#SuratPembaca
Food Waste dan Kemiskinan, Kombinasi Problem Akut Negara
Surat Pembaca
Oleh. Hana Salsabila A.R
Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas), menyebutkan setiap tahunnya kerugian ekonomi negara mencapai hingga Rp551 triliun akibat dari pembuangan sisa makanan (food loss and waste). Akibatnya sampah pun semakin menumpuk. Selain itu, total emisi gas rumah kaca (GRK) yang dihasilkan dari timbunan sampah sisa makanan mencapai 1.072,9 metrik ton (MT) CO2 -ek yang mana menurut data World Resource Institute, disebutkan sebagai penyumbang 8% dari emisi global GRK (tirto.id, 03/7/2024).
Hubungan Rumit Kemiskinan dan Konsumerisme
Walau pada tahun 2020, Indonesia menyandang gelar negara penghasil sampah no. 2 di dunia setelah Arab Saudi, faktanya kemiskinan masih menjadi problem akut negara ini. Terhitung persentase penduduk miskin pada tahun 2023 sebesar 14,90%. Secara standar miskin negara kita ini terhitung penghasilan per kepala rumah tangga secara rata-rata adalah sebesar Rp2.324.274,00/bulan. Padahal untuk sebulan, nominal segitu sudah membuat kita gelagapan akibat ketimpangan dengan harga kebutuhan pokok yang rata-rata diatas angka tersebut. Jadi, sebenarnya persentase 14,90% ini standarnya siapa?
Tak hanya sampai di situ, fakta kemiskinan dan food waste yang tak kunjung reda ini salah satu faktornya justru datang dari negara kita sendiri. Dari kasus misdistribusi beras bulog sampai membusuk di gudang, hingga pembuangan sembako untuk stabilisasi harga pangan. Akibatnya banyak makanan terbuang sia-sia sementara itu kelaparan masih terus merajalela.
Kemudian, gaya konsumerisme yang berlebihan juga berkaitan erat dengan problem food waste ini. Hal yang demikian memang banyak terjadi, tak hanya di Indonesia saja. Meski begitu, perpaduan standar Indonesia yang "serba flexing" berpadu dengan gaya hedonisme, hal ini pula yang semakin memperburuk problem kemiskinan dan food waste.
Kapitalisme sebagai Akar Masalah
Kapitalisme, induk kerusakan dari segala perbuatan yang berasaskan manfaat. Budaya konsumerisme masyarakat tidak lain lahir dari rahim kapitalisme itu sendiri. Kapitalisme telah menciptakan individu hedon yang suka mubazir. Juga kesenjangan ekonomi akibat ketidakmerataan distribusi pangan oleh pemerintah. Mengeluh soal food waste tapi lupa dengan human loss. Pemerintah gagal mengentaskan kemiskinan ditengah krusialnya permasalahan food waste.
Menghentikan Food Waste
Setelah mengetahui bahwa budaya mubazir (sia-sia) adalah pokok permasalahannya dan tidak lain itu merupakan pola pikir ala kapitalisme, maka satu-satunya jalan adalah dengan mengubah pola pikir. Bagaimana pola pikir yang benar? Jika kita melihat, budaya mubazir itu merupakan budaya konsumsi berlebihan yang tidak lain untuk pemenuhan kesenangan hawa nafsu belaka akibat budaya hedonisme dan flexing. Cara untuk meredam hawa nafsu tersebut adalah dengan merasa kanaah (cukup) sebagaimana diajarkan dalam Islam.
Allah Swt. berfirman:
"Dan janganlah kamu iri hati terhadap karunia yang telah dilebihkan Allah kepada sebagian kamu atas sebagian yang lain.” (TQS.
Maka, menjadi tanggung jawab negara untuk membentuk individu yang senantiasa merasa kanaah. Selain itu, negara juga wajib menjamin kebutuhan masyarakatnya dengan menjamin kebutuhan pangan mereka, serta mendistribusikannya dengan merata dan teratur. Tidak ada kasus pengendapan atau bahkan penyelundupan bahan dan kebutuhan pangan, tidak ada kasus food waste sementara kemiskinan masih terjadi di mana-mana. Sekali lagi, Islam menjamin individu yang terdidik dengan sifat kanaah dan menjamin kebutuhan pokok masyarakatnya. [An]
0 Comments: