#SuratPembaca
Judol Marak di Era Kapitalisme, Bagaimana Negara Islam Mengatasinya?
Surat Pembaca
Oleh. Nuryati
Fenomena di tahun 2024 diwarnai dengan maraknya pinjaman online (pinjol) dan judi online (judol). Sebagaimana kita ketahui, Indonesia adalah negara agraris dengan jumlah penduduk hampir 279,3 juta. Dengan jumlah penduduk yang selalu bertambah setiap tahun, tidak sebanding dengan jumlah lapangan pekerjaan yang tersedia. Sangat kurang jauh dari kata cukup. Alhasil, tingkat kemiskinan secara struktural menjadikan pinjol dan judol semakin marak di semua lini masyarakat.
Tercatat 3,5 % penduduk Indonesia yang melakukan judol. Menteri Koordinator (Menko) bidang Pemberdayaan Manusia dan Kebudayaan (PMK), Muhajir Efendy, juga menegaskan praktik judol secara langsung (offline) maupun online. Transaksi online hingga Mei 2024 terdapat 14.575 transaksi keuangan yang mencurigakan. Selain itu pihak Kemenkoinfo mengancam dan akan menutup (memblokir) platform online yang terdeteksi mengandung muatan judi online dan pornografi.
Pemerintah Indonesia pun telah membentuk satgas pemberantasan judi online karena terkategori perbuatan melanggar hukum yang dapat mengakibatkan kerugian finansial, gangguan sosial dan psikologis pelakunya yang dapat menimbulkan efek tindak kriminal. Pihak MUI juga mendukung tegas tindakan pemerintah ini. Namun, apakah tindakan tegas pemerintah Indonesia saat ini akan mampu menghapuskan judi online hingga ke akar-akarnya?
Tentu tidak. Tindakan ini hanya semacam gertakan sambal. Ditambah banyaknya platform online yang menyediakan konten judol yang menjadikan banyak orang ingin kaya dalam waktu singkat. Ketika banyak permintaan maka market judol semakin banyak.
Bagaimakah Islam Menangani Kasus Judi Online?
Dalam Islam, negara adalah ra'in (pengayom) dan junnah (pelindung) bagi rakyatnya. Tugas negara adalah menjamin urusan rakyatnya. Dengan banyaknya sumber daya alam (SDA) yang dimiliki negara Indonesia, itulah kekayaan yang harus dikelola untuk kesejahteraan rakyat. Negara seharusnya menjadikan SDA yang ada sebagai sumber APBN dan kas negara baik di darat dan di laut dari Sabang sampai Merauke. Ibarat keuangan sebuah keluarga, SDA tersebut adalah kas pemasukan untuk seluruh keluarganya, dan tidak membiarkan pintu-pintu asing masuk dengan dalih investasi.
Dalam Islam, negara harus memberikan banyak lowongan pekerjaan kepada rakyat khususnya laki-laki sebagai kepala rumah tangga. Dengan demikian, terciptalah keluarga yang mapan, makmur, dan sejahtera. Sedangkan ibu rumah tangga (IRT) bertugas sebagai al-umm wa rabbatul bait (menjadi seorang ibu dan pengurus rumah tangga) dan sebagai madrasatul ula bagi anak-anaknya yang merupakan generasi bangsa kelak. Bukan malah sebaliknya, perempuan di era kapitalisme disuruh berdaya guna untuk menyaingi laki-laki.
Selain itu, negara juga bertugas untuk menguatkan akidah umat dengan penerapan kurikulum berbasis Islam. Di mana setiap orang akan mengetahui hukum syariat Islam antara lain wajib, sunah, mubah, makruh, dan haram, dan menjadikan skala prioritas dalam aktivitas kehidupannya. Yang tak kalah penting adalah penerapan sanksi (hudud), yaitu misal seseorang telah mencuri yang melebihi kadar nisab maka hukumannya adalah potong tangan. Apabila hukum ini berjalan secara tegas maka orang lain akan takut untuk melakukan hal yang sama.
Dengan demikian, akan terjamin hukum kemanusiaan yang adil yang akan meminimalisir tindakan kriminal sehingga masyarakat akan hidup bahagia dan damai dalam bingkai negara Khilafah. Aamiin ya rabbal alamin. [An]
0 Comments: