Opini
Oleh. Mariyani Dwi. A (Komunitas Setajam Pena)
Tahun ini PPDB atau penerimaan peserta didik baru tengah dimulai. Namun berbagai masalah yang timbul pada PPDB di tahun sebelumnya sepertinya akan terulang kembali. Melansir dari tempo.com, 11/06/24, koordinasi nasional (koornas) Jaringan Pemantau Pendidikan Nasional Indonesia (JPPI), Ubaid Matraji menilai kecurangan pada penerimaan peserta didik baru atau PPDB akan terus berulang di tahun-tahun berikutnya, lantaran tidak adanya perubahan sistem sejak 2021.
"Ada jual beli kursi, numpang kartu keluarga untuk memanipulasi jalur zonasi, sertifikat yang abal-abal untuk jalur prestasi, ada titipan dari dinas dan lain sebagainya, serta pemalsuan kemiskinan karena ada jalur afirmasi," kata dia di Gedung Merah putih komisi pemberantasan korupsi, pada Senin, 10 Juni 2024.
Hal itu terjadi lantaran jumlah ketersediaan kursi sekolah tidak sebanding atau sangat jauh dari jumlah calon peserta didik baru yang akan mendaftar. Inilah yang kemudian memicu berbagai pelanggaran dan kecurangan yang dilakukan oleh orang tua ataupun oknum. Sebagaimana diungkapkan oleh pengamat pendidikan dan isu generasi, Yusriana yang menilai bahwa sistem PPDB saat ini belum mampu untuk memberikan kepastian kepada calon peserta didik untuk mendapatkan sekolah secara adil. Yang muncul justru rebutan kursi dan praktik gratifikasi.
Sejatinya, permasalahan yang timbul dalam sistem pendidikan hari ini, diantaranya sistem PPDB, bukan sekedar persoalan teknis belaka. Jika sistem zonasi digadang-gadang mampu mewujudkan pemerataan kualitas pendidikan, nyatanya hingga detik ini, hal ini pun belum terwujud. Hal ini terjadi lantaran sistem yang diadopsi negeri ini untuk mengatur tata kelola pemerintahan, termasuk di dalamnya tata kelola sektor pendidikan adalah sistem kapitalisme.
Kapitalisme memandang pendidikan sebagai barang ekonomi, bukan layanan yang wajib dipenuhi oleh negara. Karena itu, tidak ayal jika tata kelolanya diliberalisasikan. Hingga muncul prinsip bahwa ketika rakyat ingin mendapatkan sekolah bagus, harus siap merogoh kocek lebih. Akhirnya, swasta pun turut andil untuk memanfaatkan peluang ini.
Permasalahan ini diperparah dengan ketidakmampuan negara dalam menyediakan sekolah berkualitas dengan biaya yang murah atau setidaknya dapat dijangkau oleh berbagai lapisan masyarakat. Ketidakmampuan ini juga sangat terkait dengan minimnya anggaran. Bagaimana tidak, hampir 80 persen sumber pemasukan negara ini hanya mengandalkan pajak dari rakyat. Sementara disisi yang lain, sumber daya alam yang melimpah ruah, yang sangat potensial untuk membiayai sektor pendidikan, jutru diserahkan pengelolaannya kepada asing secara legal melalui Undang-Undang.
Maka, jika tujuan pembentukan sistem zonasi adalah untuk pemerataan kualitas pendidikan, selama tata kelola pemerintahannya tetap menggunakan sistem yang kapitalistik, hanya akan menjadi ilusi dan bukan solusi. Oleh karena itu, alasan zonasi untuk pemerataan dan ketersediaan pendidikan yang berkualitas layak ditinjau ulang, mengingat realita di lapangan yang justru membawa banyak praktik buruk.
Hal ini sangat berbanding terbalik dengan tata kelola pendidikan dalam sistem pemerintahan Islam. Islam memandang bahwa pendidikan merupakan kebutuhan dasar rakyat yang wajib dipenuhi oleh negara. Penyelenggaraannya berbasis pelayanan dan bukan komersil. Negara tidak akan berbagi peran dengan swasta untuk mewujudkan ketersediaan pendidikan yang berkualitas, karena hal itu akan semakin menambah beban ekonomi masyarakat.
Mewujudkan pendidikan yang berkualitas dalam sistem Islam bukanlah hal yang sulit. Karena negara memiliki visi peradaban yang jelas, sehingga tidak akan kebingungan dalam menentukan kurikulum pendidikan. Selain itu, tata kelola ini juga ditopang oleh sistem perekonomian yang kuat. Melalui regulasi harta kekayaan yang ada, dengan berbagai jenis sumber pemasukannya, baik melalui pengelolaan harta kekayaan alam maupun yang lainnya, negara akan mampu memberikan anggaran yang sangat cukup untuk mewujudkan pendidikan yang murah bahkan gratis dan berkualitas bagi rakyatnya.
Hal ini sangat niscaya untuk terwujud, karena dalam negara yang menerapkan sistem Islam, siapapun pemimpinnya akan sangat bertanggung jawab atas rakyat yang dipimpinnya. Amanah kekuasaan bukan soalan gaji, namun persoalan amanah atas dasar tuntutan akidah. Termasuk dalam hal ini menyediakan fasilitas pendidikan. Karena pemimpin dalam Islam tahu betul, setiap apa yang ia lakukan akan dimintai pertanggungjawaban oleh Allah Swt. kelak di hari akhirat. Ini sebagaimana hadist Rasulullah saw. bahwa Imam/Khalifah itu laksana penggembala, dan ia bertanggung jawab atas apa yang digembalanya, hadits riwayat Bukhari dan Muslim. Wallahualam bishawwab. [YS]
0 Comments: