Headlines
Loading...
Oleh. Eka Suryati 

Kemerdekaan itu adalah hak setiap orang. Allah memang menciptakan manusia dalam keadaan yang merdeka, tangis kecilnya pada saat terlahir, menandakan kebebasan berekspresi dari Allah. Dan kemerdekaan itu selalu didamba oleh manusia. Merdeka itu bermakna bebas dari belenggu ataupun penjajahan. Merdeka itu adalah tidak terkena, atau lepas dari berbagai tuntutan. Dan merdeka itu adalah tidak terikat, tidak bergantung pada pihak atau orang tertentu, dan leluasa.

Siapa yang dalam hidupnya ingin dijajah oleh orang lain, bangsa lain atau hal-hal yang akan membuat kebebasannya terbelenggu? Namun kebebasan juga tak boleh merusak kehidupan orang lain. Misalnya kita bebas untuk menyetel musik, lalu kita mendengar musik, menyetelnya dengan sangat keras, tentu orang akan marah karena pendengarannya akan terganggu. Jadi selama kita hidup maka kemerdekaan, kebebasan kita tetap harus dibatasi oleh kewajiban kita dan hak orang lain.

Lalu kemerdekaan yang seperti apa yang ingin kita raih? Kemerdekaan yang hakiki dong. Kemerdekaan hakiki itu merupakan kemerdekaan yang sesungguhnya. Kemerdekaan hakiki itu jika kita tidak menghamba lagi kepada selain Allah. Kita terbebas dari  meminta pertolongan kepada selain Allah. Manusia yang merdeka itu bebas dari penghambaan kepada makhluk, penghambaannya hanya kepada Allah. Merdeka juga tidak terikat pada utang yang membuatnya harus membayar utang-utang tersebut. Utang itu bisa berupa utang uang, harta dan benda, serta utang budi. Ya bagaimana bisa seseorang disebut merdeka ia terlilit utang? Hendak kemana-mana, ia malu jika utangnya belum dibayar. Jika ingin membeli sesuatu, ia harus berpikir, bayar utang dulu atau membeli keperluannya. Apalagi kalau utang itu adalah utang budi, kata orang utang budi dibawa mati. Ya kalau tempat kita berutang budi adalah orang yang baik, kalau tidak, maka kita akan menjadi orang jahat untuk membayar budi orang tersebut.

Kalau kita sebagai individu saja begitu tak nyaman jika bergantung hidupnya pada manusia, apalagi sebuah negara. Negara yang merdeka itu sudah seharusnya terbebas dari utang. Kalau utang luar negeri selau bertambah dari waktu ke waktu, ada apa dengannya. Sebuah negeri yang diberikan Allah kekayaan, sumber daya alam yang begitu berlimpah, kata orang gemah ripah loh jinawi, kok utangnya makin bertumpuk? Pasti ada yang salah dengan pengelolaannya.

Sejarah mencatat bahwa rusaknya suatu bangsa akibat dari rusaknya akhlak pemimpin dan rakyatnya. Al-Qur'an juga menerangkan bahwa kehancuran bangsa-bangsa, karena membiarkan para penguasa hidup mewah, mengkorupsi uang rakyat dan menindas rakyat atas nama kekuasaan. 

Qur'an menyatakan:

واذا أردنا أن نهلك قرية امرنا مترفيها ففسقوا فيها فحق عليها القول فدمرنها تدميرا (١٦)

"Dan jika Kami hendak membinasakan suatu negeri, maka Kami perintahkan kepada orang yang hidup mewah di negeri itu (agar menaati Allah), tetapi bila mereka melakukan kedurhakaan (melanggar hukum) di dalam (negeri) itu, maka sepantasnya berlaku terhadapnya keputusan (hukuman Kami), kemudian Kami binasakan (hancurkan) (negeri itu)." (QS. al-Israa' [17]: 16)

Pernyataan al-Qur'an tersebut seharusnya menjadi pelajaran bagi kita hari ini bahwa kita memang harus mengangkat pemimpin yang jujur dan adil agar selamat dari kehancuran dan tidak boleh memilih pemimpin yang zalim. 

Imam al Ghazali dalam karyanya " Al Tibr al Masbuk fi Nashihah al Muluk" mengatakan :

ان طباع الرعية نتيجة طباع الملوك. لان العامة انما ينتحلون ويركبون الفساد اقتداء بالكبراء "

Perilaku rakyat adalah cermin dari perilaku pemimpinnya. Mereka meniru pemimpinnya. Jika mereka bertindak buruk, itu akibat meniru pemimpinnya yang buruk". 

ان صلاح الناس فى احسن سيرة الملك

Sebaliknya, rakyat menjadi baik jika akhlak para pemimpinnya berakhlak baik.

Ya Allah, bagaimana dengan negeri kita yang katanya sudah merdeka selama 79 tahun. Apa gerangan yang kita lihat dari perilaku pemimpin kita, dari eksekutif hingga legislatif dan yudikatif. Seakan-akan ingin menegaskan memang apa yang dikatakan Al-Qur'an sudah terjadi, apa yang dinyatakan oleh Iman al Ghazali sudah terjadi di depan mata. Saat kita memilih pemimpin, uang menjadi tujuan kita yang memilih, uang juga yang menjadi landasan mereka yang ingin memimpin untuk dipilih. Setelah terpilih korupsi menjadi salah satu cara untuk mengembalikan modal saat mereka berkampanye. Itu juga terjadi pada wakil rakyat kita. 

Akhlak tak lagi menjadi syarat utama, yang penting mereka yang mau memberi uang yang akan dipilih, nasib bangsa ke depan bukan masalah penting untuk menjadi bahan renungan. Itu terjadi merata dari lini terkecil sampai tingkat tertinggi. Sulit mencari pemimpin yang terpilih tak menggunakan uang atau money politik. 

Kalau begini, sudahkah kita merdeka, merdeka secara hakiki? Jawabnya, belum. Kita masih dijajah  oleh sistem yang salah, sistem kapitalisme yang merusak tatanan. Lihatlah tambang emas kita, siap yang mengelola, siapa yang mendapat keuntungan terbesar. Simaklah BUMN kita, selalu saja bangkrut, bukannya memperoleh keuntungan. Masih banyak, banyak sekali yang harus dibenahi. 

Kembalilah pada Allah, pelajari Al-Qur'an. Tidak ada yang lebih baik dari aturan yang langsung turun dari Allah. Islam itu lengkap, aturannya jelas. Tidak mementingkan kepentingan dunia semata, karena ada akhirat tempat kembali. Mereka yang taat kepada Allah, akan takut berbuat dosa, karena ada pertanggungjawabannya kelak di alam sana. Mengapa kita tidak kembali menghamba pada Allah. Merdeka hakiki itu kembali pada Allah, kembali menghamba hanya pada Allah.

Kotabumi, 16 Agustus 2024

Baca juga:

0 Comments: