Headlines
Loading...
Penistaan Agama Berulang Terjadi, Umat Butuh Perisai Sejati

Penistaan Agama Berulang Terjadi, Umat Butuh Perisai Sejati

Oleh. Naning Prasdawati, S.Kep.,Ns 
Komunitas Setajam Pena

Beberapa waktu  lalu, beredar sebuah video yang menampilkan seorang pria sedang menginjak Al-Qur’an untuk meyakinkan istrinya bahwa dirinya tidak berselingkuh. Diketahui bahwa ternyata pria dalam video itu adalah pejabat Kementerian Perhubungan (Kemenhub) yang bertugas sebagai Kepala Otoritas Bandar Udara Wilayah X Merauke bernama Asep Kosasih (AK). Tindakan AK ini lantas dilaporkan sebagai penistaan agama oleh istrinya sendiri. Selain penistaan agama, ternyata menurut kuasa hukum sang istri, AK merupakan tersangka kasus KDRT sejak April 2024 (tribunnews.com, 18/05/24).

Fenomena penistaan simbol agama, dalam hal ini Alqur’an tidak saja terjadi di Indonesia. Awal Mei lalu, seorang perempuan di Swedia membakar Alqur'an sembari berteriak, “Islam, keluarlah dari Swedia”. Dan penistaan ini bukan kali pertama terjadi di Swedia, tapi sudah yang kesekian kalinya. Jika kita mencermati, penistaan yang terjadi senantiasa menjurus kepada Islam dan simbol-simbolnya, bukan kepada agama yang lain.

Hal ini menunjukkan bahwa masyarakat hari ini tidak menyadari pentingnya menjaga kemuliaan agama. Agama beserta simbol-simbolnya justru menjadi bahan olok-olok. Hal ini tidak lain karena umat hidup dalam atmosfer sistem sekulerisme. Dimana agama merupakan hal yang bersifat privat dan tidak layak mencampuri urusan publik. Akibatnya agama tidak lagi menjadi tolok ukur dalam berpikir dan berperilaku. 

Walhasil, manusia akan bebas melakukan segala sesuatu tanpa memperdulikan status hukum dari perbuatan itu sendiri. Diperparah dengan penerapan demokrasi yang menjunjung tinggi nilai-nilai HAM (Hak Asasi Manusia) yang semakin mengokohkan perilaku serba bebas ini. Sistem sanksi yang lemah dan tidak menjerakan, hanya berupa hukuman penjara, justru menjadi inspirasi bagi yang lainnya untuk melakukan hal yang serupa.

Sistem kehidupan yang ada hari ini menjadikan kemuliaan islam dan kaum muslimin tidak ada harganya sama sekali. Islam dan umatnya hanya akan terlindungi dalam sistem pemerintahan yang menerapkan syariat Islam secara kafah di bawah institusi negara bernama khilafah. Khilafah merupakan perisai sejati, hal ini termaktub dalam hadist Rasulullah Saw., 
Sesungguhnya imam/khalifah adalah perisai, orang-orang berperang dibelakangnya dan menjadikannya pelindung…” (HR. Muslim). 

Sepanjang sejarahnya, daulah khilafah selalu menjadi garda terdepan dalam melindungi rakyatnya dari penistaan agama. Negara juga menerapkan sejumlah regulasi yang akan menjaga akidah umat tetap lurus. Bukti nyata dari hal ini adalah sikap tegas khalifah Abdul Hamid II (1878-1918) terhadap pagelaran teater drama karya Voltaire. Drama itu bertajuk “Muhammad atau kefanatikan” yang isinya adalah penghinaan kepada Rasulullah.

Khalifah memberikan ultimatum kepada Perancis, jika tidak membatalkan acara itu, maka Perancis akan merasakan bahaya politik yang akan dihadapinya. Lalu, Perancispun serta merta membatalkannya. Kemudian orang-orang teater itu datang kepada Inggris untuk merancang pementasan serupa. Ketika khalifah tahu,  beliau memberikan ultimatum kepada Inggris sebagaimana Perancis. Namun, Inggris menolak dengan alasan tiket-tiket telah habis terjual. Dan pembatalan drama itu bertentangan dengan prinsip kebebasan yang dianut negaranya.

Khalifah sekali lagi menegaskan ultimatumnya, “Saya akan mengeluarkan perintah kepada umat Islam dengan mengumumkan bahwa Inggris sedang menyerang dan menghina Rasul kami, Saya akan kobarkan jihad akbar”, tegasnya. Inggrispun serta merta membatalkan pementasan drama itu. Dari kisah ini kita dapat menyimpulkan bahwa negara khilafah sangat menjaga kemuliaan Islam. Karena menghina simbol islam sama saja dengan menghina Allah dan RasulNya. 

Sistem sanksi di dalam Islam sangat efektif untuk mencegah perilaku serupa terulang kembali. Di dalam Islam, sanksi penistaan agama terbagi menjadi dua jenis berdasarkan pelakunya. Pertama, jika pelakunya muslim, maka akan mendapatkan had murtad (hukuman mati). Sebelumnya ia akan diminta bertaubat selama tiga hari. Jika tidak mau bertaubat maka akan dilaksanakan had. Jika menyesal dan bertaubat maka hukuman dikembalikan kepada kebijakan khalifah.

Kedua, jika pelakunya adalah orang kafir maka ada dua jenis lagi. Jika pelaku merupakan kafir dzimmi, maka khalifah akan membatalkan semua jaminan negara terhadapnya dan yang bersangkutan bisa diusir atau dibunuh. Namun jika pelaku bukan kafir dzimmi, maka penghinaan tersebut bisa dijadikan negara sebagai alasan perang kepada negara bersangkutan sebagaimana yang pernah dilakukan oleh khalifah Abdul Hamid II.

Maka dari sini kita bisa melihat bahwa Daulah khilafah Islam sangat bersungguh-sungguh untuk melindungi agama Allah dan Izzul Islam wal muslimin. Namun yang harus diketahui, sebelum sanksi diatas diberlakukan, maka negara akan mengedukasi umat agar tepat bersikap sesuai agamanya. Yakni melalui penerapan sistem pendidikan islam yang memastikan setiap individu rakyatnya memiliki kepribadian Islam. Mereka akan sadar betul, untuk senantiasa menjaga kemuliaan agamanya. Ketika negara melindungi akidah, dan masyarakatnya sadar untuk menjaga agamanya, maka biidznillah tindakan penistaan agama tidak akan terjadi berulang kali sebagaimana hari ini. Wallahu alam bishawab. [ry]

Baca juga:

0 Comments: