Headlines
Loading...
Bangga Pungutan Pajak Naik, Benarkah Rakyat Sejahtera?

Bangga Pungutan Pajak Naik, Benarkah Rakyat Sejahtera?

Oleh Umi Hafizha 

Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati mengatakan untuk membangun negara yang sejahtera dan adil diperlukan dukungan penerimaan pajak yang baik.
Bendahara negara ini menyebut, pajak merupakan tulang punggung dan sekaligus instrumen yang sangat-sangat penting bagi sebuah bangsa dan negara untuk mencapai cita-citanya.

"Oleh karena itu, kita semuanya di Kementerian Keuangan, Direktorat Jenderal Pajak, terus melakukan tanggung jawab dan tugas ini harus dengan sepenuh hati," ujarnya.

Dalam kesempatan tersebut, Sri Mulyani menyampaikan terkait perkembangan penerimaan negara yang setiap masa terus membaik, hal itu dilihat dari pencapaian penerimaan pajaknya. (Liputan6.Com,  14/7/24).

Pada era reformasi pada tahun 1998 hingga menjelang tahun 2000 penerimaan pajak RI berada di posisi Rp400 triliun. Jika dibandingkan dengan target penerimaan pajak pada tahun ini, angka penerimaan pajak telah naik menjadi hampir lima kali lipat. Bahkan saat ini Undang-undang APBN mencapai target Rp1.988,9 triliunan. (CNN Indonesia.com, 14/7/2024).

Peningkatan penerimaan pajak yang dibanggakan menteri keuangan sejatinya menunjukkan peningkatan pungutan atas rakyatnya. Hal ini wajar terjadi dalam sistem kapitalisme. Sebab pajak merupakan sumber utama dan terbesar pendapatan negara untuk membiayai pembangunan negara.

Pemerintah selalu membangun narasi yang baik bahwa pemasukan pajak dari rakyat akan berdampak pada kesejahteraan rakyat. Seperti subsidi BBM, pendidikan, kesehatan, infrastruktur jalan dan lain-lain, sehingga harapannya rakyat yang berpenghasilan rendah bisa mengakses kebutuhan pokoknya dengan mudah. Begitu juga dengan layanan kesehatan.

Oleh karena itu, pemerintah terus menghimbau agar rakyat taat pajak sehingga negara bisa menjalankan roda pemerintahan. Negara yang menerapkan sistem kapitalisme akan terus mencari legitimasi untuk menambah pungutan pajak kepada rakyat yang jelas sangat membebani kehidupan rakyat. Sebagaimana kita ketahui, presentasi pajak seperti PPN maupun PPH terus mengalami kenaikan. Rakyat yang dari dulu hidup dalam sistem kapitalisme telah teracuni oleh prinsip ekonomi kapitalisme yang beranggapan tidak ada pemasukan yang bisa menjalankan fungsi negara selain pajak dan utang.

Padahal sebuah negara mampu menjadi sebuah negara yang kaya tanpa bergantung kepada pajak, yakni melalui pengelolaan kekayaan alam yang dimiliki sebuah negara. Apalagi Indonesia, negeri yang memiliki sumber daya alam beragam dan melimpah. Namun liberalisasi kepemilikan yang lahir dari konsep ekonomi kapitalisme telah melegalkan hasil kekayaan alam milik rakyat dimiliki oleh swasta. Alhasil kepemilikan migas, batubara, hutan, laut dan lain-lain sebagian besar dikuasai oleh swasta, baik asing maupun lokal. Sedangkan negara hanya memperoleh masukan pajak dari industri-industri swasta yang mengelola kekayaan alam negeri ini.

Tentu saja pendapatan negara akan berbeda ketika negara mengelola kekayaan alam secara mandiri. Menjadikan pajak sebagai sumber utama APBN merupakan bentuk pembodohan dan kezaliman. Dengan fakta ini pajak ditengarai menjadi alat penguasa untuk memalak rakyat kecil. Sebab faktanya pengaturan pajak tajam pada rakyat tumpul pada penguasa dan konglomerat. Oleh karena itu, bisa dikatakan bahwa tata kelola pajak dalam sistem ekonomi kapitalisme di bawah sistem demokrasi hanya berujung pada kesengsaraan rakyat.

Berbeda dengan penerapan sistem Islam. Ada banyak penerimaan negara dengan jumlah yang besar. Pendapatan tersebut sangat cukup mewujudkan kehidupan yang sejahtera bagi seluruh rakyatnya. Pendapatan negara dalam Islam tidak bertumpu pada pajak yang hanya menjadi beban hidup tersendiri bagi rakyat. Apalagi negara dalam Islam adalah sebagai pelayan atau pengurus bagi rakyatnya dan menjadi tugas negara untuk mengurus keuangan negara hingga terwujud kemakmuran di tengah masyarakat.

Negara telah mengatur bahwa ada tiga pos utama di dalam sistem keuangan negara Islam diantaranya yaitu, penerimaan yang berasal dari pengelolaan pos kepemilikan umum, baik berupa pengelolaan barang tambang, minyak, gas alam dan lain-lain.
Kemudian penerimaan yang berasal dari kepemilikan negara, baik dari harta kharaj, fai' jizyah dan lain-lain, dan terakhir yaitu penerimaan yang berasal dari zakat mal. Zakat mal ini adalah keistimewaan yang hanya diberikan kepada delapan golongan sebagaimana yang diatur dalam Al-Qur'an surat At-Taubah ayat 60. Delapan golongan itu adalah fakir, miskin, ibnu sabil, dll. Maka harta zakat ini tidak boleh dialokasikan untuk kepentingan yang lain.

Pada asalnya pemasukan rutin Baitul Mal cukup untuk membiayai seluruh kewajiban keuangan yang menjadi tanggung jawab Baitul Mal. Ketika pemasukan Baitul Mal mampu mencukupi semua kewajiban keuangan negara, maka negara tidak membutuhkan pungutan pajak dari kaum muslim. Namun tidak dipungkiri ada kejadian diluar kuasa manusia yang memungkinkan pemasukan Baitul Mal mengalami defisit, seperti terjadi bencana, wabah dll. Dalam kondisi ini syariah mewajibkan pengurusan rakyat yang tidak bisa ditunda tetap terlaksana dengan mengalihkan beban keuangan negara kepada umat Islam. Dalam hal ini negara memiliki hak mendapatkan harta dari umat melalui kewajiban pajak kepada umat sesuai batas-batas yang telah ditetapkan oleh syariah, tidak boleh lebih maupun kurang. 

Pungutan yang dikeluarkan pun sekedar untuk menutupi kekurangan pembiayaan kas negara yang kosong dalam kurun waktu tertentu, sampai kebutuhan negara terselesaikan dan pemasukan negara dalam kondisi stabil. Pajak ini pun hanya boleh dikenakan kepada muslim yang kaya saja. Demikianlah pengaturan ekonomi Islam dalam institusi khilafah yang akan membawa rahmat bagi seluruh umat manusia.
Wallahualam bissawab.

Baca juga:

0 Comments: