Kisah Inspiratif
Oleh. Maya Rohmah
Puja dan puji kulangitkan kepada Allah Subhanahu wa ta'ala. Hanya berkat kasih sayang-Nya, aku masih diberi kesempatan hidup di bulan Ramadan 1445 H ini.
Sungguh, dunia adalah tempat untuk menumpuk rindu. Rindu kepada orang-orang terkasih yang sudah tiada. Rindu pada yang terpisah jarak dan alam. Pada Ramadan 1422 H, 23 tahun yang lalu, ayahanda berpulang. Mari, simak ceritaku!
Hari itu, di bulan Ramadan, aku menjalani masa Orientasi Perkenalan Kampus (OSPEK) dengan semangat penuh. Sorenya, aku ikut kajian Ramadan yang dilanjutkan buka puasa bersama di Masjid Al Ghifari, IPB. Entah mengapa, di tengah menunaikan rakaat salat Maghrib berjemaah, hatiku resah. Seolah ada yang memanggil-manggil. Usai salat, aku pun meminta izin pada kakak pembina (murabbiyah), bersikeras ingin pulang.
Angkutan kota (angkot) berwarna hijau kusetop. Kuhenyakkan tubuhku di kursi yang kosong, belakang supir. Sekelompok anak muda di sudut belakang, berpakaian nyentrik. Refleks kupasang sikap siaga. Ongkos angkot kupegang di tangan agar tak usah mengaduk-aduk isi tas lagi.
Akhirnya, angkot tiba juga di depan gedung yang kelak menjadi salah satu mal terbesar di kota Bogor. Aku harus berhenti di sini dan berjalan kaki ke tempat tujuan. Jalanan setelah berbuka puasa sangatlah ramai. Kupercepat langkahku. Hatiku sudah terbang ke rumah.
Dulu, saat aku dan saudara-saudaraku sakit, Ayah memberi kami makan buah-buahan lebih banyak dari biasanya. Minum air putih lebih banyak dan menyuruh kami untuk banyak istirahat. "Biar enggak dirawat di rumah sakit dan cepat sembuh," katanya. Maka itu pula yang dilakukannya pada dirinya sendiri. Beliau anti pergi ke dokter atau rumah sakit.
Namun, situasi malam itu terasa berbeda. Beliau sedang sakit dan (ini baru sekali ini terjadi) beliau minta untuk diantar ke rumah sakit. Tampaknya, beliau sadar benar akan kondisinya. Napasnya terdengar jelas. Aku, remaja yang baru masuk kuliah, jelas bingung. Ibunda sakit sejak kelas 3 SD. Aku anak perempuan kedua. Jarak dengan kakak lelakiku hanya satu tahun. Seringnya aku yang dianggap lebih dewasa dan diajak bicara mewakili saudara -saudara jika orang lain ingin berbicara.
Menghadapi permintaan Ayah yang seperti ini, aku bingung. Ini hal yang baru bagiku. Aku panik.
"Hubungi ..., Bi Ijah dan ... Mang Endang .... Pinjam mobil (mereka) .... Antar ..., Papah ke rumah sakit," kata Ayah dengan tersengal. Bi Ijah dan Mang Endang adalah nama tanteku dan suaminya.
"Baik, Pah." Aku meminta izin pada ayahku untuk pergi ke rumah Mang Endang. Perjalanan ke sana butuh satu kali naik angkutan kota (angkot).
Aku bersyukur pada Allah, Bi Ijah dan suaminya adalah orang yang baik dan ringan tangan membantu. Setelah kuutarakan maksudku, maka aku, Mang Endang, dan satu temannya yang menjadi supir, bergegas kembali ke rumah. Setelah melihat kondisi Ayah, Mang Endang membawanya ke rumah sakit paru. Sebagai anak perempuan tertua, tentu saja aku ikut menemani. Saat itu kakak lelakiku tinggal bersama Nenek di luar kota.
Di rumah sakit, Ayah semakin tak kuat bicara banyak. Saat itulah, aku dihadapkan pada kejamnya dunia. No free lunch! Pasien wajib mengurus berbagai kelengkapan administrasi dulu sebelum diberikan tindakan. Aku tergagap-gagap mengisi aneka formulir. Di situ aku diminta untuk mengisi komitmen membayar biaya perawatan pasien. Bismillah, kuisi saja. Angka yang tertera kusalin di buku catatan. Dengan setengah menangis, aku berkata, "Obati ayahku, Dokter. Nanti aku cari biayanya."
Setelah itu, barulah ayahku dibawa ke ruangan dan diberikan tindakan. Ayah melihatku, tampaknya beliau sudah setengah tidak sadar.
"Bera ... pa?" katanya susah payah.
Kuperlihatkan catatanku tadi.
"Minta ... ten ... times. Mang ... Ugit." Aku paham. Minta sepuluh kali lipat dari nominal yang tertera, kepada Mang Ugit. Beliau adalah adik Ayah yang bekerja di sebuah instansi pemerintah ternama.
"Papah, Papah yang sehat, ya?!" Kataku tak bisa menahan derai air mata. Perutku yang hanya terisi makanan takjil di masjid kampus, sampai tak mengirimkan sinyal lapar saking sedih dan bingungnya aku saat itu. Saat itu sudah lewat tengah malam.
Aku tertidur sambil duduk di samping ranjang Ayah. Tubuhnya sudah terlilit aneka selang. Aku baru paham setelahnya, kenapa ayah memintaku untuk minta sepuluh kali lipat, itu karena beliau tahu takkan sanggup lagi untuk bertahan. Beliau mengingat nasib istri dan anak-anak yang ditinggalkannya.
Satu tepukan di bahu yang makin keras, membuatku tergeragap bangun. Di belakangku berdiri seorang perawat.
"Kamu puasa? Waktunya makan sahur," ujarnya.
"Iya, terima kasih." Dengan sisa kantuk, aku langsung memeriksa kondisi Ayah. Matanya tertutup. Aku khawatir, tapi aku harus makan sahur agar tetap kuat. Apalagi sejak buka puasa kemarin di kampus, aku belum makan berat.
Kususuri lorong rumah sakit. Penunggu pasien tampak bergerombol di mana-mana. Ramai yang menunggu. Sementara yang menunggui ayahku hanya aku seorang. Remaja yang belum satu bulan mencicipi dunia perkuliahan.
Aku tak tahu kantin rumah sakit ada di mana, mau bertanya pun malu, lebih tepatnya tak berani. Syukurlah ada penjaja makanan di salah satu lorong rumah sakit. Aku membeli sebungkus nasi uduk dan teh manis dalam plastik. Dan segera kembali ke kamar. Nasi uduk yang kumakan bercampur dengan air mata. Lidah terasa asin.
Setelah Mang Endang datang kembali untuk menunggui Ayah, aku pamit, pergi ke rumah dinas Mang Ugit di luar kota. Meminta uang.
Itu adalah saat aku pergi ke luar kota sendiri. Dari Bogor ke Jakarta. Dengan berbekal alamat, aku trial error naik bis umum dan angkot. Sempat salah-salah masuk angkot. Akhirnya sampai juga ke rumah dinas pamanku. Aku pernah ke rumah ini satu kali bersama ayahku.
Sore menjelang Maghrib, tapi pamanku belum pulang juga dari kantornya. Aku berdiri dan jongkok berapa kali di luar pagar rumah. Kukorek-korek tanah dengan ranting, menggambar yang ada di pikiranku saat itu. Adzan terdengar dari masjid, aku berbuka dengan menjilat jariku, asin. Lalu menelan ludahku.
Entah berapa lama dari adzan Maghrib, aku tak punya jam tangan apalagi ponsel, sebuah lampu mobil menyorot ke arahku. Alhamdulillah, pamanku datang!
Dia kaget melihatku ada di sana. Dengan kalimat yang tak beraturan karena penuh dengan luapan emosi dan tangis, aku katakan apa yang terjadi pada Ayah, pada kakaknya.
Kami bergegas kembali ke rumah sakit.
Dua hari setelah itu, Ayah dipindah ke rumah sakit PMI, Bogor. Hanya beberapa jam di sana, aku dipanggil perawat ke ruangan mereka. Mereka memberitahu bahwa ayahku sudah meninggal. Aku kebas, hanya mengangguk, dan sudah tak bisa lagi menangis.
Sambil mencerna informasi yang baru kudengar, aku memaksa kakiku untuk melangkah, kembali ke kamar. Menatap wajah ayahku untuk terakhir kalinya.
***
Jika kasih ibu sepanjang masa, menurutku, kasih Ayah pun demikian. Di tengah keberdayaannya, Ayah masih memikirkan kelanjutan hidup keluarganya.
Allahhummaghfir lahu warhamhu wa'aafihi wa'fuanhu.
Jika ada setetes hikmah dalam cerita ini, barangkali tentang pemahaman bahwa tak selamanya kita bisa bersama-sama dengan orang yang kita cintai di dunia yang fana ini. Yang datang dan pergi akan terus ada. Namun, ingatlah bahwa Allah akan selalu ada. Selama kamu bersandar kepada-Nya, kamu tak akan pernah merasa sendiri. Dia memberikan ujian sesuai kesanggupan hamba-Nya. Maka, bersyukurlah.
Pamekasan, 2 April 2024 M / 22 Ramadan 1445 H
0 Comments: