Headlines
Loading...
UKT dalam Kemelut, akibat Kapitalisasi Pendidikan

UKT dalam Kemelut, akibat Kapitalisasi Pendidikan

Oleh. Ummu Zhia 

Kisruh sekaligus polemik biaya kuliah atau Uang Kuliah Tunggal (UKT) sebenarnya bukanlah problem baru. Hampir setiap tahun terjadi protes dari kalangan banyak pihak terutama mahasiswa. 

Biaya pendidikan sekolah tinggi terus merangkak naik. Universitas Indonesia yang "membanderol" uang pangkal hingga Rp40 juta hingga Rp161 juta (detiknews, 5/5/2024). Dengan kisaran UKT (Uang Kuliah Tunggal) mencapai Rp8 juta hingga Rp10 jutaan per semester. Angka yang fantastis. 

Kasus mahasiswa Universitas Riau yang dilaporkan rektornya, viral di media sosial terkait protes mahalnya biaya kuliah, kini menjadi sorotan. Sangat mengecewakan, alih-alih harapan UKT bisa turun, malah dipenjarakan. 

Gelombang protes terjadi dimana-mana. Sekitar 300 massa aksi mahasiswa memenuhi gedung Rektorat Unibraw. Mereka menuntut Kemendikbudristek mencabut Permendikbudristek No. 2/2024. Massa pun menuntut respon Menteri Nadiem Makarim. Apabila kementeriannya tidak dapat menyelesaikan persoalan ini, mahasiswa akan berdemo menuntut agar Nadiem mundur dari jabatannya (Tempo, 23/5/2024).

Mengenai banyaknya protes soal UKT, Sekretaris Direktorat Jenderal Perguruan Tinggi, Tjitjik menyebut pendidikan tinggi merupakan pendidikan tersier atau pilihan yang tidak masuk dalam wajib. Ia menyebut pendidikan tinggi di Indonesia belum bisa gratis seperti di negara lain. Sebab, bantuan operasional perguruan tinggi negeri (BOPTN) belum bisa menutup semua kebutuhan operasional (CNBC Indonesia, 8/5/2024). 

Setelah ditetapkannya Keputusan Mendikbudristek No. 54/P/2024 dan Permendikbud No. 2/2024 tentang Besaran Standar Satuan Biaya Operasional Pendidikan Tinggi (SSBOPT) pada PTN, kenaikan UKT dianggap semena-mena karena kenaikannya hingga mencapai berkali lipat.

Ironis, Menteri Nadiem malah meresponnya dengan mengatakan bahwa kebijakan ini telah memenuhi asas keadilan dan inklusivitas. Keadilan tersebut kemudian dihadirkan dengan bentuk UKT berjenjang, yakni mahasiswa yang tidak mampu, membayar sedikit; sedangkan yang mampu, membayar lebih. Hal ini disampaikannya dalam rapat kerja dengan Komisi X DPR pada Selasa, 21/5/2024 (Tempo, 21/5/2024).

Akankah nasib pendidikan makin buruk, di tengah kondisi ekonomi yang terpuruk? Rupanya harapan pendidikan gratis hanya isapan jempol dan dongeng semata. 

Neoliberalisme Pendidikan 

Hal ini tidak terjadi secara tiba-tiba, akan tetapi hal ini akibat konsekuensi keterlibatan Indonesia dengan perjanjian internasional menjadikan Indonesia menandatangani ‘General Agreement on Trade In Service’ (GATS) pada tahun 1995 yang mengatur liberalisasi perdagangan 12 sektor jasa, antara lain layanan kesehatan, teknologi informasi dan komunikasi, akuntan, pendidikan, dan jasa lainnya. Alhasil pendidikan sebagai kebutuhan pokok komunal yang seharusnya dibiayai oleh negara sesuai mandat Pasal 31 UUD 1945, malah diperdagangkan oleh negara. 

Selain itu mahalnya UKT akibat kebijakan UU PT tahun 2012, pembiayaan PT adalah tanggungjawab masyarakat, industri, dan negara. Masyarakat dan industri menjadi tameng untuk pembiayaan pendidikan atas nama otonomi kampus. PT dibiarkan oleh pemerintah untuk mencari dana sendiri. Hal ini dimaksudkan untuk menyerap mahasiswa sebanyak-banyaknya untuk mendapatkan pemasukan melalui UKT.

Perguruan tinggi seharusnya tidak berbisnis mencari untung dengan mahasiswa untuk pembangunan kampus. Status PTNBH menjadikan perguruan tinggi memiliki kemandirian secara otonomi baik di bidang akademik maupun non akademik. Status kampus yang berubah menciptakan terbentuknya kewenangan mutlak bagi PTN untuk menentukan kebijakan tanpa campur tangan dari pihak lain.

Efeknya persaingan antar kampus semakin ketat. PTN harus sekreatif mungkin untuk berlomba-lomba menjadi Universitas terbaik, mengejar predikat ‘World Class University’. Tidak heran jika biaya pendidikan kuliah menjadi melejit. Harapan sekolah gratis semakin menjauh mengingat dana 20% APBN tidak mencukupi kebutuhan pendidikan nasional. Alih-alih negara mencari dana malah dibebankan kepada kampus itu sendiri. Hingga industri masuk ke dalam kampus.

Konsekuensi akan hal itu, kurikulum dan metode pendidikan harus menyesuaikan dengan iklim bisnis dan industri yang kompetitif hingga kampus membuka berbagai macam program studi baru, disesuaikan dengan kebutuhan pasar. PTN-BH juga diberi wewenang mencari pendapatan untuk universitas dengan mendirikan perusahaan seperti Perseroan Terbatas, hotel, bekerja sama dengan perusahaan, menjual inovasi teknologi. Alih-alih kampus itu fokus untuk pendidikan dan memajukan SDM yang berkualitas, malah dihadapkan dengan bisnis dan lebih memenuhi kebutuhan industri. 

Paradigma kapitalis sekuler, membuat arah pendidikan menjadi sekadar meraih materi, menjadi buruh industri serta mencapai kesenangan dunia. ‘Output’ pendidikan pun tak jarang membuat mereka bersifat individualistik dan tak peduli dengan sesamanya hingga mengakibatkan potret buram SDM. 

Politik yang diterapkan yakni demokrasi liberal yang mengatur tata kelola ekonomi yang kapitalis hingga menyebabkan anggaran defisit, hingga sangat sulit menyelesaikan problem pendidikan saat ini. Dikatakan kapitalistik sebab setiap individu atau kelompok boleh menguasai SDA walaupun besar jumlahnya. Padahal SDA merupakan sumber pemasukan yang diharapkan bisa menyelesaikan kebutuhan hidup rakyat termasuk pendidikan. 

Solusi Islam 

Sebagai seorang muslim hendaknya kita meyakini bahwa Islam bukan hanya sekadar agama, tetapi juga ideologi yang memiliki seperangkat aturan yang lengkap termasuk dalam hal mengatur terkait pendidikan. Islam memandang pendidikan adalah salah satu kebutuhan pokok masyarakat, sehingga pendidikan menjadi tanggung jawab negara dalam arti biayanya akan ditanggung oleh negara. Bahkan negara akan menggratiskan biaya pendidikan. 

Pos biaya dalam negara Islam yakni Khil4fah terhimpun di dalam baitulmal dengan pengaturan yang sudah dicontohkan oleh Nabi Muhammad saw..

Misalnya, terkait sumber pemasukan negara beserta alokasi dananya. Syariat telah menetapkan bahwa sumber pemasukan negara terbagi menjadi tiga, yaitu dari fai dan kharaj, kepemilikan umum, serta zakat. Alokasi dana untuk layanan publik (termasuk pendidikan) bisa diambil dari pos kepemilikan umum.

Ibnu Majah meriwayatkan dari Abdulah bin Said, dari Abdullah bin Khirasy bin Khawsyab asy-Syaibani, dari Al-‘Awam bin Khawsyab, dari Mujahid, dari Ibnu Abbas ra., bahwa Rasulullah saw. bersabda, “Kaum muslim berserikat dalam tiga hal, yaitu air, padang rumput, dan api; dan harganya adalah haram.”

Dengan kekuatan baitulmal, seluruh warga akan mendapatkan layanan pendidikan yang murah, bahkan gratis. Dengan dorongan akidah, negara akan menciptakan suasana keimanan pada setiap warganya, termasuk suasana mencintai ilmu. Dengan ilmu, akan bertambahlah ketakwaan mereka. Dengan ilmu pula akan bertambahlah kontribusi mereka terhadap kemaslahatan umat.

Dengan suasana pengaturan yang islami akan menimbulkan suasana ketakwaan dan terjaganya pemikiran Islam. Motivasi mencintai ilmu akan tinggi. Masyarakat akan mudah membantu sukarela pendidikan dengan inisiatif wakaf yang sifatnya tidak memaksa. 

Oleh karena itu kita wajib senantiasa mendakwahkan Islam agar umat mau diatur oleh syariat Islam dalam kehidupan. [Ni]

Baca juga:

1 komentar