Headlines
Loading...
UKT Memanas, Gegara Visi Pendidikan Tidak Jelas

UKT Memanas, Gegara Visi Pendidikan Tidak Jelas

Oleh. Izazi Fauhan Meilia Putri Rahmaningrum

Kenaikan Uang Kuliah Tunggal (UKT) menjadi perdebatan bagi para mahasiswa dan pihak kampus saat ini. Memang saat ini untuk menuju jenjang kuliah membutuhkan biaya yang sangat tidak sedikit. Namun, melihat kondisi hari ini di mana kenaikan UKT di tengah naiknya perekonomian semakin mempersulit mayoritas orang tua yang makin terasa berat.  

Hal ini terjadi karena sejumlah kampus negeri telah menetapkan besaran UKT bagi mahasiswa baru yang angkanya mengalami kenaikan tidak wajar dibanding tahun ajaran sebelumnya. Dikutip dari CNBC Indonesia, belakangan ini mahasiswa Universitas Jenderal Soedirman (Unsoed) Purwokerto, Universitas Negeri Riau (Unri) hingga Universitas Sumatera Utara (USU) Medan melakukan protes terhadap kenaikan UKT. Para mahasiswa Unsoed misalnya memprotes lantaran ada kenaikan uang kuliah hingga lima kali lipat. Kasus lainnya terjadi di Universitas Negeri Riau (Unri) ketika seorang mahasiswa bernama Khariq Anhar memprotes ketentuan Iuran Pembangunan Institusi (IPI) dalam UKT yang harus dibayar mahasiswa Unri (cnbcindonesia.com, 18/5/2024).

Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Mendikbud) telah menetapkan Permendikbudristek Nomor 2 tahun 2024 tentang Standar Satuan Biaya Operasional Pendidikan Tinggi di PTN Kemendikbudristek. Dalam aturan itu, pemimpin PTN wajib menetapkan tarif UKT Kelompok 1 dan 2. Kelompok UKT 1 sebesar Rp500 ribu, sementara UKT 2 sebesar Rp1 juta (cnnindonesia.com, 18/05/2024). Selain UKT, mereka yang masuk mandiri juga membayar iuran pembangunan institusi (IPI) sebesar Rp125 juta. Pihak kampus mengklaim kenaikan ini untuk meningkatkan kualitas layanan kampus (Tempo, 3/5/2024) (Muslimahnews.net, 05/05/2024).

Mengapa perguruan tinggi saat ini tidak bisa keluar dari ketetapan biaya kuliah yang tinggi? Menurut Sekretaris Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, Riset, dan Teknologi Kemendikbud Ristek Tjitjik Sri Tjahjandarie merespon gelombang kritik terkait UKT di perguruan tinggi yang kian mahal, Tjitjik menyebut biaya kuliah harus dipenuhi oleh mahasiswa agar penyelenggaraan pendidikan itu memenuhi standar mutu. Ia menyebut pendidikan tinggi di Indonesia belum bisa gratis seperti di negara lain. Sebab, bantuan operasional perguruan tinggi negeri (BOPTN) belum bisa menutup semua kebutuhan operasional. Mengenai banyaknya protes soal UKT, Tjitjik menyebut pendidikan tinggi merupakan pendidikan tersier atau pilihan yang tidak masuk dalam wajib belajar 12 tahun. Pendidikan wajib di Indonesia saat ini hanya 12 tahun yakni dari SD, SMP hingga SMA (cnbcindonesia.com, 19/05/2024). 

Sementara itu, penetapan UKT dan biaya lain pada dasarnya mengacu pada satu aturan resmi yang dikeluarkan oleh Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek). Aturan tersebut tertera dalam Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Permendikbud) Nomor 25 Tahun 2020 Tentang Standar Satuan Biaya Operasional Pendidikan Tinggi pada Perguruan Tinggi Negeri di Lingkungan Kemendikbud. Di dalamnya dijelaskan bila seluruh biaya yang ada di PTN merujuk pada Standar Satuan Biaya Operasional Pendidikan Tinggi (SSBOPT). Perubahan PT menjadi PTN BH ikut berpengaruh dalam menentukan UKT (cnbcindonesia.com, 19/05/2024). 

Kenaikan UKT inilah yang mengakibatkan fatal pada pendidikan hari ini, salah satunya adalah sulitnya masyarakat yang ingin mengakses pendidikan tinggi. Efek jangka panjangnya mengakibatkan negeri ini kekurangan generasi terdidik yang akan melanjutkan estafet kepemimpinan bangsa sehingga berpotensi menjadi jajahan bangsa lain. Hal inilah yang dialami pendidikan saat ini di bawah tata kelola yang kapitalistik dan liberal. 

Salah satu hal yang mempengaruhi kondisi PT (Perguruan Tinggi) saat ini adalah adanya program WCU (‘World Class University’) yang mengharuskan adanya syarat-syarat tertentu yang tentu membutuhkan biaya yang mahal, termasuk konsep ‘triple helix’ yang menjalin kerja sama antara pemerintah, perusahaan, dan perguruan tinggi, sehingga membuat orientasi tak lagi pendidikan, namun lebih banyak memenuhi tuntutan dunia industri salah satunya dijadikan ladang bisnis. Sehingga pendidikan hari ini pun menjadi ajang komersialisasi demi meraup keuntungan. 

Faktanya yang terjadi saat ini adalah yang memiliki uang akan mendapatkan kualitas pendidikan terbaik, sedangkan yang tidak memiliki uang: jangankan yang sedang menempuh kuliah perguruan tinggi, untuk bisa kuliah saja saat ini tidak mampu. Konsekuensinya, saat ini negara menjadi abai dan lepas tangan dari membiayai pendidikan warga negaranya.

Dalam pandangan Islam, pendidikan menjadi salah satu kebutuhan pokok yang menjadi tanggung jawab negara, sehingga biaya pun ditanggung oleh negara. Islam memandang bahwa pendidikan merupakan kebutuhan dasar rakyat, sehingga pemerintah wajib menjamin setiap rakyat setiap individu baik laki-laki maupun perempuan layak mendapatkannya. 

Oleh karena itu, satu-satunya solusi dengan dengan menghidupkan kembali fungsi sahih negara sebagai pengurus dan pelayan umat, yaitu hanya melalui penerapan syariat Islam secara kafah (menyeluruh) dalam naungan sistem Khil4fah. Rasulullah saw. bersabda, “Imam (Khal1fah) adalah raa’in (pengurus rakyat) dan ia bertanggung jawab atas pengurusan rakyatnya.” (HR. Al-Bukhari) 

Atas dasar ini, negara wajib menyediakan fasilitas dan infrastruktur pendidikan yang cukup memadai, seperti gedung-gedung sekolah, laboratorium, balai-balai penelitan, buku-buku pelajaran, internet, dan lain sebagainya. Negara juga berkewajiban menyediakan tenaga-tenaga pengajar yang ahli di bidangnya sekaligus memberikan gaji yang layak bagi pengajar.

Negara Islam memiliki sumber pemasukan yang banyak sehingga akan mampu menyediakan pendidikan berkualitas dengan biaya murah bahkan gratis, salah satunya melalui baitulmal. Baitulmal akan menjadi penyelenggara keuangan yang akan mengatur pemasukan dan pengeluaran, termasuk biaya pendidikan. Kas baitulmal diperoleh dari pembayaran jizyah, kharaj, fai, ganimah, pengelolaan SDA, dan lainnya. Dengan begitu, negara tidak perlu menarik biaya pendidikan dari rakyat. Apabila baitulmal tidak mampu mencukupi biaya pendidikan, negara akan mendorong kaum muslim untuk menginfakkan hartanya. Jika hal itu belum cukup, kewajiban pembiayaan untuk pendidikan akan beralih kepada seluruh kaum muslim (yang mampu). Berkaitan dengan korporasi, Islam melarang negara mengalihkan tanggung jawab pembiayaan pada mereka (Muslimahnews.net, 5/5/2024).

Hal inilah yang seharusnya negara lakukan pada sistem pendidikan saat ini agar visi pendidikan menjadi jelas. Pendidikan tinggi dalam Islam bertujuan untuk membangun kapasitas keilmuan, bukan untuk memenuhi tuntutan industri. Wallahualam. [Ni]

Baca juga:

0 Comments: