Headlines
Loading...
Oleh. Wa Jami 

Setiap pasangan yang sudah menikah pasti menginginkan hadirnya seorang anak (buah ini hati) di tengah-tengah keluarganya. Pada saat lahir seorang anak tanpa menafikan peran ayah sebagai kepala keluarga. Namun pada saat itu dari seorang ibulah anak itu akan mendapatkan perhatian penuh, sentuhan cinta kasih sayang dan kelembutan. Karena begitulah nalurinya seorang ibu akan selalu hadir dan dekat dengan keluarga dalam kondisi apa pun. Naluri keibuan itu akan selalu mendorong seorang ibu untuk menjaga dan melindungi anaknya dari ganguan apa pun, seekor nyamuk atau semut kecil sekali pun tidak akan dibiarkan untuk mengusik ketenangan anaknya.

Namun, pada kenyataannya dalam tatanan kehidupan saat ini cengkeraman kapitalisme-sekularisme semakin kuat menggerogoti pemikiran dan merusak akidah umat yang menyebabkan peran utama seorang ibu nyaris terancam mati.

Nasib pilu menimpa seorang remaja perempuan di Kecamatan Kalianget, Kabupaten Sumenep. Dia dicabuli kepala sekolahnya berinisial J (41). Mirisnya, pencabulan ini disetujui dan diketahui ibu kandungnya yang berinisial E. 
Korban diantarkan oleh ibu kandungnya sendiri ke rumah kepala sekolah untuk diperkosa. Ibu korban menyetujui pencabulan itu dengan alasan untuk ritual penyucian diri (Kumparan.com, 31/08/2024).

Berdasarkan hasil komunikasi dengan bapak kandung korban, korban mengalami trauma psikis. Atas perbuatannya, J dijerat Pasal 81 ayat (3) (2) (1), 82 ayat (2) (1) UU RI No. 17 Tahun 2016 perubahan atas UU No. 35 Tahun 2014 tentang perlindungan anak.

Kasih ibu sepanjang masa tampaknya tidak berlaku bagi E yang tega menyerahkan anaknya kepada J untuk diperkosa. Di mana naluri dia sebagai ibu yang selalu mengasihi dan menjaga serta melindungi anaknya dari gangguan apa pun yang  begitu kejamnya E rela menjerumuskan dirinya sendiri juga anaknya sendiri dalam jurang kehancuran.
Tidak bisa dimungkiri bahwasanya hidup di bawah sistem kapitalisme sekuler seperti sekarang ini, kejadian seperti yang telah dilakukan oleh E yakni menjual anaknya sendiri kepada seorang laki-laki hidung belang merupakan bukti bobroknya moral dan akidah umat ketika hidup dalam sistem kapitalisme sekuler. Gambaran kebahagiaan ala kapitalisme sekuler yakni hanya mengumpulkan materi sebanyak-banyaknya untuk memenuhi semua  kebutuhan yang bersifat jasmani termasuk memenuhi kebutuhan hawa nafsu semata. 

Sistem kapitalisme sekuler mengagung-agungkan kebebasan, menjamin kebebasan berperilaku, sehingga mendorong seseorang untuk berbuat semaunya tanpa aturan dan tanpa kendali. lahirlah zina, pacaran, selingkuh, dan lainnya.

Pendidikan yang berasaskan sekularisme yakni pemisahan agama dari kehidupan tidak akan menghasilkan orang-orang yang berkepribadian baik. Begitu jelas nyata faktanya seorang kepala sekolah dan ibu kandung yang mereka itu sebagai PNS dan notabenenya juga sebagai pendidik, malah terjebak dalam perbuatan yang tidak sepantasnya sebagai seorang pendidik yakni berbuat asusila. Inilah buah dari penerapan sistem pendidikan kapitalisme sekuler yang menjadikan materi pelajaran agama hanya sebagai tambahan semata, bukan tujuan utama untuk diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari.

Sistem sanksi bagi pelaku kejahatan atau kemaksiatan tidak membawa kepada efek jera. Sehingga pelaku-pelaku maksiat semakin merajalela tidak mampu diatasi oleh pemerintah.

Dalam Islam posisi ibu sangat mulia dan utama yakni ummu warabbatul bait sekaligus pengemban dakwah, dari rahimnya dan dari didikannya lahir generasi yang berkualitas yang akan menopang lahirnya peradaban Islam yang gemilang. Ibu bukan hanya sekedar mengandung, melahirkan dan menyusui serta membesarkan saja, akan tetapi peran utama ibu juga sebagai pendidik pertama dan utama bagi anak-anaknya, mencukupi kebutuhan jasmani dan rohani, yakni menanamkan akidah Islam dalam diri anak sehingga mereka akan kuat dan tangguh serta kokoh dalam ketaatan kepada Allah. swt. di manapun dan dalam kondisi apa pun. 
Peran negara juga sangat penting dalam membangun kepribadian umat agar tidak terjadi kehancuran dalam tatanan kehidupan masyarakat.

Negara harus mendidik dan mengedukasi masyarakat agar senantiasa menyesuaikan setiap amal perbuatannya dengan perintah dan larangan Allah Swt. tidak menjadikan dunia sebagai tujuan utamanya. Standar kebahagiaannya meraih rida Allah Swt., bukan materi sebagai tujuan utama dalam hidupnya.

Negara akan menegakkan sanksi yang tegas bagi pelanggaran syariat Islam yang membawa kepada efek jera bagi pelaku, dan perasaan takut untuk melakukan pelanggaran yang sama bagi masyarakat yang menyaksikannya. Penegakan sanksi yang tegas ini sebagai bentuk jaminan keselamatan dan perlindungan kepada rakyatnya, termasuk ibu dan anak-anak. Negara tidak akan segan-segan memberikan sanksi kepada ibu yang berbuat zalim terhadap anaknya, juga kepada anak yang berbuat zalim terhadap orang tuanya. Siapa pun yang melanggar syariat Islam, maka wajib diberlakukan sanksi yang tegas bagi mereka, penguasa sekalipun.

Hanya dengan penerapan syariat Islam kaffah dalam bingkai negara yang akan mampu memberikan kesejahteraan, ketenangan, keamanan dan mampu membentuk suasana keimanan dan ketakwaan yang kuat ditengah-tengah masyarakat dan keluarga.

Wallahualam bissawab. [Hz]

Baca juga:

0 Comments: