Headlines
Loading...
Oleh. Ida Fauzia

Kondisi pendidikan Indonesia masih memprihatinkan. Amanat UUD 1945 untuk mencerdaskan kehidupan bangsa dengan menghasilkan anak didik yang bertakwa pada Tuhan YME dan cerdas, tak kunjung mampu diterjemahkan dalam kebijakan yang mumpuni. 

Persoalan terus membelit dari mulai pendidikan dasar hingga perguruan tinggi. Hasil penelitian Serikat Pekerja Kampus atau SPK mengungkap mayoritas dosen menerima gaji bersih kurang dari Rp 3 juta pada kuartal pertama 2023. Termasuk dosen yang telah mengabdi selama lebih dari enam tahun. Bahkan 76% nya harus mengambil pekerjaan sampingan untuk menutupi kebutuhannya (Tempo.co, 2/5/2024).

Dosen adalah salah satu pilar pendidikan tinggi yang akan mentransfer ilmu, teknologi, dan membangun karakter mahasiswa. Jika kesejahteraannya saja tak terpenuhi, tentu akan memengaruhi kinerjanya dalam menyampaikan mata kuliah.

Di dunia maya sempat muncul #JanganJadiDosen, sebuah kritisi pedas akan nasib dosen yang kesejahteraannya sangat memprihatinkan. Sebagian besar dari tenaga dosen berupah di bawah UMR. Sebuah realitas yang pernah penulis rasakan beberapa tahun lalu, saat mencoba mengabdi di sebuah PTN ternama di Bumi Anoa. Mengampu tiga mata kuliah selama satu semester, dan upah yang diterima hanya sekitar Rp200 ribu. Sungguh cerita pengabdian yang mungkin memilukan.  

Jika banyak tenaga guru dari sekolah dasar hingga menengah atas memiliki kondisi memprihatinkan, ternyata wajah yang sama juga dirasakan oleh para dosen. Kondisi ini dipastikan akan melemahkan minat generasi muda menjadi dosen. Karena orang pintar (yang memiliki kemampuan menjadi pendidik/dosen) tidak mendapatkan hidup yang layak. Akan muncul sikap pesimis dan apatis terhadap profesi pendidik. 

Padahal pendidikan generasi bertumpu pada ketersediaan dan kualitas para dosen/pendidik. Namun, jika para intelektual tidak diapresiasi, maka pantas jika profesi ini tak diminati. Lalu siapa yang akan mendidik generasi bangsa ini? Mengapa intelektualitas makin tak dihargai? 

Pendidikan adalah sebuah investasi yang mahal yang harus dibangun dengan kebijakan yang komprehensif.  Undang-undang (UU) No. 14 Tahun 2025 tentang guru dan dosen, sejatinya sudah mengamanatkan kesejahteraan bagi para pendidik ini. Namun nyatanya implementasi kebijakan di lapangan bagai pungguk merindukan bulan. Perguruan tinggi (PT) yang semua diarahkan memiliki badan hukum perguruan tinggi (sesuai amanat UU No. 12 Tahun 2012) agar mampu mandiri mengelola keuangan dan operasionalnya, ternyata justru menimbulkan dampak komersialisasi. Hingga PT saat ini orientasinya adalah bisnis, dia mengesampingkan hak dosen bahkan mahasiswanya.

Dosen sebagai aset utama operasionalisasi pendidikan di perkuliahan, menjalankan profesi dengan menerima imbalan tidak sebanding dengan tanggung jawab, kurangnya dukungan profesional, dan lingkungan kerja yang stres. Tuntutan akreditasi perguruan tinggi (PT), administrasi kepegawaian membuat kerja dosen makin berat, namun peningkatan kesejahteraan tak mampu ditopang oleh PT nya.  Hal ini karena biaya operasional dan infrastruktur pendidikan sepenuhnya menjadi tanggung jawab PT sendiri. 

Anggaran belanja negara hanya diberikan dalam porsi yang kecil. Hingga banyak PT mesti berorientasi bisnis untuk menutupinya, namun kesejahteraan pegawainya harus ditekan demi menekan biaya operasional. Alhasil, meski janji gaji tak seberapa para dosen tetap bertahan dan mesti memutar otak mencari tambahan penghasilan.

Sistem kapitalisme memang meniscayakan peran negara hanya sebagai regulator dan fasilitator pendidikan, tidak menjadi penanggung jawab pelaksananya. Negara akan menyerahkan pengurusan pendidikan tinggi pada badan usaha yang disetujui undang-undang atau bahkan kepada swasta (dalam negeri/asing). Sikap ini meniscayakan pemberian porsi anggaran yang terbatas pada sektor pendidikan yang investasinya sangat mahal. Kesejahteraan pendidik tak lagi jadi fokus negara, karena profesi ini dianggap seperti profesi lain yang disesuaikan dengan kebutuhan pasar.  

Hanya Sistem Islam yang Mampu Menyejahterakan Para Dosen

Hanya Islam dalam bingkai Khil4fah, yang mampu memuliakan dan menyejahterakan para pendidik (dosen/guru). Sejarah telah mencatat bahwa guru dalam naungan Khil4fah mendapatkan penghargaan yang tinggi dari negara termasuk pemberian gaji yang melampaui kebutuhannya. Negara Islam bertanggung jawab penuh sebagai pelaksana pendidikan dari dasar hingga perguruan tinggi.  

Semua tenaga pendidik bekerja pada negara dengan sistem pengupahan yang tinggi. Diriwayatkan dari Ibnu Abi Syaibah, dari Sadaqoh ad-Dimasyqi, dar al- Wadl-iah bin Atha, bahwasanya ada tiga orang guru di Madinah yang mengajar anak-anak. Khalifah Umar bin Khattab memberi gaji lima belas dinar (1 dinar = 4,25 gram emas; 15 dinar = 63,75 gram emas; bila saat ini 1 gram emas Rp. 1 juta,  berarti gaji guru pada saat itu setiap bulannya sebesar Rp 63,75 juta). Sungguh luar biasa, jaminan kesejahteraan negara pada guru/dosen. Para pendidik akan mampu memberi perhatian penuh dalam mendidik muridnya. Tanpa harus terbebani untuk membagi waktu dan tenaga mencari tambahan pendapatan.

Negara juga menyediakan semua sarana dan prasarana secara cuma-cuma dalam menunjang profesionalitas dosen dalam menjalankan tugas mulianya. Selain mendapatkan gaji yang besar, mereka juga mendapatkan kemudahan untuk mengakses sarana dan prasarana untuk meningkatkan kualitas mengajarnya. Hal ini tentu akan membuat mereka bisa fokus untuk menjalankan tugasnya sebagai pendidik dan pencetak SDM berkualitas. Sumber daya manusia yang dibutuhkan negara untuk membangun peradaban agung dan mulia.

Semua pembiayaan negara tersebut diambil dari berbagai pemasukan negara yang berlimpah. Kekayaan negara itu dimanfaatkan untuk pengurusan sektor dasar (pangan, pendidikan, kesehatan, keamanan) dan pengurusan urusan keumatan. Negara menjadi penanggung jawab utamanya, menyediakan anggaran dan mempekerjakan tenaga profesional di beragam sektor tersebut. Dalam konteks sebagai pegawai, mereka bertugas melayani urusan-urusan rakyat, sesuai dengan tugas dan fungsi mereka di masing-masing departemen, jawatan, dan unit. Mereka tidak dibebani dan dituntut melakukan tugas-tugas di luar tugas yang telah diakadkan dalam akad ijarah. 

Sebuah kehidupan yang telah beribu tahun diterapkan, dan kualitas kehidupan masyarakatnya hingga kini tak ada yang menandingi. Kehidupan yang sepantasnya kita rindukan dan perjuangkan bersama.

Wallahualam bissawab. [Ni]

Baca juga:

0 Comments: