Headlines
Loading...
Pemberdayaan Perempuan di Sektor Pariwisata Mampukah Mendongkrak Perekonomian?

Pemberdayaan Perempuan di Sektor Pariwisata Mampukah Mendongkrak Perekonomian?

Oleh. Mia Izzah

Bali didapuk menjadi tuan rumah 2nd UN tourism conference on women and empowerment in tourism in Asia and the Pacific yang digelar pada tanggal 2 sampai 4 Mei 2024. Konferensi ini mengacu pada kebijakan international yaitu sustainable development goal (SDGs) tentang kesetaraan gender dan kebijakan nasional pengarusutamaan gender, kata sekretaris kementerian pariwisata dan ekonomi kreatif, Ni Wayan Giri Adnyani (kompas.com, 23 April 2024).

Dalam sambutannya, wakil menteri pariwisata dan ekonomi kreatif, Angela Tanoesoedibjo, mengatakan bahwa pemberdayaan perempuan bukan sekadar soal pencapaian kesetaraan dan hak asasi manusia namun dengan pemberdayaan perempuan bisa menghasilkan manfaat ekonomi sosial dan lingkungan. (RRI.co.id, 3 mei 2024)

Dari pernyataan kedua tokoh tersebut dapat disimpulkan bahwa dunia (PBB) telah membidik perempuan untuk ikut andil menyukseskan program global tersebut yaitu pembangunan berkelanjutan (SDGs) dengan mewujudkan kesetaraan gender dan pertumbuhan ekonomi sebagai implementasinya.
Menurut pandangan dunia saat ini (kapitalisme) perempuan tidak boleh termarginalkan, perempuan harus punya nilai jual, perempuan harus produktif dan kreatif perempuan harus mempunyai ruang gerak yang sama dengan laki-laki dan perempuan tidak boleh hanya produktif di kasur, sumur dan dapur. Dan sebaliknya perempuan akan dipandang sebelah mata bila tidak menghasilkan materi. Ironisnya di saat yang sama, kesetaraan gender terus digaungkan. Para perempuan merasa bangga dengan cara ikut andil menyukseskannya. Selain itu, negara-negara diarahkan secara sistemik untuk mewujudkannya termasuk Indonesia.

Padahal, ketika perempuan keluar dari ranah domestiknya yaitu sebagai ibu dan pengatur rumah tangga, maka sungguh itu berdampak buruk bagi perempuan dan juga bagi anak-anak yang menjadi amanah (tanggung jawabnya). Bukankah wanita adalah tiang negara? Jika wanitanya baik maka baik pula negara dan jika wanitanya rusak maka rusaklah negara. Dan di pundak generasilah akan terwujud cita-cita suatu bangsa karena generasi adalah agent of change (agen perubahan) dan kondisi pemberdayaan perempuan semacam ini memberi ruang secara masif bagi masuknya ide-ide liberalisme. Baik dari segi pemikiran, pakaian maupun tingkah laku, tetapi demi mendulang nilai kemanfaatan secara ekonomi, budaya kearifan lokal dan bahkan agama malah dinafikan (ditiadakan).

Memang benar pariwisata adalah sektor strategis income devisa negara yang besar tapi perlu dicatat bahwa dampak buruknya tak sebanding dengan kemanfaatan yang didapatka. Bagi sistem kapitalis, dampak apapun tak begitu dipersoalkan yang penting mendatangkan cuan. Maka tidak berlebihan jika dikatakan pemberdayaan perempuan di sektor pariwisata hanya menjadikan perempuan sebagai tumbal untuk mengokohkan sistem kapitalis yang jelas rusaknya. Mereka berdalih pemberdayaan perempuan mampu mendongkrak pertumbuhan ekonomi tapi di sisi lain sumber daya alam di suatu negara diserahkan dan dikelola. Bahkan, dinikmati oleh para kapitalis asing. Sungguh ironis negara ini.

Beda dengan sistem Islam

Dalam pandangan Islam, perempuan mulia bukan diukur dari jumlah nilai yang dihasilkan tapi kemuliaan perempuan adalah dari sisi ketakwaannya sebagaimana laki-laki (QS Al Hujurat : 13). Sistem Islam sangat memuliakan perempuan dengan menjaga fitrah mulianya yaitu sebagai ummu warabbatul bait (ibu dan pengatur rumah tangga). Islam akan menjamin kesejahteraan kaum perempuan dengan mekanisme yang berstandar pada aturan yang benar yaitu hukum syara. Bagi perempuan yang sudah menikah maka menjadi tanggung jawab suami untuk menafkahinya. Kalaupun perempuan dibutuhkan ikut andil mencari materi (bekerja) maka itu hukumnya mubah. Kemubahan itu tidak bisa menggeser atau mengubah bagaimanapun kondisinya menjadi hukum wajib karena kewajibannya tetap sebagai ummu warabbatul bait  ibu dan pengatur rumah tangga). Sedangkan perempuan yang belum menikah atau janda, maka itu menjadi kewajiban para walinya untuk menafkahi. Tetapi jika tidak mampu karena keterbatasan ekonomi, maka kewajiban menafkahi mereka adalah tugas negara.

Kaidah fikih menyatakan "Mala yatimul wajib illa bihi fahuwa wajib" (perkara yang menjadi penyempurna perkara wajib hukumnya juga wajib).

Maka institusi negara adalah sebuah keniscayaan atau keharusan untuk berlangsungnya penerapan hukum Islam secara sempurna dan kaffah, institusi negara itu adalah Daulah Khilafah.

Wallahu’alam Bishawab. [My]

Baca juga:

0 Comments: