#opini
Ironi Sampah Makanan di Tengah Kemiskinan dan Kelaparan
Opini
Oleh. Ariatul Fatimah, S. Pd.
Makanan menjadi kebutuhan pokok manusia yang harus dipenuhi karena merupakan salah satu kebutuhan jasmani (hajatul ‘udhowiyah), jika tidak terpenuhi akan menghantarkan pada kematian. Namun realitas masyarakat saat ini menjadikan makanan tidak lagi hanya sebatas sebuah kebutuhan tapi lebih pada keinginan. Wajar jika kemudian muncul trend wisata kuliner, festival jajanan, mukbang, dan lain sebagainya, begitu juga tak aneh ketika banyak lapak-lapak kuliner mulai tradisional hingga kekinian, semisal Korean street food, angkringan, café dengan berbagai menu dan konsep yang digandrungi para gen Z.
Imbas dari pandangan makan tak sekedar kebutuhan, ternyata banyak menghasilkan sampah makanan karena seringkali masyarakat tidak menghabiskan makanan yang dibeli atau yang diolahnya. Tentu saja hal ini juga berdampak pada lingkungan. Pada tahun 2020, Indonesia sudah memasuki sinyal darurat sampah makanan. Bahkan pada tahun 2019, telah ditunjukkan bahwa Indonesia merupakan penghasil sampah makanan terbesar nomor 2 di dunia setelah Saudi Arabia. Pada tahun 2021, Sistem Informasi Pengelolaan Sampah Nasional mencatat sampah sisa makanan Indonesia mencapai 46,35 juta ton dalam skala nasional. Jumlah ini menduduki komposisi terbesar dari total sampah yang dihasilkan bahkan melebihi sampah plastik yaitu 26,27 ton (unnes.ac.id/15/07/2024).
Liberalisme yang diterapkan pada masyarakat saat ini meniscayakan ide kebebasan diantaranya adalah kebebasan bertingkah laku yang menghasilkan budaya konsumerisme. Di mana budaya ini lebih mengarah pada sifat kemubaziran yang bertentangan dengan ajaran Islam.
Di sisi lain, ketika sebagian masyarakat berperilaku food waste, maka ada masyarakat lain yang terpaksa makan dari beras ‘berkutu’, beras ‘busuk’ yang diperoleh dari bulog, atau ada juga yang terpaksa makan dengan mengais sampah organic di pasar. Hal yang bertolak belakang ini tentu tak seharusnya terjadi ketika negara memperhatikan dan mengelola sumber daya alam yang ada termasuk sektor pangan ini dengan baik mulai dari produksi hingga distribusi.
Dalam Islam, pangan merupakan kebutuhan pokok yang menjadi tanggung jawab negara untuk menyediakan dengan murah bahkan gratis untuk setiap individu masyarakat. Sehingga ketika ada warga negara yang sudah bekerja, namun tidak mencukupi kebutuhan pangannya, maka negara akan memenuhinya secara layak, bukan ala kadarnya.
Negara dalam sistem Islam akan mampu menjamin kebutuhan pokok rakyat terpenuhi dengan baik, karena Islam mempunyai mekanisme pengaturan kepemilikan, pengelolaan dan pendistribusiannya untuk mensejahterakan rakyat.
Secara individu pun Islam mengajarkan terkait dengan kebutuhan pangan, misalnya makan yang halal lagi baik, larangan untuk berperilaku mubazir, anjuran untuk berbagi makanan ke tetangga, dan lain sebagainya. Sehingga dengan memahami hal ini, maka rakyat akan terbiasa hidup dengan kesederhanaan dan tidak berperilaku food waste.
Perpaduan antara individu yang menjalankan ajaran Islam dan negara juga menerapkan aturan yang sesuai dengan syariah secara kafah, maka akan membawa pada kesejahteraan bagi seluruh rakyat. Hanya saja bukan hanya sektor pangan saja, namun juga seluruh sektor kehidupan manusia juga diatur sesuai dengan syariah.
Sistem pendidikan dalam Islam akan menghasilkan masyarakat yang berkepribadian Islam, yang tunduk terhadap aturan Allah Swt. dalam seluruh aspek kehidupan.
Sistem ekonomi yang menerapkan Islam akan mengatur bagaimana masyarakat memenuhi kebutuhannya dan mengatur tanggung jawab negara untuk mengelola dan mendistribusikannya untuk seluruh rakyatnya.
Sistem sosial dengan syariah kafah akan membudayakan sikap tolong menolong, saling berbagi tehadap orang yang tidak atau kurang mampu. Sehingga dengan seluruh sistem kehidupan diatur dengan syariah kafah akan membawa pada kesejahteraan seluruh lapisan masyarakat, sistem inilah yang seharusnya diterapkan oleh masyarakat dan dunia saat ini, yaitu khilafah ‘ala minhajin nubuwwah. [Hz]
0 Comments: