Opini
Oleh. Ummu Naura
(Aktivis Muslimah Jawa Tengah)
Kebijakan zalim kembali diluncurkan seiring ditandatanganinya PP No. 21 tahun 2024 yang mengatur perubahan atas regulasi PP No. 25 tahun 2020 tentang Penyelenggaraan Tabungan Perumahan Rakyat (Tapera) oleh Presiden Jokowi pada 20 Mei 2024. Kebijakan ini memaksa seluruh pekerja di Indonesia untuk mengikuti program Tapera dengan mekanisme potong gaji sebesar 3% per bulan sebagai tabungan untuk memenuhi kebutuhan akan perumahan.
Menurut data Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat, pada tahun 2021 ada sekitar 12,75 juta rumah tangga yang belum memiliki hunian dan 29,45 juta rumah tangga menempati rumah tidak layak huni. Untuk mengatasi hal tersebut pemerintah mewajibkan alias memaksa pekerja yang memiliki gaji setara upah minimal regional (UMR) untuk menjadi peserta Tapera. Pemerintah beranggapan, program Tapera diluncurkan untuk menghimpun dan menyediakan dana murah jangka panjang berkelanjutan untuk pembiayaan perumahan layak huni dengan harga terjangkau bagi seluruh peserta.
Pemerintah seolah-olah peduli dengan kondisi rakyat yang belum memiliki rumah, padahal sejatinya ini mengindikasikan ketidakmampuan pemerintah dalam memenuhi kebutuhan asasi rakyat, khususnya kebutuhan akan perumahan yang layak huni, aman, nyaman, murah bagi rakyat miskin.
Sejatinya, mulai tahun 2021 Tapera telah diterapkan secara bertahap. Sasaran peserta Tapera diatur dalam Pasal 15 Ayat (5a) PP No. 21 tahun 2024. Awalnya, target peserta Tapera hanyalah PNS, TNI dan Polri. Namun kepesertaan Tapera kemudian diperluas hingga ke karyawan BUMN dan BUMD. Sedangkan bagi karyawan swasta atau formal, diberi tenggang waktu paling lambat tujuh tahun sejak program Tapera terealisasi, atau tahun 2025.
PP Penyelenggaraan Tapera juga mengatur proses pengelolaan Dana Tapera yang meliputi pengerahan, pemupukan, dan pemanfaatan untuk pembiayaan perumahan bagi seluruh Peserta. Sesuai amanat dasar hukum UU no. 4 tahun 2016 tentang Tabungan Perumahan Rakyat , besaran simpanan Tapera ditetapkan sebesar 3% dari gaji pekerja yang ditanggung bersama oleh Pekerja sebesar 2,5% dan Pemberi Kerja sebesar 0,5%. Sedangkan pekerja dan pemberi kerja juga harus terbebani sejumlah kewajiban iuran lainnya, seperti PPH 21 sebesar 5—35% sesuai penghasilan pekerja, BPJS Ketenagakerjaan (JHT) sebesar 5,7% yang ditanggung perusahaan 3,7% dan pekerja 2%. Belum lagi BPJS Kesehatan dengan besar potongan 5% dengan tanggungan perusahaan 4% dan pekerja 1%, serta Jaminan Kecelakaan Kerja (JKK) dan Jaminan Kematian (JKM).
Adapun dalam Pasal 38 PP Tapera menyebutkan, syarat yang harus dipenuhi untuk mendapatkan fasilitas pembiayaan Tapera adalah mempunyai masa kepesertaan paling singkat 12 bulan, termasuk golongan masyarakat berpenghasilan rendah (MBR) yakni masyarakat yang memiliki penghasilan bersih maksimal Rp8 juta untuk setiap individu, belum memiliki rumah, menggunakannya untuk pembiayaan pemilikan rumah pertama, pembangunan rumah pertama dan atau perbaikan rumah pertama.
Kebijakan Zalim
Apabila dicermati, tampak jelas kezaliman yang ada dalam kebijakan mengenai Tapera ini. Pertama, kepesertaan program Tapera besifat wajib atas seluruh pekerja di Indonesia yang menerima gaji minimal setara UMR, bahkan untuk pekerja yang sudah memiliki rumah sekali pun. Demikian juga bagi pekerja yang masih mencicil rumah, tetap diwajibkan setor iuran Tapera.
Kedua, tidak ada jaminan setiap peserta akan memiliki rumah sebab targetnya adalah pinjaman kredit rumah hanya diperuntukkan bagi MBR yang memiliki penghasilan maksimal Rp8 juta dan harus sudah menjadi peserta selama minimal 12 bulan. Itu pun masih harus memenuhi syarat ketentuan yang memberatkan MBR, seperti pengembalian pinjaman disertai bunganya.
Ketiga, peserta akan kesulitan menarik tabungan yang telah disetorkan, sebab peserta harus memenuhi syarat tertentu agar tabungan bisa ditarik. Misalnya, peserta meninggal dunia, telah pensiun, telah berusia 58 tahun, atau tidak lagi memenuhi kriteria sebagai peserta selama lima tahun berturut-turut yang artinya peserta harus berhenti bekerja sekian lama barulah tabungannya bisa ditarik kembali.
Keempat, sanksi administratif akan dijatuhkan kepada pekerja maupun pemberi kerja jika peserta tidak melakukan pembayaran. Mulai dari peringatan tertulis sampai pencabutan izin usaha bagi pemberi kerja.
Oleh sebab itu, pada hakikatnya kehadiran PP ini bukan menjadi solusi, melainkan justru membebani MBR mendapatkan rumah yang murah dan layak untuk dihuni. Sedangkan bagi rakyat miskin yang tidak memiliki penghasilan tetap atau kurang dari UMR, tidak termasuk di dalam target program PP ini. Tentu hal ini akan lebih menyulitkan rakyat miskin. Lalu, siapa yang akan menjamin pemenuhan kebutuhan perumahan bagi mereka? Padahal rakyat miskin adalah pihak yang paling membutuhkan jaminan pemenuhan kebutuhan pokok berupa rumah dari pemerintah, tetapi pemerintah malah berlepas tangan.
Berbagai skema telah lama dijalankan pemerintah sebagai upaya untuk memenuhi kebutuhan perumahan MBR, seperti Fasilitas Likuiditas Pembiayaan Perumahan (FLPP), Subsidi Selisih Bunga (SSB), dan Subsidi Selisih Margin (SSM), serta rumah DP nol rupiah. Namun hingga saat ini, masih banyak rakyat di Indonesia yang tidak memiliki rumah, bahkan untuk mengontrak rumah pun tidak mampu (tunawisma).
Menurut data Kementerian PUPR, ada sekitar 11 juta rumah tangga di Indonesia yang belum memiliki rumah layak huni dan belum memiliki rumah sama sekali. Kementerian PUPR juga mencatat, sebanyak 40% penduduk Indonesia (25 juta keluarga) tidak bisa membeli rumah pada tahun 2015.
Program Tapera sangat berpotensi menyulitkan MBR dalam memenuhi kebutuhan akan rumah. Pasalnya, pengelolaan kebutuhan ini diserahkan kepada swasta sebagai operator, sedangkan pemerintah hanya berperan sebagai regulator yang menetapkan regulasi untuk kepentingan operator.
Sungguh kezaliman ini adalah buah dari penerapan sistem kapitalisme liberal. Pemerintah tidak perperan sebagai su’unil ummat (pelayan rakyat), tapi justru memalak rakyatnya sendiri. Kezaliman akan terus terjadi di negara yang berdiri di atas landasan yang rusak lagi merusak, yakni sekularisme. Sekularisme meniscayakan orang-orang yang bernaung di bawahnya tidak peduli halal-haram, bahkan hanya mengagungkan nilai-nilai materi dan kemanfaatan semata.
Jaminan Sistem Islam
Sangat jauh berbeda dengan sistem Islam. Sistem Islam yang lahir dari wahyu Sang Pencipta hadir membawa rahmat bagi seluruh alam, bukan hanya bagi umat muslim, tetapi juga nonmuslim. Sistem Islam mencetak penguasa (imam) sebagai pengurus urusan rakyat (ri’ayah/mash’ul) dengan berlandaskan hukum syariat. Rasulullah saw. bersabda, “Imam adalah pelayan dan ia bertanggung jawab terhadap urusan rakyatnya.” (HR Al-Bukhari).
Penguasa tidak dibolehkan menyimpang dari hukum syariat karena alasan tertentu, seperti memungut harta rakyat terus-menerus dengan alasan gotong royong. Penguasa juga tidak dibolehkan menetapkan yang mubah menjadi wajib, seperti mewajibkan menabung yang jika tidak, akan dikenai sanksi. Serta tidak dibenarkan menghalalkan sesuatu yang haram.
Oleh sebab itu, penguasa dalam sistem Islam akan berupaya optimal dalam melayani rakyatnya. Negara adalah pihak yang paling bertanggung jawab menjamin pemenuhan kebutuhan dasar berupa tempat tinggal (rumah) bagi rakyat miskin yang layak untuk ditinggali, nyaman (memenuhi aspek kesehatan) dengan harga terjangkau, serta sesuai syariat. Negara juga tidak boleh melimpahkan tanggung jawabnya kepada operator, baik kepada badan usaha, bank-bank, maupun pengembang perumahan.
Adapun sumber pembiayaan pembangunan perumahan, diambil dari rumah harta (baitulmal). Sumber-sumber pemasukan dan pintu-pintu pengeluaran diatur sepenuhnya berdasarkan ketentuan syariat. Artinya mengharamkan tata kelola keuangan berbasis ribawi. Seperti pemupukan dana yang dihimpun dari rakyat lalu didepositokan atau diinvestasikan di pasar modal, bukan pula dengan cara utang ataupun penarikan pajak kepada seluruh rakyat.
Negara dapat memberikan tanah/lahan miliknya kepada rakyat miskin secara cuma-cuma untuk dibangun rumah. Dan melarang penguasaan tanah oleh korporasi/swasta karena hal ini akan menghalangi negara dalam proses penjaminan ketersediaan lahan untuk perumahan.
Negara Islam akan mengelola industri bahan bangunan yang bersumber dari kekayaan alam yang berlimpah. Kemudian mengolahnya agar dihasilkan semen, besi, aluminium, tembaga, dan sebagainya menjadi bahan bangunan yang siap pakai. Dengan demikian, setiap individu rakyat akan mudah mengaksesnya, baik membeli dengan harga murah bahkan memperoleh secara gratis.
Bagi rakyat miskin yang memiliki rumah, tetapi tidak layak huni dan mengharuskan direnovasi, maka negara harus melakukan renovasi langsung dan segera tanpa melalui operator (bank-bank penyalur maupun pengembang) juga tanpa syarat yang rumit. Alhasil, hasilnya bisa langsung dirasakan oleh rakyat miskin.
Jaminan ketersediaan perumahan bagi rakyat miskin dapat terwujud hanya jika sistem Islam diterapkan secara kaffah dalam naungan Daulah Khil4f4h Islam. Dengan demikian, seluruh rakyat dapat merasakan kesejahteraan secara nyata dan senantiasa Allah Taala turunkan keberkahan.
Firman-Nya, “Dan sekiranya penduduk negeri beriman dan bertakwa, pasti Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi ternyata mereka mendustakan (ayat-ayat Kami), maka Kami siksa mereka sesuai dengan apa yang telah mereka kerjakan." (QS Al-A'raf [7]: 96).
Wallahualam bishawab.
0 Comments: