Opini
Oleh. Rina Yosida
Kepada orang tua, jika berkata “ah” saja dilarang oleh Allah SWT., lalu mengapa semakin banyak kasus anak tega berbuat kejam terhadap orang tua kandungnya hanya karena masalah kecil?
Hampir setiap pagi warga Desa Bukit, Kecamatan Karangasem, Kabupaten Karangasem, Bali, mendengar jeritan kesakitan Bu Sarifah, seorang Ibu penderita lumpuh yang berusia 77 tahun. Diduga, sudah sejak lama Bu Sarifah sering dianiaya oleh anak kandungnya, dibantu istri dan anak pelaku. Setelah dirawat di rumah sakit, kini kondisinya membaik dan untuk mencegah hal yang sama terjadi, Bu Sarifah tinggal bersama adik kandungnya. Kasusnya masih ditangani oleh pihak berwajib atas aduan warga (Radar Bali.id, 27/5/ 2024).
Kasus serupa terjadi di Pesisir Barat, Lampung, seorang remaja berusia 19 tahun tega menganiaya hingga membunuh ayah kandungnya sendiri. Menurut informasi dari enamplus.liputan6.com, 21 Juni 2024, penganiayaan tersebut bermula dari permintaan sang ayah untuk diantar ke kamar mandi. Korban, sebagai penderita stroke, memerlukan bantuan jika ingin ke kamar mandi. Bukannya membantu sang ayah, remaja tersebut justru menghabisinya.
Lain lagi dengan kasus pembunuhan yang dilakukan dua remaja putri berusia 16 dan 17 tahun, kepada ayah kandungnya sendiri di toko perabotan miliknya di Duren Sawit, Jakarta Timur. Kejadian bermula ketika ayah memergoki anak mencuri uang dan memarahinya. Merasa sakit hati, dua remaja putri itu menusuk ayahnya dengan sebilah pisau (Republika.co.id, 23/6/2024).
Ada Apa dengan Generasi Saat ini?
Sungguh memprihatinkan, ketika Islam tak dijadikan panduan hidup, kehidupan manusia semakin liar tak terkendali. Sehingga generasi muda seperti berjalan dalam sebuah labirin dengan jiwa yang kosong dan tak memiliki tujuan hidup yang hakiki. Melakukan suatu perbuatan hanya untuk memuaskan keinginannya.
Pendidikan sekuler tak memahamkan bahwa ada Allah yang bukan hanya Pencipta, tapi juga Pengatur kehidupan manusia. Kurikulum pendidikan sebatas transfer ilmu dalam upaya memenuhi kebutuhan hidup di dunia, fakta inilah kemudian yang menciptakan generasi yang hanya fokus untuk memuaskan diri, tak peduli apakah pemikiran dan perbuatannya halal atau haram. Merasa berhak menentukan segala sesuatunya sendiri, tanpa melibatkan Allah SWT.
Sehingga menghasilkan generasi yang rapuh, berpikiran dangkal dan emosional. Hanya karena masalah sepele, seorang anak tega menyiksa bahkan membunuh orang tua kandungnya. Semurah itu harga sebuah nyawa, dibandingkan pengorbanan orang tua yang selama ini melahirkan, merawat, mendidik, menafkahi dan mendoakan anak-anaknya.
Sementara itu, kehidupan dalam sistem kapitalisme telah merusak pemikiran individu dalam menilai ikatan sebuah keluarga. Segala hal dipandang hanya sebatas memuaskan atau menguntungkan dirinya sendiri. Baik buruknya pemikiran dan perbuatan hanya didasarkan pada naluri saja, bukan pada akal dan iman.
Generasi Islam sebagai Birrul Walidain
Kata Birrul berasal dari al Birr yang artinya akhlak baik (HR. Muslim), sedangkan Al-Walidain artinya orang tua kandung. Maka dapat didefinisikan bahwa Birrul Walidain adalah kewajiban anak untuk menunjukkan akhlak mulia sehingga menciptakan kebahagiaan untuk orang tua.
“ Dan Tuhanmu telah memerintahkan agar kamu jangan menyembah selain Dia dan hendaklah berbuat baik kepada ibu bapak. Jika salah seorang diantara keduanya atau kedua-duanya sampai berusia lanjut dalam pemeliharaanmu, maka sekali-sekali janganlah engkau mengatakan kepada keduanya perkataan “ah” dan janganlah engkau membentak keduanya, dan ucapkanlah kepada keduanya perkataan yang baik.” (TQS. Al-Isra’ 17: 23)
Selama perintah orang tua tidak bertentangan dengan syariat, maka seorang anak harus melaksanakannya. Apalagi jika sekedar meminta tolong diantar ke kamar mandi atau permintaan ini itu dari orang tua yang lanjut usia, kewajiban anak adalah mematuhinya.
Bagaimanapun sifat dan karakter orang tua, tetaplah harus dihormati dan dimuliakan. Karena orang tua pun mempunyai tugas dari Allah SWT. dalam membimbing dan merawat anak-anaknya yang pasti dimintai pertanggungjawaban kelak.
Islam Panduan Hidup Paling Sempurna
Islam bukan hanya soal ibadah, tapi aturannya meliputi seluruh aktivitas manusia 24 jam nonstop. Edukasi Islam secara kafah sejak dini, akan menciptakan generasi yang berpikir menyeluruh dalam menghadapi sebuah fakta, sehingga mampu mencari solusi atas problem yang dihadapi dengan menyandarkan pada syariat.
Pendidikan Islam kafah senantiasa mengajak generasi untuk selalu berpikir tentang tujuan penciptaan manusia adalah untuk beribadah kepada Allah SWT., yaitu melakukan semua perintah dan menjauhi semua larangan-Nya. Serta yakin bahwa ada hari penghisaban, dimana kita tak akan mampu berkelit dan bersembunyi dari perbuatan buruk kita selama di dunia.
Mengutip dari kitab Menggagas Pendidikan Islam karya M. Ismail Yusanto dan kawan-kawan, pendidikan dalam pandangan Islam harus merupakan upaya sadar dan terstruktur serta sistematis untuk mensukseskan misi penciptaan manusia sebagai abdullah dan khalifah di muka bumi.
Dengan berpikir secara Islam, generasi akan paham bahwa segala sesuatu yang dialami adalah atas kehendak Allah SWT., bukan sekedar hukum sebab akibat. Sehingga selalu berusaha untuk bersabar atas apa-apa yang dialami. Bersabar bukan hanya berarti tidak marah, tetapi mampu menerima dengan ikhlas apapun kehendak Allah SWT.
Jika senang akan bersyukur, jika sakit hati akan memohon diberi kekuatan menghadapinya dan jika merasa lelah mengurusi orang tua yang telah renta, ia akan bersabar sambil terus berharap ridho Allah SWT. “ Sesungguhnya hanya orang-orang yang bersabarlah yang dicukupkan pahala mereka tanpa batas.” (TQS. Az-Zumar 39: 10)
Marilah kita ciptakan suasana ketaatan dan keimanan bersama seluruh kaum muslimin dengan menerapkan Islam secara kafah, agar kedamaian hidup senantiasa hadir dalam hari-hari kita di dunia dan kemuliaan di akhirat. Bukankah itu yang kita inginkan bersama? Wallahu a’lam bish-shawab. [ry].
0 Comments: