Headlines
Loading...

Oleh. Annisa, SST., M.Eng

Data Badan Pusat Statistik (BPS) terbaru menunjukkan bahwa jumlah masyarakat kelas menengah menurun dari 57,33 juta di 2019 menjadi 47,85 juta di 2024. Dari data tersebut ada 9,48 juta penduduk Indonesia yang turun kelas menjadi menengah rentan (aspiring middle class). 

Kemudian kelas masyarakat rentan miskin malah naik sebesar 12,72 juta. Hal ini menandakan bahwa kualitas kesejahteraan masyarakat Indonesia yang terus menurun (cnbcindonesia.com 31-08-2024).

Menanggapi hal tersebut mantan menteri keuangan sekaligus Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN)/Kepala Bappenas era pemerintahan Presiden Joko Widodo, Bambang Brodjonegoro mengatakan bahwa salah satu penyebab turunnya kelas ekonomi masyarakat bukan hanya pandemi covid-19 dan PHK, namun juga dikarenakan kebiasaan masyarakat yang suka mengonsumsi air galon. Sehingga pengeluaran konsumsi air galon atau kemasan tidak terasa memakan biaya yang besar. 

Apa yang dikatakan pak menteri yang juga seorang ekonom senior ini memang benar. Air yang merupakan kebutuhan asasi atau mendasar bagi setiap orang, hari ini malah dikomersialisasi. Produk air galon dan kemasan milik swasta dalam negeri maupun asing bermunculan di mana-mana.

Sedangkan tidak ada sumber air bersih melimpah yang layak konsumsi yang bisa dijangkau oleh masyarakat secara gratis. Walaupun sebetulnya Indonesia bukan negara miskin sumber daya air, bahkan tercatat Indonesia memilik 6 persen dari potensi air dunia (airkami.id, 25-03-2022). 

Namun, komersialisasi dan privatisasi sumber daya air membuat masyarakat harus membeli untuk bisa menikmati dan memenuhi kebutuhan air. Padahal hampir setiap hari untuk makan, minum, mandi bahkan membersihkan hajat, masyarakat membutuhkan air. Sehingga alangkah menyulitkan dan melipatgandakan beban ekonomi masyarakat dengan harus membeli air di saat sebetulnya sumber air itu ada namun dimonopoli sebagian orang. 

Bisnis air tak mungkin rugi dan sangat mengiurkan karena setiap orang membutuhkannya untuk kelangsungan hidup. Tidak heran jika Johan Muliawan, Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Air Minum Kemasan Nasional (Asparminas) menyebutkan bahwa peluang pertumbuhan sektor Air Minum Dalam Kemasan (AMDK) besar. Bahkan menurut sekjen Asparminas, industri AMDK sedikitnya tumbuh 5% per tahunnya (antaranews.com, 30-9-2023).

Di dalam sistem ekonomi kapitalisme yang dianut oleh bangsa ini, tidak ada pembagian kepemilikan, di mana sesuatu yang menyangkut hajat hidup orang banyak bisa diakses oleh siapapun tanpa harus membayar mahal. Alhasil setiap orang bisa memiliki apapun asalkan memiliki modal atau uang, termasuk dalam hal ini sumber daya air. Karena beginilah prinsip liberalisasi ekonomi dalam ideologi kapitalisme. 

Berbeda dengan Islam yang menjadikan kepemilikan dibagi atas tiga kelompok yakni kepemilikan individu, kepemilikan negara dan kepemilikan umum. Dalam konsep kepemilikan umum, negara tidak boleh menyerahkan harta milik umum untuk dikuasai oleh segelintir orang seperti perusahaan. Harta milik umum ini ada tambang dalam jumlah besar, energi, padang rumput dan termasuk air. Maka tidak boleh air diprivatisasi sehingga terhalang masyarakat luas untuk mendapatinya. 

Negara dalam Islam akan menjadi ra'in atau pengurus serta pelayan segala urusan rakyat yang tegak atas syariat Islam. Bukan pelayan korporasi, pemilik modal atau investor. Negara dalam Islam akan memastikan kebutuhan masyarakat terhadap air terpenuhi. Apabila kemudian diperlukan teknologi untuk memperbaiki atau menambah sumber daya air bersih dan layak konsumsi maka negara akan mewujudkannya lewat pengembangan riset oleh para ilmuwan Islam. 

Selain itu, negara Islam juga akan mencegah adanya sumber pencemar air yang hari ini banyak dihasilkan oleh buangan sampah plastik dan cemaran limbah pabrik. Tentu akan ada pengaturan terkait pengolahan dan pembuangan serta sanksi tegas atas pelanggarnya. 

Begitulah negara Islam akan mengatur sesuai pengaturan dari Sang Maha Pencipta dan Pengatur. Mulai dari pengelolaan sumber daya air, distribusi, teknologi, pelayanan yang berkelanjutan, SDM yang kompeten, serta produk hukum terkait pengelolaan air. Semua itu harus diterapkan secara kafah. [ry].

Baca juga:

0 Comments: