#opini
Tiket Pesawat Melambung Tinggi, Satgas Menjadi Solusi?
Opini
Oleh. Mufidah Huda
Di tengah mahalnya kehidupan saat ini, tiket pesawat pun tak mau ketinggalan. Meski moda transportasi yang satu ini seolah tak menyentuh seluruh lapisan masyarakat, namun cukup membuat sebagian rakyat menjerit. Pasalnya, sudah sangat dipahami bahwa negeri ini merupakan untaian pulau-pulau, sehingga pesawat menjadi salah satu sandaran di sisi transportasi. Demikian pula di wilayah yang terpisahkan hutan belantara, pesawat menjadi andalan satu-satunya.
Memang, harga tiket pesawat dalam negeri Indonesia terbilang sangat mahal. Menteri Koordinasi Bidang Kemaritiman dan Investasi, Luhut Binsar Panjaitan, menyebutkan bahwa harga tiket di Indonesia tercatat paling mahal di ASEAN dan nomor dua termahal di dunia (tirto.id, 14/07/2024).
Adapun penyebab kenaikan harga tiket pesawat ini, Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Menparekraf), Sandiaga Salahuddin Uno, menyatakan bukan hanya bahan avtur saja yang berkontribusi membuat harga tiket mahal di dalam negeri. Namun, terdapat faktor lain seperti beban pajak hingga beban biaya operasional. Dalam mengatasi masalah ini, pemerintah telah membentuk satuan tugas. Menparekraf juga telah memastikan bahwa pemerintah telah membentuk satuan tugas atau satgas penurunan harga tiket pesawat, sebagai upaya untuk menciptakan tiket pesawat yang lebih efisien di Indonesia (Kompas.com, 14/07/2024).
Akankah Satgas Penurunan Harga Tiket Berhasil?
Sudah teramat sering, sepak terjang penguasa saat ini justru membuat pusing. Jika alasan kenaikan harga pesawat karena bahan bakar berharga tinggi dan beban pajak serta biaya operasional, mengapa pemerintah tidak langsung mengendalikan hal tersebut? Di negeri penghasil minyak, sudah sewajarnya harga bahan bakar tidak melambung. Demikian pula dengan pajak. Sebenarnya tidaklah pantas negara sekaya Indonesia, menarik pajak besar-besaran bahkan dilakukan di semua lini. Pun dengan biaya operasional seharusnya bisa ditekan.
Jika ditelisik lebih lanjut, mahalnya tiket pesawat tak lepas dari lingkaran bisnis. Dalam sistem kapitalis, apapun yang bisa dimanfaatkan oleh pemegang modal untuk mengembangkan hartanya maka akan dilakukan. Tidak peduli apakah akan berdampak buruk pada banyak orang ataukah tidak. Terlebih sudah menjadi rahasia umum jika pengusaha dan penguasa saat ini menjadi sahabat karib yang seolah tak dapat dipisahkan.
Adanya monopoli penyelenggara dalam bisnis layanan transportasi udara ini juga terjadi. Jelas, kondisi tersebut akan memperparah gejolak harga yang pastinya dengan mudah dikendalikan sang pengusaha. Industri penerbangan di Indonesia disebut dimonopoli oleh satu grup maskapai yang menguasai 60% pasar dalam negeri. Pengamat menilai, alih-alih mengatur, pemerintah justru seakan memberikan dukungan (Liputan6.com, 13/06/2022).
Pembentukan satgas hanya semakin menegaskan betapa lemahnya negara dalam menyelesaikan persoalan ini. Secara tidak langsung pembentukan satgas menunjukkan ketidakberdayaan lembaga yang ada. Lembaga negara yang sudah ada seharusnya mampu mengendalikan semua pencetus melambungnya harga, karena itu semua di bawah kekuasaannya. Tidak perlu lagi pembentukan satgas. Bahkan tindakan ini justru akan menambah beban pemerintah karena harus ada dana untuk satgas yang bertugas. Satgas pun tak akan mampu menyelesaikan selama sistem ekonomi masih kapitalistik. Jeratan kebijakan yang melingkupi di sekeliling industri penerbangan terlalu kokoh untuk dipatahkan bagi sebuah satgas.
Transportasi, Layanan Penting dalam Islam
Transportasi dari sudut pandang Islam merupakan kebutuhan publik yang menjadi tanggung jawab negara. Negara yang berfungsi sebagai ra'in atau pengurus urusan rakyat akan mampu mewujudkannya. Terlebih lagi negara dalam Islam memiliki banyak sumber pemasukan yang mampu memberikan layanan gratis. Karena semua sumber dimaksimalkan, dikelola sendiri oleh negara dan tidak sedikit pun diberikan kepada swasta.
Pemerintahan Islam masa lalu sangat peduli terhadap urusan transportasi. Sejak 950 M, jalan-jalan di Cordoba sudah diperkeras, secara teratur dibersihkan dari kotoran, dan malam harinya diterangi dengan lampu-lampu minyak. Saat itu penguasa juga telah memuliakan jenis kuda dan unta yang makin kuat menempuh perjalanan. Bahkan di tahun 1900, masa Sultan Hamid II telah dicanangkan proyek Hejaz Railway. Jalur kereta ini terbentang dari Istanbul hingga Mekah, melalui Damaskus, Yerusalem, dan Madinah.
Untuk di laut mereka juga banyak mengembangkan teknologi kapal. Ada berbagai tipe, di antaranya perahu cadik kecil hingga kapal dagang yang mampu menampung beban di atas 1.000 ton. Kapal perang pun telah dikembangkan untuk mampu menampung 1.500 orang. Pada abad ke-10, Al Muqaddisi mendaftar nama beberapa lusin kapal, beserta jenis-jenis yang digunakan pada abad-abad sebelumnya.
Demikian pula transportasi udara sudah dipikirkan kala itu. Abbas Ibnu Firnas (810-887) dari Spanyol telah melakukan serangkaian percobaan untuk terbang. Sejarawan Philip K Hitti menulis dalam History of The Arabs, “Ibn Firnas was the first man in history to make a scientific attempt to flying.”
Begitulah pemerintahan Islam, akan selalu mengedepankan layanan kepada rakyatnya, tak terkecuali urusan transportasi. Dalam memaksimalkan pelaksanaannya, pengurusan setiap kebutuhan umat akan ditangani oleh SDM yang amanah dan kapabel. Sehingga pengelolaannya berjalan efektif dan efisien. Terlebih dengan dukungan penerapan sistem ekonomi Islam dan sistem lainnya secara kafah dan komprehensif, masalah transportasi akan dengan mudah ditangani. [An]
0 Comments: