaten). Penanggungjawab imalah disebut amil. Adapun wewenang dan syarat-syarat amil itu sebagaimana syarat dan wewenang seorang wali. Baik wali atau amil adalah wakil khalifah (naib al-khalifah) untuk memerintah dan mengurus suatu daerah atau negeri. Dengan kata lain mereka adalah perpanjangan tangan khalifah dalam meriayah rakyat. Bukan penguasa tunggal daerah. 

Adapun tata cara pemilihan kepala daerah dalam Islam berlangsung secara sederhana, cepat dan murah, efektif serta efisien. Sebab kepala daerah (wali atau amil) dipilih oleh khalifah. Wewenang wali dan amil ditentukan oleh khalifah, dengan adanya akad tertentu antara keduanya. Kebijakan ini sebagaimana yang dilakukan oleh Rasulullah saw. ketika menjadi kepala Negara Islam di Madinah. 
Di dalam riwayat saheh dituturkan bahwa Rasulullah saw. pernah menunjuk Utab bin Usaid untuk menjadi wali Mekah pasca pembebasan kota Mekah. Kemudian setelah masuk islam, Badzan bin Sasan diangkat menjadi wali di Yaman. Beliau saw. juga pernah mengangkat Muadz bin Jabal al-Khazraji menjadi wali di Janad. Khalid bin walid menjadi amil di Shun’a, Ziyad bin Lubaid bin Tsa’labah al-Anshariy menjadi wali di Hadramaut. Abu Musa al-Asy’ariy menjadi wali Zabid dan ‘Adn. ‘Amr bin al-‘Ash di Oman, Abu Dujanah menjadi amil di Madinah dan lain sebagainya. 

Untuk mencegah penyelewengan hukum seorang wali bertanggung jawab di depan Khalifah dan majelis syura. Dan bisa dipecat oleh khalifah bila diadukan oleh majelis syura. 
Majelis syura adalah perwakilan dari masyarakat wilayah setempat wali atau amil berkuasa. Dan perlu dipahami pula kekuasaan dalam Islam, hanya ditujukan untuk menegakkan hukum Allah Taala secara praktis. Dan amar makruf nahi munkar. 

Imam Ibnu Taimiyah dalam Kitab Al-Hisbah menyatakan :

“Sesungguhnya seluruh kekuasaan dalam Islam ditujukan untuk menegakkan agama Allah Swt., dan meninggikan kalimat-Nya, juga ditujukan untuk menegakkan amar makruf nahi munkar, sama saja apakah pada wilayah al-harbi al-kubra seperti pendelegasian kekuasaan Negara, ataukah wilayah al-harbi al-shughra, seperti kekuasaan kepolisian, hukum atau kekuasaan maaliyah (harta) yakni kekuasaan-kekuasaan diwan-diwan keuangan maupun peradilan (hisbah).”
(Ibnu Taimiyah, Al-Hisbah,juz 1/ hal 9)

Tujuan yang demikian hanya bisa diwujudkan manakala tugas pemerintahan didelegasikan kepada ahlut-taqwa (amanah) dan ahlul-kifayah (orang-orang yang memiliki kapabilitas). Untuk itu prinsip umum pendelegasian tugas pemerintahan adalah ketakwaan dan kafa’ah. Semua ini hanya akan terwujud manakala Khil4f4h hadir di tengah-tengah umat.

Wallahu alam bishawab. [Ay]

Baca juga:

0 Comments: