Headlines
Loading...
Kisah Inspiratif 


Oleh. Neni Arini

Ramadan menjadi sebuah bulan yang sangat dirindukan oleh seluruh kaum muslim di dunia. Bisa bertemu di tiap tahunnya dan bercengkrama dengan suasana Ramadan menjadi suatu hal yang dinanti.

Ramadan seolah hadir menjadi pengisi dahaga kegersangan setelah sekian bulan kita disibukkan oleh hiruk pikuk urusan dunia. Pagi hingga malam menjadi sebuah rutinitas dalam mencari rezeki, bahkan aktivitas ibadah wajib pun hanya sekadar seremonial untuk menggugurkan kewajiban. Tidak ada kesadaran untuk memberikan persembahan terbaik di hadapan Illahi Rabbi. Alhamdulillah Allah hadirkan Ramadan untuk melakukan terapi atas kelalaian diri. Kehadirannya menjadi penghapus dahaga dan penyejuk diri.

Di bulan Ramadan Allah berikan keistimewaan kepada hambanya. Semua amalan kebaikan menjadi berlipat ganda. Satu biji kurma yang kita suguhkan untuk bersedekah akan menjadi pahala kebaikan yang berlipat ganda. Belum lagi amalan salat kita, puasa, tilawah, qiyamul lail dan lainnya menjadi berkali lipat pahala di dalamnya. Melihat semua ini, siapa yang tak mencintai Ramadan? Siapa yang tak terpikat oleh Ramadan? Hanya orang-orang yang merugilah yang tidak terpikat hatinya oleh kehadiran Ramadan.

Rasulullah bersabda: "Seandainya umatku mengetahui apa yang terdapat dalam bulan Ramadan, maka sungguh mereka akan berharap satu tahun itu Ramadan penuh. Sesungguhnya surga berhias menyambut Ramadan setiap tahunnya”

Masyaallah, di bulan Ramadan pintu surga dibuka, pintu neraka ditutup, setan dibelenggu, dan disediakannya malam lailatul qadar. Tidak bisa kita mungkiri lagi bahwa bulan Ramadan memiliki banyak keutamaan.

48 tahun sudah raga menapaki dunia ini. Pasang surut kehidupan begitu banyak yang sudah kulewati. Ada duka, ada suka, ada tangis, ada bahagia, semua datang silih berganti.

Aku teringat kembali suasana Ramadan di kala kecil. Alhamdulillah aku sudah diperkenalkan untuk belajar puasa Ramadan ketika di usia 5 tahun. Aku menjalankan puasa sampai azan Zuhur. Setelah aku berusia enam tahun, tepatnya ketika berada di jenjang TK B, aku mulai berpuasa hingga magrib, karena kebetulan suasana tempat kami tinggal saat itu sangat terkondisikan oleh suasana Ramadan. Sehingga masih di usia dini pun aku bisa menjalankan puasa hingga Magrib. 

Banyak sekali kegiatan kerohanian yang diadakan di sekitar tempat tinggalku. Saat itu aku tinggal di kota Bandung daerah Sukarno Hatta. Tak jarang ketika waktunya sahur, kami saling membangunkan, mengaji bersama di mesjid, salat berjemaah. Saat-saat berbuka tiba pasti selalu dipenuhi dengan aneka jajanan. Dan satu lagi, selepas berbuka aku mendapatkan uang jajan dari Ayah tercinta. Wah, itu hadiah yang sangat membahagiakan. Belum lagi es campur kesukaanku yang selalu dihidangkan oleh Mamah tercinta.

Waktu terus berganti, usia pun bertambah, aku pun merasakan suasana Ramadan di tempat lain yaitu kota Manowari, Papua barat. Sebuah tempat yang mayoritas penduduknya beragama Nasrani tetapi itu tidak menyurutkan semangat Ramadanku. Masih sama dengan keidentikan Ramadan, yaitu sahur, berbuka, tarawih dan lainnya. Bahagia? Pastilah, ya.

Namun, takdir hidup berkata lain. Aku harus kembali ke kota Bandung. Kebetulan saat itu aku diminta bekerja di sebuah kantor yang bergerak di bidang kontraktor milik Om. Tapi sayangnya, aku tidak lama berada di sana. Perusahaan kollaps, dan tak mudah mencari pekerjaan di Bandung apalagi dengan latar belakang pendidikan yang biasanya mengukur kayu. Sehingga ketika pada suatu hari aku mendapat tawaran bekerja dari teman untuk menjadi SPG, tentu saja kuterima. Pikirku, pekerjaan apa pun yang penting halal. Lumayan ..., demi bertahan hidup di kota Bandung.

Aku mulai menjalani hari dengan pergi pagi dan pulang malam karena memang jam kerjaku seperti itu. Sehingga ketika Ramadan, aku seolah-olah tak memiliki waktu untuk beribadah. Aku sibuk melayani para pembeli, mengumpulkan pundi-pundi uang yang jatuhnya pada sepasang baju lebaran, sepatu dan tas baru. Berbagi kepada keluarga dan ponakan tercinta. Itulah Ramadanku saat itu.

Tak ada kegelisahan dalam diriku ketika tidak bisa salat tarawih, tak ada kegelisahan ketika sulitnya menjalankan shalat 5 waktu karena terlalu sibuk melayani para pembeli yang begitu ramai. Pikiranku hanya sebatas menahan lapar, haus, beli makanan takjil yang diinginkan. Sudah, itu saja, sederhana sekali pikiranku saat itu. Jangankan melakukan iktikaf, terpikir untuk iktikaf tidak. Astagfirullah.
.
.
Memulai Hidup Baru di Sidoarjo 

Aku berjodoh dengan seorang lelaki bersuku Jawa, ini mengharuskanku untuk tinggal di sebuah kota yang sangat asing bagiku. Sidoarjo. Sebuah kota yang sangat panas tapi saat ini menjadi tempat untuk  mengukir kebahagiaan bersama keluarga kecilku, dan di kota inilah aku lebih mengenal Islam.

Ketika menjalani Ramadan pertama di Sidoarjo, kesan pertamaku ada pada kesederhanaan orang-orangnya. Mereka sering hanya berbalut mukena ketika berangkat salat tarawih, sementara aku berdandan seperti mau pergi jalan-jalan. Sehari ..., dua hari ..., aku masih bertahan dengan ciri khasku sebagai orang Bandung yang modis. Lama-lama timbul rasa malu karena merasa beda sendiri. Akhirnya kuubah cara penampilanku di saat berangkat salat tarawih.

Dari sini aku pun menyimpulkan bahwa berangkat salat ke masjid itu tidak perlu ribet.  Akhirnya aku mulai terbiasa. Suasana lebaran yang sederhana kujalani dengan perasaan bahagia. Maklumlah, pengantin baru, rumah masih kosong, perabotan rumah tangga belum lengkap tetapi bahagia karena merasakan puasa bersama suami.

Kematangan hidup dan cara berpikirku mulai banyak berubah setelah mengenal Islam. Seperti dunia terbalik, mindsetku dulu bahwa puasa itu dari segi kelengkapan menu makanan, jalan-jalan untuk berbuka bersama, beli baju lebaran, pokoknya semua atribut lebaran baru, orientasinya hanya dunia. Alhamdulillah kondisi masyarakat tempat tinggalku begitu ramah, sederhana, dan ada kedekatan alami. Ditambah lagi mulai banyaknya kajian yang kuikuti sehingga mengubah cara pandangku dalam menjalani kehidupan, termasuk dalam hal puasa dan lebaran.

Ya Allah, kemana saja aku selama ini. Puasa yang seharusnya diisi dengan makna ibadah dan berbagai amalan kebaikan tetapi aku hanya memandangnya sebagai rutinitas dunia. Aku terhenyak ketika datang ke suatu kajian dengan tema "Cek amalan kita, apakah sudah berkualitas?" Ustazahnya mengatakan, "Ibu-ibu, alhamdulillah kita sudah dipertemukan dengan Ramadan, kira-kira amalan apa saja nih yang akan dijalankan ketika Ramadan? Tilawahnya mau berapa juz, sedekahnya mau berapa banyak, iktikafnya di mana? Atau jangan-jangan belum memikirkan semua itu ya? Jangan-jangan yang dipikirin baju lebaran, sepatu baru, tas baru, atau makanan enak apa yang akan disajikan? Apa begitu ibu-ibu?" 

Deg! itu kan sama persis denganku.

"Boleh Ibu-ibu beli baju dan lainnya, tetapi tidak dijadikan sebuah tujuan dari Ramadan. Dekatlah pada Allah, Ibu-ibu. Salat malam harus makin kencang, sedekah harus makin banyak, tilawah harus khatam dan lainnya. Ingat, ini bulan Ramadan, bulan dilipatkangandakan pahala. Janganlah kita termasuk orang-orang yang merugi. Ingat Ibu-ibu, kematian akan datang menjemput kapan saja. Sudah siapkah dengan bekal kematian?" lanjut Ustazah.

Ya Allah Ya Rabbi, aku seperti tertampar, sederhana tapi makjleb bagi diri yang belum banyak tahu tentang Islam.

Pulang dari forum tersebut, tak sadar air mata terus mengalir, sebagai bentuk penyesalan diri akan banyak kesalahan yang telah diperbuat. 

Ya Allah maafkan aku, izinkan aku menata diri untuk menjadi orang-orang yang Engkau cintai. Pertemukanlah hamba bersama orang-orang yang akan mengenalkan hamba pada Islam dan yang membuat hamba dekat pada-Mu. 

Sepanjang jalan, aku tak henti-hentinya memohon kepada Sang pemilik bumi ini.

Sesampainya di rumah, kupandangi putraku, sambil bergumam di dalam hati, "Mau jadi apa anakku kalau aku sendiri tidak dekat pada-Mu, Ya Rabb. Maafkan aku, Ya Allah, atas segala dosaku. Izinkan aku untuk dapat menjadi seorang ibu yang bisa mengantarkan anak-anakku menjadi anak-anak yang saleh salihah."

Titik balik kehidupanku dalam memaknai Ramadan dimulai. Aku sudah bertekad untuk menjadi pribadi yang lebih baik. Pada tarawih pertama setelah berjanji ingin berubah menjadi lebih baik, kunikmati sujud tarawihku.

 Ya Allah, begini rasanya ketika merasa dekat dengan Engkau. Begini rasanya ketika lantunan ayat suci Al-Qur'an mampu menggetarkan jiwaku. Ya Allah, ini nikmat, jangan Kau cabut nikmat ini.

Alhamdulilah dengan berprosesnya diri dan  sesuai pemahaman yang dimiliki, aku bisa menyikapi kehadiran Ramadan dengan penuh makna. Kepasrahan diri dan totalitas dalam beribadah. Berusaha memkasimalkan detik waktu yang Allah beri dengan amalan-amalan kebaikan. Semoga Allah meridai, Allah jaga keberadaan diri agar selalu taat pada-Nya. 

Aku bahagia bisa menjalankan proses mengenal Islam bersama keluarga kecilku. Suami dan putri kesayanganku sudah belajar mengkaji ilmu Islam di tempat yang sama. Semoga putra salehku segera menyusul karena memang keberadaan dirinya banyak dihabiskan di pondok. Aku berprinsip bahwa yang namanya kebaikan itu tidak berhenti di keluarga kita saja, tetapi kita harus mengajak umat untuk bisa mengenal Islam dan menerapkannya di setiap lini kehidupan. Islamlah solusi berbagai problem kehidupan.
.
.
Ramadan Bersama SSCQ

Alhamdulillah sudah dua tahun ini aku menjalankan Ramadan bersama komunitas keren yaitu SSCQ, sebuah komunitas dakwah yang mempunyai program ODOJ plus terjemah sebagai program unggulannya. Sehingga dengan bergabung di komunitas ini tilawah bisa istikamah, dan menjadi wasilah sebagai seorang pengemban dakwah. 
Alhamdulillah dipertemukan dengan sang muasis tercinta, yaitu Bunda Lilik S. Yani , yang sudah menjadi contoh teladan kebaikan untuk kami semua. Semoga Allah senantiasa memuliakannya.

Sebuah kilas balik perjalanan Ramadan. Tentu akan ada hikmah pembelajaran yang bisa kita ambil dari setiap peristiwa yang terjadi. Semoga setiap kejadian yang sudah terjadi, menjadikan kita menjadi hamba-hamba yang beriman, yang selalu berada dalam ketataan-Nya.

Terima kasih Ramadan, telah datang ke dalam hidupku. Terima kasih telah membuatku tersenyum dan menjadi orang yang bahagia. Memberikanku kesempatan untuk bertemu dan membersamaimu hingga di hari ini.

Allah berfirman dalam surah Ibrahim ayat 7:

Dan (ingatlah) ketika Tuhanmu memaklumkan, “Sesungguhnya jika kamu bersyukur, niscaya Aku akan menambah (nikmat) kepadamu, tetapi jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), maka pasti azab-Ku sangat berat.” 

Terima kasih, Ya Allah, atas nikmat sehat, nikmat umur, nikmat diizinkan kembali untuk bertemu dengan Ramadan. Maha baik Engkau, hamba yang penuh dosa ini masih Engkau berikan nikmat yang tiada tara ini. Terima kasih atas kesempatan yang Engkau berikan untuk dapat memperbaiki diri. Jangan pernah tinggalkan hamba, Ya Rabb. Izinkan hamba untuk selalu dekat dengan-Mu.

Hakikat syukur yang sebenarnya adalah adalah senantiasa kita memuji Allah Swt. baik di kala kita senang maupun sedih, dan di kala lapang maupun sulit; menaati segala perintah-Nya baik yang wajib maupun yang sunnah dan menjauhi segala larangan-Nya baik yang haram maupun yang makruh; serta rida terhadap ketentuan Allah Swt. yang baik dan yang buruk. Inilah bentuk syukur sebenarnya yang wajib kita amalkan sebagai  seorang muslim. [My]

Baca juga:

0 Comments: