Headlines
Loading...
Di Balik Angka Fantastis Sampah Makanan

Di Balik Angka Fantastis Sampah Makanan

Opini


Oleh. Dira Fikri

Indonesia adalah negara yang memiliki angka tertinggi dalam menghasilkan sampah makanan se-ASEAN. DKI Jakarta, Banten, dan Jawa Barat adalah provinsi yang paling banyak membuang makanan. Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN/Bappenas) mencatat potensi kerugian negara akibat susut dan sisa makanan (food loss and waste) mencapai Rp 213 triliun sampai dengan Rp 551 triliun per tahun. Angka ini setara dengan 4% sampai dengan 5% Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia. Selain itu, total emisi gas rumah kaca (GRK) yang dihasilkan dari timbulan sampah sisa makanan mencapai 1.072,9 metrik ton (MT) CO2. Hal ini disampaikan oleh Kepala Bappenas Suharso Monoarfa dalam Green Economy Expo, di Jakarta, Rabu (3/7/2024),(sumber: tirto.id).

Jika diakumulasikan, makanan yang terbuang tersebut cukup untuk memberi makan 62% warga miskin di Indonesia. Hal ini setara dengan 25,22 juta penduduk atau sekitar 9,03% dari total penduduk Indonesia. Sedang jenis yang paling banyak terbuang adalah beras/jagung. Dan jika dibiarkan, beras/jagung yang terbuang pada tahun 2045 bisa mencapai 5,6 juta ton. 

Bappenas telah mengeluarkan peta jalan Rencana Aksi Nasional Ekonomi Sirkular Indonesia 2025-2045 serta Peta Jalan Pengelolaan Susut dan Sisa Pangan dalam Mendukung Pencapaian Ketahanan Pangan Menuju Indonesia Emas 2045. Hal ini bertujuan untuk mencegah hilangnya potensi ekonomi akibat susut dan sisa pangan. Namun akankah peta jalan tersebut bisa berjalan dan efektif?

Makan adalah kebutuhan primer manusia. Artinya kebutuhan tersebut jika tidak terpenuhi dalam jangka waktu tertentu, maka akan menyebabkan bencana sakit bahkan kematian. Namun, kebutuhan akan pangan ini jika tidak diatur dengan benar akan menyebabkan kekacauan. Ketimpangan antara jumlah penduduk miskin yang kelaparan sangat bertentangan dengan jumlah sampah makanan yang fantastis. 

Untuk menyelesaikannya tidak cukup hanya melihat masalah pada aspek hilir semata, yaitu pemanfaatan sisa makanan yang dikonsumsi. Namun, kita juga harus melihat aspek hulu di mana produsen produk pangan hari ini yang melakukan produksi besar-besaran untuk mengejar keuntungan yang besar sesuai target mereka. Padahal tidak semua produk dan variannya bisa laku terjual. Faktanya banyak pemusnahan produk kadaluwarsa di saat banyak kasus kelaparan yang belum tersentuh di tengah masyarakat. Dan mayoritas makanan yang terbuang adalah beras dan jagung yang menjadi makanan pokok penduduk Indonesia.

Lebih miris lagi, kebijakan pemerintah beberapa kali melakukan kebijakan impor beras saat panen raya di dalam negeri. Hal ini juga menyebabkan stok beras menumpuk di gudang mengakibatkan beras menjadi berkutu dan mengalami susut. Ironinya banyak warga miskin yang tidak bisa menjangkau untuk membeli beras/jagung, di saat yang sama stok pangan tersebut terbuang karena tidak layak konsumsi. Hal ini mencerminkan buruknya pengaturan distribusi bahan pangan dan pemberian kebebasan untuk para kapital yang memproduksi bahan pangan. 

Sistem kapitalisme telah membuat seluruh kebijakan tidak berpihak kepada rakyat. Pemerintah nyatanya abai tentang budaya membuang makanan di masyarakat kita. Karena sistem pendidikan kita hanya mencetak generasi yang berbobot di dunia akademis semata tapi tidak berkepribadian Islam yang tentu sangat peduli tentang isu pangan seperti ini. Aturan terkait dengan boros energi di dunia industri pangan juga tidak diperhatikan. Pemerintah justru fokus pada perolehan pajak industri yang besar tanpa melihat tumbal industri berupa sampah yang menggunung.  

Memang permasalahan sampah makanan ini tidak bisa diselesaikan hanya pada satu aspek saja, karena ada aspek pendukung lainnya. Dalam sistem Islam di mana aturan yang dipakai adalah berasal dari syariat-Nya, memandang bahwa makanan adalah bagian dari rezeki yang diberikan Allah kepada hamba-Nya. Sehingga di sistem pendidikan yang terintegrasi diajarkan tentang perintah bersyukur dan larangan bersikap mubazir. Di dalam sistem ekonomi Islam juga tidak akan mengorbankan kepentingan rakyat untuk mendapatkan keuntungan materi di dalam industri. Penguasa tidak hanya berperan sebagai regulator semata, namun wajib memastikan setiap jiwa sebagai warga negara memperoleh kebutuhan primernya. 

Aturan yang terkait dengan distribusi bahan pangan harus diawasi oleh negara. Dengan tujuan tidak ada warga miskin yang kekurangan pangan dan tidak ada warga mampu yang mudah melakukan pemborosan pangan. Negara juga wajib melakukan edukasi kepada masyarakat agar memiliki kehidupan yang berkualitas dan tidak merusak lingkungan karena itu adalah perintah Allah dan jika tidak dilakukan, maka kerugian dari lingkungan yang rusak akan kembali ke masyarakat juga. Dari sinilah kebutuhan kita akan sistem Islam. Di mana permasalahan sampah bisa terselesaikan dari mulai akarnya.
Wallahu’alam. [Hz]

Baca juga:

0 Comments: