#opini
Investasi Triliunan Masuk Klaten, Bahagia atau Sengsara?
Opini
Oleh. Hanif Eka Meiana (Aktivis Muslimah Soloraya)
Berdasarkan data yang dihimpun Solopos.com, nilai investasi di Klaten dari tahun ke tahun pascapandemi atau mulai 2021 menunjukkan tren peningkatan. Capaian investasi itu meningkat pada 2021 menjadi senilai Rp1.377.467.139.000 dengan total 3.984 investor. Pada 2022, capaian investasi PMDN naik lagi menjadi Rp3.549.341.388.000 dengan total 6.273 investor (soloraya.solopos.com, 29/07/2024).
Tren positif juga ditunjukkan dari realisasi capaian penanaman modal asing (PMA) di Klaten. Pada 2023, capaian investasi baik PMDN maupun PMA masih menunjukkan kenaikan dengan PMA senilai US$51 juta dan PMDN senilai Rp4,47 triliun dengan total 16.435 proyek atau kegiatan usaha.
Sekilas memang terlihat banyak hal positif yang akan mampu mengubah wajah Klaten menjadi kota yang bertumbuh dan berkembang. Mulai dari berkembangnya wisata di daerah Klaten, berkembangnya perdagangan, terbukanya lapangan pekerjaan, bertambahnya wisatawan yang datang, dibangunnya pertokoan, hotel, dan pusat industri lainnya. Namun apakah hal tersebut benar-benar akan mampu memberi kemajuan pesat pada kota Klaten dan memakmurkan penduduknya? Ataukah akan terjadi dampak lain yang belum disadari?
Menjadi hal yang lumrah dalam sistem kapitalisme, ukuran kemajuan sebuah kota dilihat dari pembangunan yang dilakukan, pesatnya pusat perbelanjaan, pembangunan infrastruktur maupun destinasi wisata yang berkembang. Antar kota saling berlomba untuk meraih gelar kota terbaik ataupun kota yang dianggap unggul. Oleh karenanya, beragam upaya dilakukan demi mewujudkan kota yang diharapkan.
Namun untuk dapat membangun sebuah kota, perlu dana yang tidak sedikit. Bila dilihat dari pemasukan di tiap daerahnya, hanya cukup untuk membiayai operasional kebutuhan pemerintah daerah setempat. Hal itu belum termasuk pemerataan kesejahteraan rakyat di daerah tersebut. Jika ingin mendapatkan pemasukan lebih, maka cara yang dilakukan adalah dengan membangun destinasi wisata untuk menarik wisatawan datang, membangun pusat perbelanjaan, membangun kawasan industri, dan lain sebagainya. Biaya pembangunan bukan berasal dari APBD, melainkan dengan menarik para investor untuk menanamkan dananya.
Penerapan sistem sekuler (pemisahan antara agama dengan kehidupan) hari ini mengadopsi pemikiran bahwa segala sesuatu diukur dari nilai manfaat dan materi tanpa mempertimbangkan baik dan buruknya dalam kacamata syariat. Bila melihat ada potensi keuntungan dengan dibangunnya infrastruktur dan daerah wisata, maka akan langsung dilirik oleh pemerintah setempat. Tentu hal ini akan memberikan keuntungan bagi pemerintah daerah setempat. Namun ada yang belum disadari dari dampak investasi triliunan rupiah ini.
Penanaman Modal Asing (PMA) ini akan berdampak serius pada masyarakat. Pembangunan proyek tol dengan tarif yang tinggi hanya akan dapat dinikmati oleh mereka yang mendapatkan manfaat dari dibangunnya tol, sedang masyarakat sekitar yang berpenghasilan tidak seberapa tidak dapat menikmati adanya tol tersebut. Bahkan fakta ditemukan, beberapa usaha warga di sekitar tol banyak yang gulung tikar, ratusan makam dipindahkan, jumlah area persawahan berkurang drastis. Pekerja proyek tol nyatanya juga ada yang belum mendapatkan gaji. Dan yang utama ialah tidak banyak memberikan manfaat berarti bagi masyarakat sekitar.
Sedangkan dibangunnya banyak destinasi wisata akan berdampak pada banyaknya wisatawan yang masuk dengan beragam karakter, pemikiran, dan budaya. Hal demikian sejatinya bertolak belakang dengan masyarakat sekitar dan tentu saja akan sangat mempengaruhi budaya pada masyarakat. Wisatawan dari kota lain masuk membawa budaya sekuler, gaul bebas, L68T, berpakaian terbuka, serta berperilaku bak orang kota. Ini akan dengan mudah dicontoh dan ditiru oleh masyarakat sekitar kawasan wisata yang cenderung memiliki karakter khas dengan tata kramanya, agamis, dan keawamannya.
Belum lagi pembangunan destinasi wisata ini akan dilirik oleh UMKM maupun para pengusaha untuk membangun toko, pusat perbelanjaan, kafe, hotel, tempat karaoke, dan sebagainya. Pembangunan ini akan memunculkan perilaku konsumtif di sekitar masyarakat, menambah jumlah sampah, polisi udara, mengurangi jumlah areal persawahan, serta maraknya terjadi kemaksiatan. Tak dipungkiri juga akan ada infiltrasi budaya dan munculnya tindak kejahatan oleh sebab kecemburuan sosial.
Terbukanya lapangan pekerjaan sebenarnya belum tentu mampu meningkatkan taraf hidup masyarakat. Mereka yang dipekerjakan akan menjadi budak para kapitalis dan oligarki. Para investor dan pengusaha termasuk juga para pejabat yang terlibat akan sangat diuntungkan dari proyek ini. Pundi-pundi uang akan masuk dan bertambahlah kekayaan mereka, sedang masyarakat tetap terpuruk, berada pada jurang kemiskinan yang parah. Faktanya masyarakat sekitar hanya akan menjadi penonton, pekerja proyek dengan penghasilan yang tidak seberapa, serta menjadi yang terdampak dari adanya investasi triliunan pada proyek-proyek pemerintah tersebut.
Berbeda dengan sistem Islam. Dalam Islam, pemimpin memiliki tanggung jawab yang besar untuk ‘meriayah’ atau mengurusi urusan umat. Kepemimpinan merupakan amanah yang kelak akan dimintai pertanggungjawaban. Sehingga ia akan berperan penuh dalam menciptakan kesejahteraan dan keadilan bagi masyarakat. Pemimpin dalam Islam tidak akan mengutamakan kepentingannya maupun kelompok di atas kepentingan umat. Ia akan menjadi ‘junnah’ (perisai) dan ‘ra'in’ (pelayan) bagi masyarakat.
Sistem ekonomi Islam mampu menjamin kesejahteraan masyarakat secara merata. Pemasukan negara di dalam Islam tidak diambil dari pajak dan utang, melainkan didapat dari sumber-sumber yang jelas diatur dalam Islam. Pembangunan di dalam Islam pun bukan diukur dari banyaknya tempat wisata, infrastruktur maupun banyaknya pusat perbelanjaan. Melainkan dari sumber daya manusianya yang senantiasa mentauhidkan Allah Swt.. Bila iman dan takwa telah melekat dalam diri individu dan masyarakat, maka kemajuan sebuah peradaban akan mudah dicapai. Terbukti peradaban Islam mencapai kejayaannya hingga 13 abad lamanya.
Sehingga jelas paradigma yang dibangun dalam Islam dan sistem kapitalisme berbeda. Sistem kapitalisme menihilkan aspek ‘ruhiyah’ dan hanya fokus pada materi dan manfaat keduniawian semata. Oleh karenanya, umat harus sadar bahwa yang mereka butuhkan ialah penerapan sistem Islam secara kafah dalam kehidupan. Insyaallah akan tercapai peradaban yang gemilang, penuh berkah, dan masyarakatnya sejahtera, dan hidup dalam kedamaian.
Wallahualam. [Ni]
Baca juga:

0 Comments: