Opini
Oleh. Naila
Harta yang paling berharga adalah keluarga.
Istana yang paling indah adalah keluarga.
Teks di atas adalah cuplikan lagu yang berjudul Keluarga Cemara.
Bangsa kita baru saja memperingati Hari Keluarga Nasional (Harganas) pada tanggal 29 Juni 2024, peringatan ini memasuki tahun ke-31. Adapun tema dari puncak peringatan Harganas ini adalah "Keluarga Berkualitas Menuju Indonesia Emas". Kepala BKKBN, dokter Hasto Wardoyo, menekankan bahwa keluarga adalah unit terkecil dalam masyarakat, tempat bernaung, saling mencintai, dan melindungi. Beliau juga mengatakan, "Dari keluarga inilah akan dilahirkan putra-putri generasi penerus dan penentu masa depan warga. Keluarga juga berperan dalam mewariskan nilai-nilai luhur kehidupan kepada generasi muda penentu pembangunan bangsa dan bernegara" (Liputan6.com, 29/6/2024).
Peringatan Harganas tahun ini tidak ubahnya seremonial sebagaimana tahun-tahun sebelumnya. Bagaimana tidak? Berbagai krisis dan kasus generasi yang bersumber dari keluarga lebih buruk dan bagaikan fenomena gunung es yang tidak bisa terpecahkan. Fenomena perempuan/kaum ibu yang semestinya berperan domestik sebagai ibu dan pengatur rumah tangga, dan juga bertanggung jawab mendidik dan menyiapkan generasi yang tangguh dan berakhlak mulia, terpaksa harus menjadi tulang punggung keluarga. Ibu "dipaksa" keluar rumah untuk berkarir/bekerja demi tercukupinya kebutuhan keluarga.
Juga remaja putri yang tidak lain adalah calon ibu, di mana saat ini banyak kasus remaja yang menjadi ibu-ibu muda akibat zina pergaulan bebas yang mereka jalani. Ada juga karena terjadi dari hubungan antar saudara karena rapuhnya benteng dalam keluarga, juga lemahnya iman, akibat tidak paham akan aturan-aturan dalam Islam. Dampaknya ibu-ibu muda mengalami ‘mental health’. Kemudian tidak sedikit; kasus ibu-ibu muda yang menganiaya, melecehkan, bahkan tega menghilangkan nyawa anak sendiri.
Kasus lain, yaitu maraknya stunting akibat kemiskinan yang meningkat. Belum lagi ditambah beban akibat harga pangan yang naik secara serentak, menambah semakin sulitnya perekonomian keluarga yang tidak mampu.
Semua fenomena di atas adalah buah dari sistem kapitalis sekularisme yang mengatur kehidupan saat ini. Sekularisme yang memisahkan urusan dunia dengan urusan agama (aturan Allah) menjadikan negara tidak sepenuh hati dan bersungguh-sungguh dalam menuntaskan problematika rakyat. Negara hanya berperan sebagai regulator (perantara saja). Wajar jika persoalan rakyat tidak kunjung selesai, tetapi malah muncul permasalahan-permasalahan baru yang makin menyusahkan rakyat.
Sistem sekularisme tidak pernah bisa menyelesaikan persoalan rakyat dari akarnya, yang ada hanya penyelesaian tambal sulam. Negara sekuler tidak akan menerapkan aturan bagi rakyatnya yang mayoritas muslim ini agar terikat dengan aturan Allah Ta'ala, Sang Pencipta manusia (yang lebih faham akan solusi yang pas buat manusia). Negara sekuler akan selalu berbanding lurus dengan lahirnya kebijakan yang berlepas tangan dari perannya sebagai pengatur urusan rakyatnya.
Hal ini berbanding terbalik dengan sistem Islam. Islam memiliki metode, bagaimana negara yang bervisi ‘ra'in’ dan ‘junnah’ membangun kebijakan untuk menyiapkan keluarga tangguh dan melahirkan generasi cemerlang pembangun peradaban mulia.
Sebagaimana sabda Rasulullah saw., “Imam adalah pengurus dan ia akan bertanggung jawab terhadap rakyat yang diurusnya". (HR. Muslim dan Ahmad)
Adapun untuk menyiapkan keluarga tangguh dan melahirkan generasi ada empat bidang yang menjadi penyokong, di antaranya:
1. Pendidikan
a. Pendidikan ini terdiri dari dalam keluarga (informal).
Keluarga adalah institusi terkecil dalam negara. Karena keluarga adalah ‘madrasah ula’ ( pendidikan pertama) bagi anak-anak penerus bangsa. Ibu yang berfungsi sebagai ‘umm wa robbatul bait’, akan bersungguh-sungguh mendidik dan mencetak generasi yang tangguh dan berkepribadian Islam. Yang mampu menjalani hidup dengan ketaatan kepada Allah. Sehingga akan muncul generasi dengan tokoh-tokoh besar di masa sistem Islam tegak, seperti Imam Syafii, Sholahuddin Al-Ayyubi, dan Muhammad Al-Fatih.
b. Pendidikan Formal
Negara akan mendirikan sekolah-sekolah dengan kurikulum berbasis Islam, di mana ‘tsaqofah’ Islam menjadi ‘tsaqofah’ yang utama. Dan juga memberikan ilmu-ilmu yang berkaitan dengan ketahanan hidup yang akan menghasilkan generasi berkepribadian Islam dan siap mengemban dakwah.
2. Ekonomi
Dalam Islam, pengelolaan ekonomi adalah ‘riayah’ (mengurus) dan menjamin distribusi harta yang bersumber dari negara secara merata individu per individu. Sehingga kebutuhan rakyat seperti sandang, pangan, dan papan terjamin.
3. Sosial Budaya
Dalam Islam, pemberdayaan individu berpijak pada posisi seorang hamba di hadapan syarak. Sehingga tidak akan terjadi eksploitasi gender, perbedaan kasta, ataupun pelecehan, dengan tetap menjadikan dakwah sebagai poros hidup.
4. Sanksi
Dalam sistem Islam, Islam menegakkan sanksi menurut syariat. Yang bersifat mencegah dan menjerakan. Karena penerapan sanksi berdasarkan ketundukan dan ketakutan kepada Allah kelak di yaumil akhir. Dan hukum dalam dalam Islam tidak bisa diperjualbelikan.
Demikianlah penyokong ketahanan keluarga untuk menuju format keluarga ideal dalam pandangan Islam. Wallahualam bissawab. [Ni]
0 Comments: