Story Telling
Oleh. Ana Mujianah
Ibu
Ketegaranmu sungguh membuatku malu
Tak pernah kudengar keluh kesahmu
Meskipun aku tau bahwa rasa lelah itu menghinggapi tubuh rentamu
Namun kau selalu bisa menyembunyikannya dariku
Ibu
Masih jelas di ingatanku
Saat kau berjalan terburu-buru
Datang ke sekolah untuk mengambil raporku
Binar wajahmu menyiratkan semangat menggebu
Saat aku melambaikan tanganku
Menyambutmu di pintu gerbang sekolahku
Ibu
Meskipun tak ada hadiah ataupun ucapan selamat darimu
Setiap kali nilaiku rangking satu
Aku pun tak berkecil hati, Bu!
Melihatmu tersenyum rasanya cukup bagiku
Setidaknya aku bisa mengurangi bebanmu dan memenuhi harapanmu
Menjadi anak yang salihah dan berilmu
Ibu
Di saat aku lelap dalam tidurku
Aku tahu kau terjaga lalu berwudu
Di sepertiga malam terakhir yang syahdu
Kau angkat kedua tanganmu
Kau meneteskan air matamu
Bersimpuh di hadapan Rabbmu
Memanjatkan doa terbaik untukku
Ibu
Di saat aku sudah bukan lagi tanggung jawabmu
Kau pun masih seperti dulu
Selalu mengkhawatirkanku
Senantiasa menanyakan bagaimana keadaanku
Bahagiakah aku
Dan kau pun tak pernah lupa menyelipkan aku dalam doa-doamu
Ibu
Sungguh jasamu tak pernah bisa dibandingkan dengan apa pun di dunia ini
Sementara baktiku tak ada seujung kuku untuk bisa menandingi
Maafkan anakmu, Bu!
Yang kadang lalai, bahkan untuk sekadar menanyakan kabarmu
Padahal kau menantinya sepanjang waktu
Bukan … bukan materi yang kau nanti
Namun … hanya sekadar perhatian penawar rindu di hati
Ibu
Semoga Allah senantiasa menjagamu dan memberikan keberkahan untukmu
Doakan aku agar senantiasa bisa berbakti padamu
Meski aku takkan mampu membalas segala pengorbananmu
**
Puisi untuk Ibu yang tak pernah usang dimakan waktu. Sabar dan tak pernah mengeluh. Itulah kesanku kepada Ibuku. Padahal aku tahu, menjadi orang tua tunggal tidaklah mudah bagi Ibuku. Dengan segala kesulitannya, Ibuku selalu bersabar meski harus berjuang sendirian merawatku. Menjalankan dua peran dalam satu waktu yaitu menjadi ayah sekaligus ibu bagiku.
Dulu waktu aku masih SD, terkadang aku merasa iri kepada teman-temanku. Sekolah diantar ibu, baju disetrika ibu, sampai belajar ditemani ibu mereka. Sedangkan aku, menanyakan PR-ku saja rasanya Ibu nggak pernah. Bahkan Ibuku juga tidak pernah menyuruhku belajar. Bagi generasi zaman now mungkin akan bilang, "Enak nih nggak disuruh belajar." Namun tidak bagiku, aku justru sedih ketika nggak disuruh belajar oleh Ibuku.
Dulu waktu kecil memang aku sedih, kenapa Ibu tidak menyuruhku belajar. Setelah dewasa aku baru sadar, Ibuku ternyata bukannya tidak perhatian kepadaku, buktinya setiap ambil rapor beliau selalu datang meski tertatih menaiki sepeda "onthel" peninggalan bapakku, beliau pasti datang. Ibuku tidak menyuruhku belajar, atau menemaniku belajar, karena Ibu melihat aku mampu melakukannya sendiri tanpa disuruh.
Masih tentang urusan sekolah. Ibuku memang terlihat cuek soal pendidikan. Tapi aku bisa memakluminya sekarang, karena sekolah Ibuku juga tidak tinggi. Namun, dalam kesederhanaannya itu, Ibuku ternyata sangat perhatian tentang sekolahku. Meski belum terbayang bagaimana nantinya, dapat uang dari mana, lagi-lagi dalam diamnya beliau langsung bertindak mencari jalan keluarnya.
Ibuku memang tidak suka berkeluh kesah kepada orang. Karena beliau tahu itu bukan solusinya. Tapi satu hal yang membuatku malu, saat ada masalah Ibuku tak lupa mengadu kepada Rabb penggenggam alam semesta. ‘Biidznillah’, dengan doa Ibuku, Allah mudahkan aku bisa kuliah.
Sebagaimana hadis Rasulullah saw., "Tiga doa yang mustajab yang tidak diragukan lagi, yaitu doa orang tua, doa orang yang bepergian, dan doa orang yang terzalimi." (HR. Abu Dawud)
Hari berganti minggu, bulan pun berganti tahun, Ibuku masih seperti dulu. Selalu diam, tidak banyak bicara, dan tidak pernah mengeluh. Dari sikapnya itulah aku banyak belajar. Bagaimana kita bersabar dan menyerahkan segala urusan kepada Allah dalam menjalani setiap proses hidup ini, insyaallah, Allah pasti akan memberikan kemudahan dan pertolongan.
Setidaknya itu yang ditunjukkan Ibuku saat aku menikah. Setelah kakak perempuanku dipanggil oleh Allah di usianya yang masih belia, praktis aku menjadi anak tunggal. Kepasrahan Ibu diuji. Allah memberiku jodoh dari kota jauh kebetulan juga anak tunggal. Di satu sisi ada Ibuku yang harus aku temani, di sisi yang lain, ada mertua yang menjadi tanggung jawab suami.
Aku tahu Ibuku pasti berat melepasku pergi. Lagi-lagi, Ibuku yang selalu diam dan tidak pernah mengeluh, senantiasa menampakkan wajah tersenyum di hadapan kami. Ibu tidak memberatiku dan suami untuk tinggal di rumah kami, meski konsekuensinya Ibuku akan sendirian. Apa yang menjadi penguat hati Ibuku? Pasrah sama Allah. Ya, hanya itu yang selalu Ibu ucapkan kepadaku.
Ibuku selalu menasihatiku, bahwa tugas istri itu, ya patuh sama suami. Ikut kemana pun kaki suami melangkah. Berbakti kepadanya. "Lalu bagaimana dengan Ibu? Ibu nanti sendirian?" kataku suatu hari di ujung telepon. "Di mana pun kita berada sama saja. Yang penting baik sama tetangga dan jangan lupa selalu mendekatkan diri pada Allah," jawab Ibuku setiap aku mengajaknya tinggal bersamaku.
Terima kasih Ibu, telah mendidikku. Engkau mungkin tidak secara langsung menceramahiku, tapi sungguh, pribadimu adalah teladan yang nyata bagiku. Semoga Allah senantiasa melindungimu dan memudahkan segala urusanmu, Ibu. [Ni]
Jakarta, 14 Desember 2023
0 Comments: